Kisahnya dari Spanyol sana, mengenai asal muasal para bangsawan disebut berdarah biru. Ada istilah sangre azul yang secara literal berarti darah biru. Istilah itu untuk keluarga bangsawan di Spanyol, yang hanya menikah dengan ras yang sama untuk menjaga kemurnian ras mereka. Yakni kulit putih pucat hingga memperlihatkan pembuluh darah mereka yang kebiruan. Agar garis keturunan mereka juga murni. Dari situlah idiom darah biru muncul.
Termasuk keluargaku sendiri, yang merupakan keturunan para bangsawan tersebut. Namun entah bagaimana caranya kami tiba-tiba memiliki rumah di negara asing, aku tidak ingat.
Tapi Dad tidak pernah ke sini lagi sejak itu, hanya Mami yang masih mengunjungiku setiap bulan. Dad bersikukuh tidak ingin meninggalkan Spain. Meski hanya untuk melihatku.Aku melirik tangan Lalisa yang sedang menaruh kue pie di atas meja. Ia bersama pelayan lain menyiapkan menu makan siang. Di rumah kaca yang penuh dengan tanaman ini.
Kulit putih pucat itu, aku ragu dia bukan keturunan bangsawan. Bahkan gurat wajahnya pun tidak menunjukkan seorang pribumi. Lalisa tersenyum gusar. Mungkin sadar sedari tadi ditatap lekat olehku. Aku mengalihkan pandangan.
"Ahes, sudah baikan?"
Mami mengecup kedua pipiku. Senyumnya lebar, namun ada sedikit kekhawatiran di sorot matanya. Ia menarik kursi di samping kananku, duduk di sana.
"Ya, Mam." Lalu tangannya mengusap-usap rambutku.
Lalisa hendak pergi dari hadapan kami bersama yang lain, namun Mami mencegahnya.
"Ayo makan bersama, Lalisa."
Aku meliriknya, ia terlihat menimbang-nimbang. Mengangguk, lalu gadis itu duduk di samping kiriku. Atas perintah Mami.
Denting peralatan makan terdengar memenuhi rumah kaca. Kami makan tanpa bicara. Lalisa sepertinya kesulitan memotong steak. Aku memegang tangannya untuk membuat gerakan memotong daging sapi itu dengan sedikit kuat. Dan berhasil. Lalisa berterima kasih, tanpa kubalas.
Mami masih tenang setelah menyadari perilaku-ku barusan. Ia menyeruput teh di cangkir bunga kesayangannya. Tanpa kami sadari, ia tersenyum kecil.
"Besok Mami pulang. Jangan macam-macam lagi dengan alkohol, Ahes." Matanya melotot sekaligus khawatir, Mami menggenggam tanganku. Aku menatapnya datar, "Hm."
"Anak ini."
***
Langit sepertinya sangat mendukungku. Gadis ini jadi kurepotkan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Lalisa mengusap-usap rambutku atas permintaanku. Pahanya menjadi bantal untuk kepalaku.
Aku masih memejamkan mata sejak kami memutuskan bersantai di halaman belakang. Beralasakan kain putih polos seperti biasanya. Lalu beberapa camilan menemani sore yang sejuk ini.
"Lalisa."
"Ya, Tuan?"
Jeda sebentar.
"Siapa kekasihmu?" Aku berusaha mengeluarkan nada normal. Ini bukan seperti diriku yang ingin mencampuri kehidupan orang lain.
"E-eh. Saya ... saya tidak punya kekasih, Tuan."
Diam. Itu responku. Lalu kami sama-sama diliputi keheningan. Aku tiba-tiba bangun, duduk menatapnya. Lalisa juga menatapku. Dengan lembut.
Hal yang kulakukan selanjutnya mungkin membuatnya terkejut. Tanpa aba-aba kuletakkan kepalaku di ceruk lehernya. Menghirup aroma tubuhnya yang khas. Membuat punggung gadis ini langsung menempel pada pohon.
Lutut kami juga menempel, dikarenakan saling duduk bersila. Ia makin terkejut lagi saat kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Pelukan yang aneh, juga kalimat yang kukatakan berikutnya.
"Aku menyukaimu, Lalisa."
***
Malam hari, dengan buku karya Leo Tolstoy. Lalisa melakukan storytelling. Kami berada di balkon kamar, beralaskan kasur tipis dan bed cover. Ide yang sangat gila, namun aku ingin mencoba tidur di luar. Dengan Lalisa yang menemaniku.
Gadis ini masih mengusap rambutku di tengah dirinya yang membaca. Sabar memenuhi permintaan manusia ini. Aku berbaring di sampingnya yang sedang duduk. Ia melapisi tubuhnya dengan selimutnya sendiri.
Mengenai sore tadi, Lalisa diam beberapa detik. Lalu memberiku jawaban yang tak terduga, meski tidak kutunjukkan. "Aku juga." Ucapnya ringan, menatapku.
Hanya itu. Kami tidak terikat.
"Aku ingin kamu memanggilku Ahes."
Lalisa berhenti membaca. Gerakan tangannya juga berhenti. "Tapi Tu-"
"Hanya Ahes."
Lalu ia diam, membuatku menghela napas. "Aku tidak jadi memaksa."
Ia tersenyum tipis.
Angin berhembus sepoi-sepoi. Mengiringi suara Lalisa yang menghipnotis. Aksen British nya kental. Ia membaca novel itu dengan serius. Tepat di bab ketiga terakhir, aku menyuruhnya berhenti. Ia mulai berbaring di sampingku. Kami tidur dengan guling sebagai pembatas.
***
"Bye, Lalisa."
Mami melambaikan tangannya pada kami. Tersenyum kecil, lalu menutup jendela mobil.
Ia diantar Gerald menuju bandara. Sebelum menaiki mobil ia banyak memberiku nasihat-nasihat, juga mencium wajahku beberapa kali. Aku agak risih karena dilihat banyak pelayan, tapi tidak menolak. Hanya Mami yang masih sudi melakukan itu.Kami diam memandang kepergiannya. Kemudian Lalisa mengantarku ke dalam rumah, diikuti yang lain.
"Tuan, minum obat dulu."
Lalisa menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh, diam menatapnya. Sebenarnya tujuanku saat ini adalah menyendiri di perpustakaan, tapi melihatnya mulai gugup, membuatku harus menjawabnya.
"Aku ingin membaca. Bawakan obatnya ke perpustakaan, Lalis." Lalu meninggalkannya di ruang tengah. Tersenyum kecil, aku tahu ia masih bergeming, kemudian mulai bergerak sepuluh detik setelahnya.
Aku mengambil buku lapuk bersampul coklat, menuruni tangga kayu pelan-pelan. Ruangan luas ini tidak pernah dikunjungi siapapun selain diriku. Atapnya yang tinggi diisi oleh rak-rak buku tinggi yang memenuhinya pula.
Terdengar suara pintu besi yang dibuka. Aku menatap gadis itu setelah berhasil menuruni tangga. Berjalan ke arah kursi di dekat jendela, aku menyuruhnya duduk di depankuku.
Aku meletakkan buku di atas meja kayu.
"Lalisa."
"Ya?"
***
don't forget to vote <3
*rumah kaca
but meja makannya ga seperti yg di gambar
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise & Lalisa
Romance"Seperti sunrise yang memulai hari dengan elegan, Lalisa diciptakan untuk menjadi pembatas kehidupanku yang gelap, dengan cahaya pendarnya." [Cerita ini terinsipirasi dari judul karya bang Tere Liye, Sunset Bersama Rosie] Merupakan versi yang sangat...