7. Super hero

4.9K 1.3K 391
                                    

Zul terbangun dengan segala kejadian yang terlintas di ingatannya. Ya, ia sudah ingat semuanya. Sudah ingat kalau Immanuel datang malam itu, membantunya menyelamatkan El dengan menembaki setiap penjahat di sana. Dan Zul juga ingat kalimat terakhir yang Immanuel ucap sebelum dirinya tak sadarkan diri. Immanuel terdengar sangat kecewa padanya.

Jadi karena itu, Zul memutuskan untuk...

"Mas inget sesuatu?"

"Enggak."

Pura-pura goblok aja biar selamet. Batinnya, sambil sesekali melirik takut ke arah Immanuel yang berdiri di belakang Zulfa dengan tangan berlipat di bawah dada.

"Aku ambil makan siang buat Mas, yah. Abis itu minum obat."

Dan meninggalkannya bersama Immanuel di sini?

Oh maap, Zul belum punya nyali.

"Nanti aja, Mas belum mau makan."

"Tapi Mas harus makan, minum obat biar cepet sembuh."

"Jangan kaya anak kecil kamu, Zul!"

Rasanya Zul pengen ngumpet di dalem selimut denger suara Immanuel barusan.

Akhirnya, tidak punya pilihan lain, Zul melepaskan genggaman tangannya dari tangan Zulfa. Sebelum pergi wanita itu mencium keningnya, membuat Zul merasa selalu sangat dicintai dalam kondisi apapun dirinya.

Tepat saat Zulfa keluar dari ruangan, Immanuel berjalan maju. Zul pun reflek menarik selimut sampai ke leher, membuat Immanuel menatapnya jengah.

"Saya bukan setan!"

"Tapi lebih serem dari setan," cicitnya dari balik selimut karena kini ia sudah menutupi sebagian wajahnya. Lucu kalau dilihat. Sayangnya selera humor Immanuel tinggi, jadi dia tidak tertawa.

"Kamu beneran belum inget-"

"Gak, gak. Saya gak inget apa-apa."

Mencurigakan, pikir Immanuel.

"Kalau gitu saya bantu kamu supaya inget. Mau dengar?"

"Gaaaakk, gak. Nanti saya sakit kepala."

Immanuel mendengus kasar. Menantunya memang aktor yang buruk.

"Ok," putus Immanuel. Mengingat kondisi Zul yang belum membaik, ia masih harus berhati-hati padanya. Immanuel duduk di pinggiran tempat tidur, menumpu satu kakinya di atas lutut kaki yang lain. Kemudian mulai membuka percakapan.

"Kata Zulfa, kamu yang namain anak pertama kamu seperti nama saya."

Perlahan Zul menurunkan selimut yang menutupinya, kemudian bergerak duduk dengan bersandar di kepala ranjang.

"Iya. Gak perlu tanya kenapa. Abi pasti tau alesannya."

Bibir Immanuel menunjukkan sebuah garis tipis, sebuah senyuman yang nampak seperti terharu.

"Becandanya mafia beda, yah. Bukan lagi bikin ketawa, tapi nangis," sindir Zul. "Bikin orang berduka, bikin orang merasa menyesal, bikin orang kena sakit mental," sekalinya nyindir tancap gas langsung.

"Saya melakukan itu demi kebaikan kalian."

Zul mengeraskan rahangnya sejenak. "Kebaikan yang ngebuat saya selalu merasa gak baik-baik aja setiap denger nama Abi? Apa itu kebaikan yang Abi maksud?"

"Kebaikan yang ngebuat anak-anak saya gak bisa lihat kakeknya. Kebaikan yang ngebuat istri saya nangisin ayahnya diem-diem di belakang saya karena gak mau lihat saya ikut merasa sedih. Kebaikan yang seperti itu yang Abi maksud?"

Zul And FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang