3

4 0 0
                                    


Aya memutuskan untuk menunggu Al di lobi utama sekolah dan terduduk di salah satu kursi tunggu sambil mendengarkan lagu melalui ponselnya. Sekitar 15 menit kemudian, Al dan teman-temannya datang menuju lobi. Aya sangat salah tingkah menyadari Rava yang sedang berjalan ke arahnya berdampingan dengan Al. Ia memutuskan untuk memainkan ponselnya dan pura-pura tidak menyadari akan keberadaannya.

"Dek, gue ambil motor dulu ya. Lo tunggu disini dulu," Ujar Al dan langsung meninggalkan Aya dengan Deva, Atha, dan Rava.

Mampus. Kali ini mampus gue. Gue benci banget sama lo, Bang, batin Aya dengan jantung yang kini berdegup tak karuan.

"Andrea." Panggil Rava. Ya, lo mampus banget.

Aya menengok ke Rava yang kini terduduk di tempat kosong di sisi Aya pada kursi panjang itu.

"Eh iya, Kak Rava." Jawab Aya gugup. Gue harus ngomong apa?! Kenapa kalau ke Kak Rava gue gak berani ngomong gini?! Aya, sikap lo ke dia harus sama sebagaimana lo bersikap ke cowok-cowok yang pernah ngedeketin lo.

"Oh iya, makasih ya Kak makanan sama minumannya kemarin. Gue kaget pas ada yang ngirim, taunya lo." Lanjutnya dengan nada yang santai, sangat bertolak belakang dengan isi hati dan pikirannya.

"Suka kan?" Tanya Rava.

"Suka banget! Lo tau dari mana gue suka tiramisu cake sama caramel macchiato?"

"Kan gue jenius, Andrea."

Aya tertawa mendengar celotehan Rava. Ia bahkan tidak sadar kini rasa gugupnya hilang begitu saja dan suasana tengah mencair.

"Panggil gue Aya aja. Anyways, gue lebih jenius sih, Kak." Jawab Aya.

"Iyalah Rav, lebih jenius dia. Peraih medali olimpiade biologi 3 tahun berturut-turut sejak SMP. Salah satu alesan kenapa Rava demen sama lo, Ya." Sambung Deva.

Aya bukanlah tipe perempuan yang jika dipuji atau digombali akan tersipu malu dan bersikap salah tingkah di hadapan orang lain. Walaupun kini hatinya berdegup tak karuan, ia tak akan menunjukkannya pada sikapnya. Baginya, menunjukkan sisi sentimentalnya merupakan sesuatu yang membuat dirinya lemah.

"Bentar, lo ngirim email, surat, dan segala macem itu karena lo suka sama gue apa karena lo butuh guru biologi privat, Kak?" Tanya Aya pada Rava yang disusuli oleh tawa Atha dan juga Deva.

"Bisa banget lo. Nggak lah. Gue kan IPS, Andrea."

"Panggil Aya aja dibilangin."

Tak lama kemudian Al datang ke lobi sekolah dengan motor Ducati merahnya. Aya beranjak dari tempat duduknya dan menempati duduk di jok motor Al.

"Ada apa nih rame-rame?" Ujar Al.

"Nggak ada apa-apa, Bang. Bye Kak Rava, kalau mau ngasih apa-apa tanya Bang Al aja ya kesukaan gue apa aja!" Seru Aya.

Rava hanya tersenyum sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku Aya yang sangat menyebalkan namun menjadi daya tarik yang ada pada diri Aya terhadap dirinya.

-

"Hai, Ma." Sapa Aya yang baru saja turun dari tangga lantai dua dan melihat Fania yang sedang menyiapkan makan malam.

"Hai, sayang. Tadi kamu pulang sama Bang Al kan?"

Aya mengangguk dan terduduk di salah satu kursi pada meja makan yang telah dipenuhi dengan berbagai menu kesukaan Aya dan juga Al.

Tak lama kemudian, Al jalan menuruni tangga dan duduk di kursi sebelah Aya.

"Ma, temen Al ada yang suka sama Aya." Ujar Al tanpa aba-aba yang membuat Aya sangat geram.

"Abang! Apasih?!" Seru Aya sambil mencubit pelan lengan kakaknya itu.

Fania tersenyum melihat Aya yang bersikap salah tingkah namun bersikeras untuk tidak menunjukkannya itu. Sejauh yang ia tahu, Aya tidak pernah berurusan dengan laki-laki dan mendengar bahwa salah satu teman Al ada yang menyukai Aya membuatnya begitu tertarik dan penasaran.

"Siapa, Bang? Si Deva, Atha, atau Rava? Teman-teman yang paling dekat sama kamu tiga itu doang kan?"

"Rava, Ma!" Seru Al dengan semangat. Aya hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tidak peduli akan celotehan Al itu.

"Rava baik loh, Dek. Ganteng lagi. Mama kan kenal baik sama orang tuanya juga." Jawab Fania.

Fania adalah salah satu desainer busana kelas atas Indonesia. Wanda, ibu Rava, merupakan mantan model yang pernah menjadi salah satu model yang menampilkan busana-busana karya Fania dari tahun ke tahun beberapa tahun silam. Mereka sangat dekat sejak itu, ditambah lagi dengan kedekatan Al dengan Rava.

"Apa sih, Ma. Adek gak suka. By the way, Papa kapan pulang, Ma?" Tanya Aya mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Ayah Aya, Harris Januar, merupakan seorang pengusaha hotel yang sangat sukses. Berbagai hotel di bawah nama perusahaannya sudah menyebar luas hampir ke seluruh Indonesia. Maka dari itu, Harris seringkali bepergian ke luar kota.

"Besok pagi. Tapi lusa Papa mau pergi lagi ke Malang sama Bang Al. Abang mau survei kampus, kan mau kuliah." Jawab Fania.

"Bye bocil. Pulang-pergi sekolah kalau Pak Dodi gak masuk lagi berarti sama Rava aja." Ledek Al kepada adiknya.

"Ngarang lo. Ih kok kita gak ikut sih, Ma?" Gerutu Aya kesal.

"Kamu kan sekolah, Dek. Mama juga kerja. Papa kamu nemenin Bang Al soalnya sekalian ada kerjaan juga di Malang."

Iya juga ya, ujar Aya dalam hati. Ketiganya melanjutkan makan malam mereka malam itu.

-

"Ya!" Seru Farrel ketika ia melihat Aya turun dari mobilnya pagi itu menuju lobi utama sekolah.

"Eh, Rel. Perasaan udah lama banget gue gak ketemu lo."

"Lo kan ansos, Ya." Ledek Farrel. Aya tertawa mendengar ledekkan Farrel yang memang merupakan sebuah fakta mengenai dirinya.

"Jahat banget lo, Rel. Terus gue nganggep cewek lo apa dong?" Balas Aya.

"Iya juga ya. Eh, gue tuh baru inget mau ngomong apa. Kayaknya kabar kalau Rava suka sama lo udah nyampe ke cowok-cowok angkatan kita deh, Ya. Terus yang pada suka sama lo jadi pada mundur gitu masa, Ya!" Ujar Farrel dengan begitu bersemangat akan berita yang ia sampaikan.

"Ribet ah si Rava. Gara-gara dia nanti kiriman kopi yang gue terima per bulan ngurang dong karena udah gak ada yang ngedeketin gue!" Jawab Aya berpura-pura merengek.

"Rese banget lo jadi orang!" Ujar Farrel menyentil pelan lengan Aya.

Di dalam lubuk hati Aya, ingin sekali rasanya untuk bertanya lebih lanjut mengenai Rava dan apa saja yang telah dilakukan Rava tanpa sepengetahuannya. Tapi ia tidak akan membiarkan dirinya untuk peduli. Peduli akan membuatnya lemah. Kelemahan akan membuatnya hilang keseimbangan dan terjatuh.

It's Okay to FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang