07 - Lavender Roses

1.2K 238 33
                                    

FOLLOW DULU SEBELUM BACA!

Berikan dukungan dengan cara vote dan spam comment 🧚🏻‍♀

Cerita ini adalah fiksi belaka, nama tokoh, tempat, gelar bangsawan dan bangunan, kebanyakan murni hasil karangan penulis ❗❕

Maaf kalau vibesnya gak sesuai :(

Anyway, selamat membaca!

🅡🅐🅐🅣🅛🅐🅝🅣🅘🅒

London, England 1935

"Aku ingin berdansa dengannya."

"Apa?"

Vincent tak membalas. Ia melangkah mengikuti irama lagu. Aku menghela napasku. Mau tak mau, aku mengikutinya. Aku melemparkan tatapanku ke arah Jeff yang tampak heran dengan tindakan Vincent. Pria itu beranjak dari tempatnya, meninggalkan lantai dansa.

Aku merasa tak enak. "Aku akan menemuimu setelah ini," bisikku kepadanya ketika tubuhnya melintas melewati aku dan Vincent. Nicholas Jefferson memantau dari kejauhan dengan segelas brandy yang menemaninya.

Kami hanya diam selama berdansa. Aku menatap ujung sepatuku dan pria itu tidak mengatakan apa-apa. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya. "Ada yang ingin kau katakan?" tanyaku, memecahkan keheningan.

"Bukankah kau pandai berdansa, Nona? Kau terlihat kaku sekarang."

Vincent tak membalas pertanyaanku. Ia membahas hal lain, yang bahkan bukan urusannya. Aku menatapnya jengah. Tubuhku mulai gemetar, tak terbiasa berada di tengah hiruk-pikuk pesta.

Suasananya jauh lebih sesak dibandingkan pesta sebelumnya.
Orang-orang tenggelam dalam alunan musik, suara sepatu-sepatu yang beradu di lantai dansa, serta gelak tawa mereka yang bercanda gurau di ujung sana dengan suara dentingan gelas yang nyaring.

Aku tak minum alkohol terlalu banyak, namun aku seperti orang yang mabuk berat. Aku melepaskan tanganku dari bahunya kemudian mengangkat gaunku. Aku berlari menjauh dari lantai dansa. Dari aula, lebih tepatnya.

Semua orang menatapku, tak terkecuali Roxanne, Christian, dan Leopold. Aku mengangkat tanganku, sebagai kode bahwa aku baik-baik saja. Ayolah, ini hanya serangan panik selama beberapa menit. Aku sudah terbiasa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kurasa.

"Lady Jean."

Memalukan. Sungguh memalukan.

Aku tersenyum ke arah Erena yang berhenti di tangga dan memusatkan seluruh pandangannya ke arahku. Ia tampak bingung. Aku memilih untuk menjelaskannya lain kali. Sungguh, mereka benar-benar membuatku tak nyaman. Aku melangkah cepat dalam kegelapan di lorong mansion yang sunyi.

"Whoop!" ucapku, reflek.

Mataku bertemu seorang pria di dalam lukisan dengan alisnya yang menukik tajam. Aku merinding seketika karena tatapannya yang menyeramkan. Aku mengatur napasku yang tak karuan. Suasana mendadak sedikit mencekam, untukku.

Dear JeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang