VII : Samsara

1.1K 108 4
                                    

Suasana pagi hari digemparkan teriakan seorang bocah. Sarada geram, hasil prakarya miliknya terlihat tak sempurna. Padahal sudah dua hari berlalu, tapi ia baru menyadarinya.

"Gomen, Papa yang melakukannya" ungkap Sasuke mengutarakan maaf, "bagaimana jika membuatnya ulang? Papa akan bertanggung jawab"

"Yada yada! Aku hanya mau membuatnya dengan Ojii-san!"

Yappari. Sasuke menghela napas. Sarada memang lebih mementingkan momen daripada sekedar menerima hasil. Setidaknya, dalam membuat hasil karya tercipta sebuah kenangan antara dirinya dan sang kakek.

"Yosh yosh, nanti Papa akan meminta kakek kemari" rayu Sasuke, "yang terpenting sekarang harus siap ke sekolah, okay?"

Pipi Sarada menggembung. Ia nampak merajuk. Sebetulnya ia ingin mengumpulkan tugas lebih awal agar menjadi yang pertama.

"Sudah sudah, papa harus berangkat kerja. Sarada tak boleh rewel begitu.. hmm, coba nenek lihat senyumnya mana?" hibur Mikoto sembari menggelitik pinggang Sarada.

Bocah perempuan itu tertawa akibat geli.

"Nah, harus selalu ceria seperti itu! Masa pagi-pagi sudah cemberut" lanjut Mikoto mencubit pipi Sarada.

Sasuke tersenyum tenang. Ibunya selalu bisa mencairkan suasana kala ketenggangan terjadi. Dengan lega, Sasuke berpamitan menuju tempat kerja.

Hari-hari baru terus bergulir. Meski tak lagi bersama 24 jam nonstop, Sarada dan Sasuke merasa sama-sama berjuang menjalani kegiatan masing-masing. Sarada berusaha menjadi yang terbaik di sekolah demi membuat papanya bangga. Begitupun Sasuke, ia rela banting tulang demi Sarada.

"Sarada, angka berapa yang ada dalam bentuk bintang?" tanya sang guru menanyai tiap murid. Sekarang giliran Sarada Uchiha.

Gadis kecil berambut hitam itu mengernyitkan dahi dan memincingkan mata. Tulisan di papan seolah mengabur.

"Doushita, Sarada?" ibu guru tersebut menyadari keanehan pada siswanya. Tak biasanya Sarada berpikir lama, mengingat dia anak yang cerdas.

"Tiga.. dua.."

Seisi kelas bertukar pandang. Sarada yang dikenal pintar salah menjawab. Si wali kelas curiga terhadap sesuatu.

"Kenta-kun, bisa bertukar tempat duduk dengan Sara-chan?"

Kenta mengangguk. Sarada pun berpindah ke tempat Kenta yang berada di depan. Wajahnya memerah karena malu. Ternyata angka yang disebutkan Sarada kurang tepat.

"Coba kau sebutkan lagi, angka berapa dalam bentuk bintang?"

"Tiga-satu!" jawab Sarada yakin, tak ragu seperti sebelumnya.

Ibu guru manggut-manggut memahami kondisi Sarada. Kemungkinan anak itu menderita miopi. Ia harus menyampaikan informasi penting tersebut pada orangtua Sarada.

Seusainya jam belajar mengajar, ibu guru mengajak Sarada mengobrol tentang keseharian di rumah. Sarada menjelaskan hobinya yang suka membaca.

"Apa kau juga suka main ponsel?"

"Tidak. Papa melarangku main ponsel, jadi aku selalu diberi hadiah buku" cerita Sarada, "kadang-kadang aku juga membaca buku cerita sebelum tidur sendirian kalau papa dan nenek tidak bisa menemani"

"Wah hebat sekali" puji sang guru berusaha mengorek keterangan lebih jauh, "kira-kira waktu membaca, kamarmu gelap atau tidak?"

Sarada nampak sedang berpikir, "tidak juga. Papa dan nenek selalu menyalakan lampu tidur biar kamarku tidak gelap. Aku takut kalau ada monster yang tiba-tiba keluar dari kolong tempat tidur"

Sweetness in SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang