1 - alarm tanda bahaya

639 60 2
                                    

ADIRAGA Satria baru saja menyelesaikan latte art bergambar bunga tulip saat mendengar sapaan di seberang ruangan. Tak mau membuat kesalahan, Satria meletakkan cangkir hitam di meja bar. Sepasang matanya mengarah ke sumber suara. Benar saja, Karma, perempuan yang disapa itu tengah menyongsong ke arahnya sesudah melambai singkat pada sang penyapa.

"Hai, Hon!" Karma mengecup pipi kiri Satria, yang terlapisi masker.

Sabtu siang kali ini Karma mengenakan kaus putih longgar dipandukan dengan boyfriend jeans berwarna mint. Rambutnya dikucir satu seadanya. Beberapa helai tampak melekat oleh keringat di tengkuknya. Satu bagian di tubuh Karma yang paling Satria sukai. Tempat di mana Satria bisa berlama-lama demi melepaskan penat setelah seharian bekerja. Singkatnya, hari ini Karma masih seperti Karma biasanya, manis sekaligus memukau.

"Wah, kamu makin jago bikin latte art." Karma mengintip ke cangkir di hadapan mereka.

Bertahun-tahun berkiprah di dunia perkopian, Satria selalu saja tak percaya diri dengan latte art buatannya. Sudah berulang kali latihan, gambar yang Satria buat masih tak jauh-jauh dari bunga tulip, hati, dan rosetta. Namun, lain soal dengan cita rasa kopi. Satria bisa menjamin kopi buatannya selalu tersaji enak dan nikmat untuk siapa pun yang berkunjung ke kedai kopinya.

"Kamu duduk dulu, ya. Aku masih ada satu pesanan lagi."

Karma celingukan. Hanya ada sang kekasih di belakang meja bar. Padahal biasanya pada jam-jam ramai seperti ini sekurang-kurangnya ada dua barista. "Ukay. Aku duduk di meja biasa, ya."

"Siyap. Sebentar, ya. Entar aku nyusul." Satria mengelus perlahan pundak Karma sebelum membiarkan kekasihnya berlalu, lantas kembali berkutat dengan kesibukan.


***


Kurang dari lima belas menit, Satria sudah menempati sofa di seberang Karma duduk. Baki yang dibawanya diletakkan di meja. Perlahan, sebisa mungkin tak menimbulkan suara, Satria mendorong affogato tersebut lebih dekat ke arah Karma.

Karma yang sedang asyik berselancar di iPad-nya praktis mendongak. Mata gadis itu berkilat senang mengetahui apa yang datang bersama kekasihnya. "Gimana aku enggak cinta sama kamu, ya, kalau caranya begini?" Karma terkikik sendiri. Dengan lincah tangannya bergerak meraih cangkir demi memindahkan setengah isi espresso ke mangkuk berisi gelato rasa vanilla. "Nikmatnyaaa!" Karma memekik puas setelah menyantap sesendok minuman favoritnya itu.

"Suka berlebihan," tanggap Satria. Namun, diam-diam, dalam hati Satria ikut senang. Satu, kopi buatanmu mendapat pujian, itu satu hal. Dua, pujiannya datang dari orang yang kamu cintai, itu lain hal. "Kok tumben enggak ngabarin mau main?"

"Aku enggak boleh, ya, kasih surprise buat pacar aku sendiri?"

Satria menggeleng samar. "Kamu tahu bukan itu pembicaraan kita, Kar. Kenapa? Ada masalah apa?"

Karma melepas sendok kecil dari tangannya. Punggungnya jatuh ke sandaran sofa. "Mami, tuh. Heran, deh, anaknya itu aku atau kamu sebenarnya."

Jawaban Karma sontak saja membuat Satria terbahak. Karma dan Mami memang lebih cocok digambarkan dengan sosok Tom & Jerry dibanding ibu dan anak. Tujuh tahun lamanya mereka berpacaran, hampir jarang Satria melihat kekompakan keduanya, ada saja perselisihan. Namun, di balik itu semua, Satria sebenarnya dapat menyadari betapa Mami sangat menyayangi Karma. Hanya saja, kekeraskepalaan keduanya yang kerap kali menutupi ketulusan kasih sayang. Akhirnya mengabur. Yang tersisa hanyalah ego satu sama lain.

"Ribut kenapa lagi?" Nada Satria melunak. Tubuhnya condong ke depan demi meraih tangan sang kekasih ke dalam genggaman. "Enggak capek, ya, berantem mulu?"

"Menurut kamu aja, Hon." Karma mendengus, bola matanya berputar malas. "Eh, kamu di sini, bar siapa yang handle?"

"Ada Tony, tuh."

Karma memandang ke meja bar. "Hoi, Tony Stark!" Pekikan diikuti lambaian tangan superheboh bukan hanya mengundang pemuda bertopi fedora menatap ke arah Karma, tetapi nyaris seisi House of Cliché. Seperti biasa, bukannya merasa tak enak, Karma malah menyunggingkan cengiran lebar.

"Hoi, Karma Chameleon," Tony membalas. "Kalau affogato buatan Satria enggak enak, kasih tahu gue, entar gue buatin yang suuuper enak."

"Sip!" Karma mengacungkan jempol.

Sudah biasa berada dalam situasi demikian, Satria hanya tertawa. Karma dan Tony, kawan karib sekaligus partner bisnisnya, memang seakrab itu. Saking akrabnya, keduanya sampai punya nama panggilan khusus. Tentu saja Karma yang memulai menciptakan nama gelaran untuk Tony. Karma memang begitu. Bukan hanya Tony, dengan siapa pun dia mudah akrab. Sesuatu yang membuat Satria jatuh hati sejak kali pertama bertemu, tetapi kadang-kadang juga bisa membuatnya diserang cemas.

Satria takut andai saja ada lelaki yang salah mengartikan keramahan Karma. Apalagi bila itu terjadi Satria tak ada di sisi Karma. Membayangkannya saja sudah membuat Satria senewen.

"Hon, kenapa?" Karma yang menyadari perubahan Satria praktis mengusap punggung tangan kekasihnya.

"Nope." Satria berusaha tersenyum. Sebaiknya mereka jangan membahas yang satu itu. "Tadi udah makan, kan? Jangan bilang aja perut kamu belum diisi apa-apa akunya malah kasih kamu affogato gini."

Karma menyuap lagi sesendok gelato bercampur espresso ke mulutnya. "Aku makan dulu, kok, sebelum pergi. Pas makan itu diajak ribut sama Mami."

"Kali ini soal apa?"

"Kamu."

"Aku?"

"Iyaaa. Lebih tepatnya, sih, persiapan pernikahan kita. Mami bilang aku, tuh, kayak enggak ada effort-nya. Udah aku jelasin, kita pakai jasa WO-nya Oliv, aku dan kamu cukup duduk manis. Paling, yah, angkat-angkat telepon dikit buat mastiin ini-itu."

"Terus apa kata Mami?"

"Ya dibilang coba aku, tuh, nyamperin Oliv, siapa tahu Oliv ada bingung apa gitu. Kubilang, enggak perlulah, selama Oliv enggak ada kabar, berarti semua aman terkendali. Lagian, aku masih riweuh sama draf yang lagi aku kerjain, masa iya aku harus diribetin sama hal lain?" Sadar sudah salah bicara, Karma buru-buru meralat, "Nggh, Hon, maksud aku, tuh—"

"Iya, iya, aku paham." Satria mengulas senyum menenangkan. "Pertama—ini aku enggak belain siapa pun, ya, tapi kamu harus jelasin dulu ke Mami kenapa aku dan kamu mutusin buat pakai jasa WO." Satria menjeda sesaat. Dipastikannya lebih dulu air wajah sang kekasih sebelum melanjutkan. "Kedua, bicaranya baik-baik sama Mami, Kar—"

"Udah, Hon ..., tapi kamu tahu, kan, Mami gimana."

"Dengar, dengar dulu." Satria menggenggam tangan Karma lebih erat. "Dari pengalaman sejauh ini, yang aku lihat langsung, gimana kamu dan Mami enggak ribut mulu, kalian itu sama-sama keras kepala. Mengalah, Kar. Ini ibu kamu sendiri, loh. Even kamu benar, tetap aja, kan?"

Karma tak menjawab.

"Oke, untuk kali ini, menurut aku, kamu enggak salah. Cuma mungkin, cara kamu menjelaskan yang kurang tepat. Pelan-pelan, Kar. Ajak Mami ngobrol dari hati ke hati. Jelasin gimana sibuknya kamu sama novel-novel kamu, aku dan kedai kopiku."

Karma masih diam. Tak ada sahutan. Dia bahkan dengan sengaja menghindari pertemuan bola mata mereka.

"Nurut, dong, Kar, sama aku. Kita bentar lagi nikah, lho."

Karma memejamkan mata. Ada sesuatu dalam kalimat Satria, setiap kali dia berkata begitu, yang diam-diam mengganggu Karma. Padahal Satria mengucapkannya biasa saja. Seperti obrolan sambil lalu. Kadang Karma berpikir, memang berselubung tendensikah atau dia saja yang terlalu perasa?

"Ya?"

"Hm?"

"Kamu masih ingat, kan, permintaan aku sebelum kita nikah?"

Punggung Satria refleks menegak diingatkan perjanjian mereka satu itu. Embusan napas yang meluncur dari sela bibirnya pun kentara berat. Baik Satria maupun Karma sama-sama tak bisa mengabaikan reaksi itu.

Alarm tanda bahaya sudah berbunyi.

[ ].

DALAM TANDA PISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang