8

5 0 0
                                    


Aya terduduk di sofa perpustakaan rumahnya dengan gaun hitam semi-formalnya. Perpustakaan itu merupakan tempat favorit Al dan Harris. Keduanya seringkali menghabiskan waktu mereka di tempat itu saat Al masih kecil dan Aya seringkali merengek agar diperbolehkan masuk ke dalam.

10 tahun yang lalu.

"Papa! Abang! Adek mau masuk. Bukain pintunya!" Seru Aya dibalik pintu perpustakaan yang begitu besar dan berat.

Karena tak tega akan rengekan putrinya, Harris membukakan pintunya.

"Kamu tahu tidak kenapa Abang sama Papa gak ngebolehin kamu masuk?"

"Nggak."

"Karena perpustakaan itu pada dasarnya tempat yang tenang, Andrea. Jika kamu masuk, kamu akan memecahkan keheningan dengan dirimu yang sangat berisik."

Aya terus merengek.

"Baiklah. Kamu boleh masuk, tapi kamu harus janji. Kamu harus memilih satu buku untuk kamu baca dan kamu tidak boleh berisik. Janji?"

"Adek janji!"

Sejak saat itu, membaca buku bersama di perpustakaan rumah mereka merupakan rutinitas yang dijalankan ketiganya selama bertahun-tahun. Air mata Aya mengalir kembali mengingat masa-masa itu. Ia memandang perpustakaan yang luas dengan tatapan yang kosong, ketika terdengar ketukkan pada pintu perpustakaan.

"S-siapa?" Seru Aya dengan nada sembab.

"Ini Rava, Andrea. Apa gue boleh masuk?"

Aya lekas mengusap air mata yang membasahi wajahnya walaupun hal itu tak akan menutupi fakta bahwa dirinya telah menangis selama berjam-jam sejak tadi pagi.

"Boleh."

Rava memasuki ruangan perpustakaan itu. Ditatapnya Aya dengan wajah yang sembab begitu lelah. Ia jalan menuju Aya yang tengah berada di sofa dan duduk di sisi perempuan itu.

"Lo keganggu gak kalau ada gue disini? Kalau iya, gue akan pergi sekarang. Gue cuman khawatir banget seharian mikirin kondisi lo selepas dari duka yang gue rasain juga. Entah kenapa, seeing you hurt really hurts me."

Aya menggelengkan kepalanya. "Nggak, nggak apa-apa. Anyways, gue minta maaf soal kemarin pagi. Gue terlalu keras, gue nggak mikirin perasaan lo dan-"

"Ssh, nggak usah minta maaf. Nggak usah pikirin gue dulu." Ujar Rava.

Aya tersenyum tipis. "Thank you."

"Buat apa?"

"I don't know. Yang gue tahu adalah setelah gue minta maaf ke lo, gue harus berterima kasih ke lo. Alasannya nyusul."

-

Rava meninggalkan Aya membiarkan Aya menyendiri terlebih dahulu. Sekitar satu jam kemudian, Aya memberanikan diri untuk turun ke bawah untuk menghadiri pengajian terakhir sebelum ayah dan kakaknya dikebumikan esok pagi.

Ia menuruni tangga dan semua perhatian langsung tertuju pada Aya. Orang-orang yang hadir di rumah Aya kini bergantian menyapa Aya untuk menyampaikan dukanya, namun kini pandangan dan pikirannya begitu kosong. Ia bahkan tak menyadari kata-kata apa yang dilontarkan padanya dan siapa saja yang tengah berbicara dengannya.

"Ya, I'm so sorry.." Ujar Shasha begitu ia berkesempatan untuk bertemu dengan sahabatnya itu.

"Sha.." Kini tangis Aya pecah kembali.

Shasha langsung membawa Aya ke dalam pelukannya. Ia pun tak kuasa untuk menahan tangisnya, mengingat seberapa sayang Aya kepada kakak dan ayahnya dan seberapa menyakitkan situasi ini baginya.

It's Okay to FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang