5

4 0 0
                                    


Keributan di antara Aya dan Rava pagi itu sudah menyebar hampir ke seluruh sekolah. Shasha yang mendengar informasi mengenai sahabatnya itu langsung bergegas mencari Aya yang kini tak dapat ditemukkan dimana-mana. Ia pun merogoh saku seragamnya dan mengambil ponselnya untuk menelepon Farrel. Sedari tadi ia sudah mencoba untuk menelepon Aya tapi panggilannya tak diangkat.

"Rel!!"

"Kenapa, cantik?"

"Kamu liat Aya gak? Aku panik banget! Dia beneran ngilang gitu aja setelah kejadian tadi pagi. Aku takut dia kenapa-napa." Ujar Shasha dengan kepanikkan yang terdengar dalam suaranya.

"Aku gak lihat, Sha. Aku samperin kamu ya, kita cari Aya."

-

Setelah hampir mencari ke setiap sudut sekolah, tiba-tiba ponsel Shasha berdering.

Tante Fania is calling..

Shasha langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo, Latisha."

"Tante, Tante lagi sama Aya gak?"

"Nggak. Tapi tadi Om Harris menelepon Tante. Katanya Aya nyamperin ayahnya di kantor. Tante juga gak tahu ada apa, Sha. Aya cuman izin gak sekolah, dan Tante belum tanya kenapanya." Jawab Fania dengan nada tenang.

Mendengar itu, Shasha merasa sangat lega dan tenang. Entah apa yang dipikirkan Aya dan dirasakan Aya saat ini, setidaknya sahabatnya itu berada di tempat yang aman. Ia juga tidak akan menanyakan keadaan Aya lebih lanjut saat ini. Ia tahu sahabatnya, ia akan membiarkannya untuk mencari ketenangannya sendiri terlebih dahulu.

-

Selepas Aya pergi meninggalkan Rava di lobi sekolah pagi itu di depan kerumunan orang, kini ia merasakan perasaan yang sangat tidak karuan. Ia malu karena telah menunjukkan sebagian besar emosinya dan apa yang sebenarnya ada di benaknya. Ia malu karena kini ia telah menjadi perhatian banyak orang. Ia kesal akan perilaku Rava yang sangat membuatnya resah. Ia merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya pada Rava selepas dari apa yang Rava lakukan padanya. Terlebih dari itu semua, ia takut akan perasaan yang akan dirasakan dirinya pada Rava. Atau mungkin sudah ia rasakan saat ini. Namun ia bersikeras untuk tidak membiarkan perasaan itu tumbuh.

Aya menelepon Pak Dodi untuk menjemputnya kembali dari sekolah. Sekitar 10 menit kemudian, mobil Alphard putih milik Aya yang dikendarai Pak Dodi sudah berada persis di depan lobi sekolah.

"Pak, ke kantor Papa ya." Ujar Aya sesampainya di dalam mobil.

"Oke, Dek. Ibu sudah tau kan, Dek? Saya takut dimarahin kalau Adek pergi dari sekolah, hehe."

"Udah kok, Pak. Santai aja." Jawab Aya.

Aya kini mengambil ponselnya untuk menelepon ayahnya. Tidak diangkat. Ia meneleponnya kembali, dan sekitar 10 detik kemudian panggilannya diangkat.

"Halo? Andrea? Tumben kamu nelpon Papa di jam sekolah." Ujar Harris.

"Iya, Pa. Mau refreshing ke kantor Papa. Boleh, ya? Papa lanjutin aja apapun itu kerjaan Papa, I just need a place to stay." Jawab Aya.

"Hmm, galau ya?" Ledek Harris kepada anak perempuan satu-satunya itu.

"Apasih Papa. Adek on the way ya."

"Oke."

-

"Al, tadi adek lo ngebacotin Rava. Gue gak lihat langsung sih, tapi anak-anak banyak banget yang ngomongin. Dia terang-terangan ngecut-off Rava depan banyak orang." Ujar Deva kepada Al yang kini tengah menikmati mi ayam di kantin. Kebetulan hari itu Atha izin tidak masuk sekolah dan Rava entah kemana perginya semenjak kejadian pagi tadi.

"Gue udah biasa sih ngeliat Aya ngegituin orang, tapi gak pernah sampai terang-terangan gitu depan orang banyak. Dan kali ini, it's Rava we're talking about." Jawab Al.

Sesaat kemudian orang yang tengah dibicarakan datang memasuki kantin. Tidak sendiri, namun dengan Bianca di sisinya. Keduanya jalan ke meja dimana Al dan Deva berada. Al dan Deva beradu tatap namun berusaha untuk bersikap normal.

"Eh, Rav!" Ujar Al santai.

"Al, Dev," Jawab Rava sambil menjabat santai tangan kedua temannya itu. Bianca yang berada di sisinya ikut menjabat tangan Al dan Deva.

"Gue ikut duduk boleh?" Tanya Bianca kepada Al dan Deva.

"Boleh-boleh! Santai aja, Bi." Ujar Al. Deva menggeserkan posisi duduknya agar Bianca dapat duduk berdekatan dengan Rava.

"CLBK nih ceritanya?" Ledek Deva yang disusuli oleh tawa Al.

"Nggak lah, Dev. Temanan doang kita. Ya kan, Rav?" Jawab Bianca menatap Rava.

Rava hanya mengangguk tak bersuara. Kemudian ia memesan dua mangkuk bakso, untuk dirinya dan Bianca. Keempatnya menikmati makanan mereka masing-masing siang itu dengan berbincang santai namun dengan perasaan yang begitu menjanggal di antara semua dari mereka.

-

Seperti biasa, Rava, Al, Deva, dan anak-anak basket lainnya menghabiskan sore mereka dengan bermain basket setelah jam sekolah berakhir. Kali ini mereka bermain basket di lapangan indoor sekolah karena sudah memperoleh izin dari ketua seksi bidang olahraga sekolah.

Rava meninggalkan lapangan dan berjalan menuju tribun untuk mengambil botol minumnya yang dengan Al dan Deva yang berjalan di belakangnya. Ketiganya terduduk santai untuk beristirahat di salah satu baris tribun.

"Rav, what happened? Aya mungkin adek gue, tapi lo sahabat gue. Lo sahabat Deva. Apapun itu yang terjadi hari ini, yang diakhiri dengan Bianca yang ada di sisi lo, lo bisa ungkapin semua yang ada di otak sama hati lo ke kita."

Rava menghelakan nafasnya dan mulai berbicara. "It feels weird you know. Gue udah ngagumin adek lo dari hari pertama adek lo masuk kelas 1 SMA. Gue masih sama Bianca saat itu, and I do love Bianca. Entah apa yang ada pada diri Bianca atau yang kurang pada Bianca, gue gak bisa bertahan akan fakta itu. Hati gue gak sepenuhnya milih dia. But when it comes to Andrea, gue seakan-akan kaya udah sayang banget sama dia, I want to protect her at all costs, bahkan di saat gue belom kenal dia sama sekali sama dia. Gue ngebiarin diri gue merjuangin dia di saat gue tahu kalau yang akan gue peroleh cuman luka. Tadi pagi mungkin Bianca tahu soal kejadian gue sama Aya, dan dia nyamperin gue. Biasalah, basa-basi. And I really love the feeling of being loved, seperti apa yang gue rasain saat bersama Bianca. Tapi hal itu gak bisa membuat hati gue untuk memilih dia sepenuhnya. Gue ngerasa egois banget dan sakit banget di waktu yang sama."

"Kita semua egois soal perasaan, Rav. Kita nyakitin orang, dan kita disakitin orang. Kita gak bisa ngendaliin perasaan kita sendiri. It's always the wrong people at the wrong time, it's always a chaotic game, sampai pada titik dimana alam semesta sudah berkehendak untuk mempertemukan kita dengan orang yang tepat pada waktu yang juga tepat." Jawab Al. "Dan ketika waktu itu datang, it's a total blessing and a miracle. Seperti saat dimana gue ketemu Dea 3 tahun yang lalu."

Daniella, atau yang biasa dipanggil Dea, adalah pacar Al yang berada di sekolah yang berbeda dengan dirinya. Mereka kenal karena pernah berada pada satu kursus yang sama dan mulai menjalin hubungan sejak itu. Keduanya menjalankan hubungan yang sangat sehat selama 3 tahun terakhir. Hubungan yang tumbuh atas dasar kepercayaan dan dengan mimpi-mimpi serta tujuan yang masing-masing dari mereka ingin raih.

Rava dan Deva menyimak semua perkataan Al. Mereka tidak pernah mendengar Al berbicara dengan begitu serius, terlebih lagi soal perasaan.

"Thank you, Bro." Ujar Rava. 

It's Okay to FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang