Rumah di Seberang

401 76 10
                                    

🍜🍜

Warung mi di persimpangan jalan itu favoritku. Mereka hanya punya satu jenis mi, yaitu mi ayam. Meski sederhana, tapi perlakuan hangat Ibu May si penjual dan segelas es teh rasanya tak ada tandingan. Terlebih, manisnya cowok yang rumahnya di seberang warung adalah pemandangan paling epic sedunia.

Hampir setiap hari, sepulang sekolah, aku makan mi di sana. Biasanya aku selalu duduk di kursi yang menghadap rumah bercat putih di seberang. Cowok manis itu selalu duduk di teras bersama kucing warna oranye di pangkuannya. Aslinya aku selalu memandangi dia dari sini, tapi mungkin dia tidak peka. Lagi pula, yang makan di warung ini kan banyak, tak hanya seorang anak SMA yang baru pulang sekolah sepertiku saja.

Uniknya, cowok itu selalu ada di sana, dan aku tak pernah melihatnya memakai seragam sekolah. Sampai-sampai aku beranikan diri untuk bertanya pada Ibu May mengapa cowok manis itu tak pernah ku lihat memakai seragam sekolah. Waktu itu jawaban Bu May, "Oh, Mas Beomgyu itu home schooling, Mas."

Pantas saja, keluarganya kelihatan berkecukupan juga. Tapi jadinya akan susah buatku untuk mendekatinya. Sudah anak rumahan, tak pernah terlihat main dengan teman, beli mi ayam di sini saja pembantunya yang datang. Bagaimana cara mendekatinya?

Suatu hari aku tak lihat Beomgyu duduk di teras lagi. Kedatanganku di sini serasa sedikit sia-sia. Padahal, selain mi ayam, memandanginya adalah tujuanku yang lain. Tapi tak apa, mungkin besok aku bisa melihatnya lagi. Absen satu hari bukan masalah besar.

Masalahnya, dia tak muncul lagi besoknya, dan besoknya lagi, dan besok besoknya lagi. Lalu setelah satu bulan kemudian, aku baru sadar jika dia sepertinya memang tak akan muncul lagi.

"Bu, mas-mas yang suka bawa kucing di teras itu kok akhir-akhir ini nggak pernah kelihatan, ya?" tanyaku pada Bu May.

"Orang tuanya cerai, Mas. Bapaknya ketahuan selingkuh sama guru home schooling-nya Mas Beomgyu. Terus Mas Beomgyu ikut mamanya."

Kaget campur sedih dijadikan satu dengan perasaan kecewa. Kecewa mengapa cowok semanis itu harus punya bapak yang sebejat itu. Karena bapaknya, aku jadi tak bisa melihatnya lagi. Belum jadi mertua saja sudah nyusahin.

Hari selanjutnya aku tetap datang ke tempat mi ayam, tapi intensitasnya lebih jarang. Kata mamak tak boleh makan mi sering-sering, biaya rumah sakit mahal, aku masih miskin. Nanti kalau sudah kaya bolehlah makan mi, tapi jarang-jarang saja sebab orang kaya harus hidup sehat, kalau tidak penyakitnya aneh-aneh. Lalu bedanya apa? Sama-sama harus mengurangi makan mi. Padahal kan, tidak semua mi mengandung bahan tak sehat. Kecuali jika aku makan mi di depan Beomgyu dan pacarnya. Hahaha halu.

Kini aku sudah lulus SMA, lalu kulanjutkan kuliah di luar kota. Sudah lama sekali aku tak makan mi di tempat itu. Namun, rasa lezatnya tetap teringat di otakku. Beomgyu juga sama, aku masih ingat betul senyum manisnya walaupun dulu hanya bisa memandang dari kejauhan.

Aku rindu sekali. Betul-betul rindu.

Coba dulu aku beranikan diri untuk berkenalan, mungkin sekarang aku sudah bisa memacarinya. Tapi khayalan tetap khayalan, tak akan jadi nyata. Karena ini bukan cerita Doraemon yang punya kantong ajaib. Aku benci Nobita.

"Tae, malem ini sibuk nggak?" 

Ini temanku yang bertanya, namanya Hueningkai. Biar aku tebak, dia pasti mau ajak aku temani dia pacaran. Heran, kapala sudah dua, tapi pacaran masih minta ditemani seperti anak SMP.

"Mau jadiin aku obat nyamuk lagi?" tanyaku. Dia malah tertawa sambil menepuk-nepuk bahuku. Dia ini sadar tidak, sih, kalau punya tangan besar dan tenaga kuat? Sakit bahuku.

"Mau gue kenalin sama orang, biar lo nggak jomlo terus."

Memang apa istimewanya punya status 'tidak jomlo', sih? Walaupun hidup hanya terbayang-bayang senyum manis Beomgyu, bagiku sudah cukup.

"Nggak usah, nggak perlu," jawabku sambil fokus dengan laptop Asus warna biru.

"Sumpah! Lo nggak akan nyesel kalau gue kenalin sama dia. Anaknya manis, orangnya asik, pecinta kucing!" seru Hueningkai sambil menepuk bahuku lagi. Mungkin habis ini aku harus mendaftar asuransi kesehatan untuk bahuku.

Tapi kata 'pecinta kucing' itu terus berputar di otakku. Kata itu mengingatkanku dengan Beomgyu. Beomgyu punya kucing oranye yang pemalas dulu—kucingnya hanya tidur-tiduran saja. Akhirnya aku menyetujui usul temanku. Siapa tahu itu Beomgyu?

Agak halu, tapi aku percaya diri.

Aku memakai kemeja flanel berwarna hitam putih dengan kancing terbuka, dipadukan dengan kaus berkerah turtle neck warna putih di dalamnya. Sneakers hitam putih yang kupakai cocok sekali dengan celana jeans warna hitam dan wajah gantengku ini. Jangan lupakan parfum cowok aroma manly supaya aura gantengku bertambah.

Hueningkai menjemputku pakai motornya, walaupun aku juga berangkat menggunakan motorku sendiri. Iya, dong! Kalau misal nanti Hueningkai dan pacarnya mau jalan-jalan berdua, tidak mungkin aku naik angkot, 'kan?

Kami tiba di kafe tempat janjian, lalu masuk ke dalam mencari tempat duduk pacarnya Hueningkai. Kulihat pacar Hueningkai duduk sendiri di salah satu tempat. Mana temannya yang mau dikenalkan denganku?

"Hai, Sayang! Udah nunggu lama?" sambut Hueningkai dilanjut dengan cipika-cipiki dengan pacarnya. Sialan! Buat iri saja!

"Nggak, kok. Oh iya, temanku tadi ke toilet sebentar."

Oh, ke toilet. Baru datang sudah ke toilet? Grogi mungkin bertemu cowok keren sepertiku.

"Oh! Itu anaknya udah selesai," kata pacar Hueningkai sambil menunjuk arah toilet. Aku memandang mengikuti arah gerakan tangannya.

Seorang cowok berkaus putih berbalut kardigan ivory. Rambutnya sedikit kecoklatan dan punya mata yang cantik. Dia berjalan kemari, dengan senyum manisnya. Senyum manis yang selama ini kurindukan. Dia ... Beomgyu yang sejak dulu aku kagumi.

Takdir ini aneh sekali, tapi aku menyukainya.

Aku berdiri menyambutnya, menatapnya bak tak ingin hilang pandangku lagi atas dirinya walau sedetik saja. Dia balik menatapku dengan mata hazelnya, cantik sekali. Ini manusia atau boneka sebetulnya?

"Beomgyu," katanya sambil menawarkan jabat tangan. Aku meraih tangannya. Halus sekali seperti pantat bayi. Apalagi kalau bayi kita berdua, pasti akan lebih baik lagi.

"Taehyun," jawabku. Dia tersenyum malu-malu sambil sedikit menunduk. Ada sensasi seperti air soda menyembur dalam dadaku, seperti habis menang motoGP, tapi versi murah. 

"Wajahmu nggak asing, tapi aku lupa pernah lihat dimana," kata Beomgyu. Aku tersenyum. Ingin rasanya menjawab bahwa aku yang setiap hari makan mi ayam di seberang rumahnya, tapi aku tak mau jika nanti ia jadi teringat oleh bapaknya yang brengsek itu.

"Mungkin takdir?"

Itulah awal perkenalanku dengannya. Takdir begitu lucu. Tak perlu kantong ajaib sekalipun, aku punya kesempatan untuk bisa bersamanya. Mulai sekarang tak akan kusia-siakan kesempatan emas ini.

Selesai

.

.

.

atau tidak, ya?

redkiwiy


Catatan Way:

Jangan sering-sering makan mi instan

Universe Smash The Wattpad || TAEGYU ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang