8 : OM BEN DATANG!

288 50 6
                                    

"Seriusan Om Ben mau datang?"

Suara bass milik seseorang berhasil membuat seisi rumah menoleh seketika. Rean yang menyingsingkan lengan kemeja sembari memegang vacum cleaner  dengan erat, hanya memandangi ketiga adiknya dari lantai dua. Sementara Gio?

Ya, dibanding membersihkan, cowok itu lebih sibuk bersin-bersin. Kain lap yang terbentang di bahu, lalu kemoceng di tangan kanan serta pembersih kaca di tangan kiri. Cowok itu menoleh, dapat dilihat bola mata itu menyorotkan rasa lega begitu melihat dua orang sudah berada di ambang pintu rumah.

Dikta dan Nanta.

"Sepatu!"

Dikta dan Nanta urung melangkah begitu jari telunjuk Rean mengarah. Padahal lantai masih saja berdebu, tidak ada satu pun tanda bahwa telah dibersihkan oleh si pemilik.

"Lepasin, terus lo berdua letakin di rak belakang."

Tanpa membantah ataupun berbicara, setengah hati Nanta dan Dikta membuka sepatu lalu menjinjingnya hingga rak belakang. "Yo, kuenya gue letakin di meja dapur."

"Ya." Gio tersenyum miring. "Thanks, Bang."

Dikta mengangguk.

"Ada yang mau Nanta bantu?"

"A- entar," Suara bersin memenuhi sudut ruangan, berusaha sebisa mungkin Gio menahan diri untuk tidak mengumpat sembari menggosok hidungnya yang tampak kemerahan. "Itu, Dek. Kue."

Seolah paham, Nanta mengangguk. Meraih piring di rak dapur lalu menyusun cake cokelat itu dengan rapi. Rapi? Entahlah, kadang ia merasa tidak cukup baik untuk menjadi seorang perempuan. Abaikan, mungkin tampilannya memang feminim, tapi urusan di luar itu?

Nanta mengembus napas pasrah, memperhatikan remahan sisa roti bakar yang ia buat tadi pagi. Apalagi jika tidak gosong. Untuk beres-beres ruangan? Tentu saja bisa, tetapi tidak semengkilap Rean melakukannya. Setiap sudut, celah, bahkan barang-barang harus tertawa rapi sesuai urutan atau warna.

Perfectionist.

Sontak, Nanta menunduk, begitu Rean yang membersihkan sela-sela anak tangga menatapnya.

"Dek!" panggil Rean berhasil membuat langkah kaki kecil itu terhenti seketika. Nanta yang mengambil piring kini menoleh belakang, Rean tersenyum tipis. "Gue mau minta tolong bentar."

Nanta mengernyitkan dahi, secepat mungkin Rean berbisik lalu dibalas anggukan kecil dari gadis itu.

___

Dan pada akhirnya yang ditunggu tiba ....

Ah, tidak. Tidak ada yang menunggu. Jika saja boleh berharap, maka keempat orang di rumah itu ingin segera kabur dan menghindari kedatangan pria paruh baya itu.

Gio, cowok dengan hidung masih memerah itu membenarkan tudung jaketnya yang terlipat. Nanta, gadis berusia belasan tahun menggigit bibir bawah sejenak, sesekali membenarkan ujung rambutnya yang tergerai bebas. Ya, Om Ben akan mengomentari soal rambutnya panjang lebar jika ketahuan terus-terusan diikat.

Dikta? Ah, bahkan si pemilik wajah yang selalu menyorotkan rasa tenangnya itu tampak berdecak, meletakkan kedua tangan di saku celana sembari bercengkrama dengan pikirannya.

Rean? Entahlah, baik Gio, Nanta, maupun Dikta tidak mengetahui sedikit pun pikiran atau apa yang dirasakan abang pertamanya itu. Wajah datar, embusan napas kasar yang sesekali keluar, bersamaan dengan kata-kata pedas yang selalu meluncur di setiap saat.

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang