6. Regret

312 48 7
                                    

🌓

Petang ini Joy kacau. Kegelapan yang perlahan menggantikan terangnya siang rupanya Joy asumsikan sebagai dukungan alam akan emosinya.

Siap dengan pakaian olahraga ketat hitam serta rambut dijalin tinggi menjadi satu kesatuan, Joy melangkah keluar kamar dengan hentakan sepatu kets cukup samar. Pemandangan di lantai bawah dimana Ia melihat Seulgi di bar dapur dengan kacamata bacanya, menatap laptop nan menampilkan deretan tulisan, juga Wendy di ruang tengah dengan alat elektronik yang sama, menjadikan Joy merasa lagi-lagi diingatkan bahwa dia hanyalah menumpang; bahwa keberadaannya merupakan simbol negatif yang hanya akan membawa masalah di ikatan mereka.

Dengan itu Ia memasang earphone bluetooth yang sudah dihubungkan pada ponsel nan menggantung di lengan kirinya; memutar musik dengan volume cukup tinggi hingga Ia tak dapat menangkap panggilan kedua kakaknya yang kini hanya terdengar bagai bisikan pelan.

Lagipula itu tujuan utamanya.

Kemudian ketika tangan menempel di handel pintu putih gading yang terbuat dari kuningan, suara lamat-lamat diluar rumah nan berhasil menembus musik di earphonenya, mengundang rasa penasaran Joy untuk mengambang di permukaan sampai-sampai Ia rela memberhentikan putaran lagunya sejenak.

"Kau tampak lelah. Kau yakin tidak ingin pindah ke perusahaanku saja? Kau bisa langsung kuangkat menjadi direktur pemasaran, bukannya karyawan biasa seperti saat ini."

"Suho, ini perusahaan yang dibangun orang tuaku. Aku hanya memantapkan skill ku saja sebelum nanti meneruskannya. Aku pun tidak ingin menjatuhkan apa yang orang tuaku bangun. Kau—"

Sebelum Irene sempat menyelesaikan kalimatnya pada kekasihnya, bunyi hentakan pintu yang cukup keras membuatnya menoleh; sedikit terkejut, apalagi mendapati Joy melangkah tergesa dengan raut frustasi bercampur marah.

"Sooyoung, mau kemana ka—"

Lagi. Untuk kedua kali bibir Irene mendadak beku ketika Joy melewatinya tanpa sedikitpun sapaan atau tanda kesopanan sekalipun. Namun masalahnya bukan disitu. Inti dari segala kecemasan di dada Irene bersumber dari netra gelap Joy yang tampak agak kosong seolah tersesat; persis seperti beberapa hari lalu sebelum Joy berubah sedikit ramah.

Dari situ Irene menyimpulkan bila Joy kembali menahan dirinya sendiri di dalam kegelapan seperti saat Irene dan yang lain membiarkannya melakukan itu.

Disisi lain, badai di hati Joy hanya ditambah parah dengan kata 'orang tua' yang selalu membuatnya seketika sensitif. Daripada membenci saudari-saudarinya, Joy lebih pada membenci dirinya sendiri karena tak dapat memegang kontrol atas emosi nan mengendalikan seluruh keputusannya.

Joy tahu Ia tidak bisa terus menerus terjebak di ketakutan masa lalu. Tapi Ia hanya... tak bisa.

Seberapa keras Ia mencoba lepas, nyatanya akan ada suatu variabel nan menyeretnya kembali; mengingatkannya akan seberapa dia ingin bersembunyi dalam ruang tanpa cahaya.

"Coba saja! Aku tak akan pernah memberikannya padamu!"

"Kau tidak akan pernah menemukannya."

"Manusia biadab!"

"Lepaskan dia! Anakku tak ada hubungannya denganmu!"

"KIM YERIM!"

Deg.

Dan disatu titik Joy, suara-suara orang tuanya hari itu berdenging di kepala, mengalahkan musik dengan volume begitu kerasnya, membuatnya kehilangan seluruh kekuatan pertahanannya; membuatnya tak bisa melakukan apapun selain berhenti dibawah pohon besar sembari menyangga tangannya diatas lutut; membungkuk dengan nafas tak karuan seolah udara di sekitarnya diambil secara paksa.

Kakinya kebas, tangannya pegal, perutnya melilit, dadanya sesak. Dan secara tak terduga, seluruh kewaspadaan berubah menyerang fisiknya sendiri.

Satu tetes air mata yang turun dari sudut mata kanannya, beriringan dengan bulir-bulir keringat yang terbentuk di dahinya, jadi Ia tak terlalu khawatir sebab orang-orang hanya akan memandang hal tersebut sebagai hasil olah fisiknya; bukannya sebuah realisasi rasa sakit yang bersarang sejak lama.

Namun Ia sendiri muak. Muak akan kelemahan yang Ia miliki sampai-sampai Ia membiarkan kakinya menuntunnya untuk menuju ke sebuah bendungan disisi komplek perumahannya; berkeliling bersama beberapa warga lain di pinggiran.

Barangkali Joy hanya terlalu kebingungan untuk melampiaskannya. Nyatanya berlari tidak cukup membuatnya merasa terbebas barang sedetik saja. Jadilah Ia tahu-tahu berhenti lagi, naik ke besi paling bawah dari pembatas jalur dengan danau, lantas memajukan dirinya sejauh yang Ia bisa, dan disusul dengan teriakan sangat nyaring tanpa peduli tatapan aneh orang-orang disekitar.

"SIAAAAAAAAAAAAALLL!!!!!!"

plung..

Sesaat amarahnya berubah menjadi sebuah rasa penasaran akan bunyi dibawahnya yang muncul tepat ketika Ia berhenti. Namun ketika meresapi apa yang terlihat perlahan-lahan semakin merasuk ke dalam air dibawahnya, Joy secara terburu-buru melirik ke lengannya.

Ponselnya jatuh.

"SHIT! You must've been kidding me!!"

Menarik nafas dalam-dalam, Ia akhirnya berhasil mengosongkan seluruh pikirannya.

Atau mungkin terlalu jauh?

Entahlah.

"Terserah. Toh kak Joohyun memperbudak dirinya sendiri demi perusahaan itu."

🌗

Bodoamat males panjang2 lagi

Regards
- C

Secrète ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang