MENGAPA.
.
.Pagi hari yang tak pernah terduga nyatanya berhasil membuat hari Hara menjadi penuh sesak. Lelaki yang lebih tua dari Narel itu memilih meninggalkan kelasnya sejak pelajaran ketiganya dimulai. Ia mengucap selamat pada Narel dalam hati karena berhasil membuat harinya yang semula tenang menjadi penuh tak terkendali seperti ini.
“Selamat pagi”
Seorang gadis yang selalu menemani Hara sejak bertahun-tahun lalu menampakkan diri dengan dua kotak susu di tangan. Memberikan salah satu berperisa coklat pada Hara di hadapannya. Nara melayangkan senyuman cantik, diam-diam mencoba menenangkan sahabat baiknya yang tampak murung hari ini.
“Kenapa lagi hari ini?”
Gadis dengan rambut panjang kecoklatan itu memiringkan kepalanya. Dengan binar cantik di mata, Hara tersenyum. Sedikit banyak ia bersyukur dengan kehadiran gadis cantik di hadapannya ini. Di tengah setiap hal buruk yang ia lalui, Nara selalu ada di sisinya, menemaninya dan membuatnya merasa baik kemudian.
Tangan Hara terangkat demi mengusap helaian surai Nara yang menutupi sebagian wajahnya. Terkekeh pelan menyadari nama mereka yang terdengar begitu mirip. Sedang Nara di hadapannya tersenyum lebar kendati tak memahami mengapa Hara tertawa. Namun setidaknya Nara bersyukur karena bersamanya, Hara terlihat tidak berbohong dengan keadaannya.
“Bad as usual,”
Nara tersenyum. “Ikut gue, yuk,”
Gadis itu berdiri dengan tangan yang berusaha meraih Hara yang masih menetap di tempatnya. Meski terlihat malas-malasan, Hara akhirnya bangkit dan mengikuti langkah riang Nara di hadapannya. Senyumnya terkembang, melihat bagaimana besar usaha Nara yang ingin membuatnya kembali bahagia.
.
.
.“Sampai, deh,”
Hara mengedarkan pandang. Mengerjap kagum dengan apa yang ia lihat kini. Mereka sampai di sebuah perpustakaan tua di ujung kota. Tempat ini menenangkan. Terlihat dari sedikitnya orang yang datang ke sana. Aroma buku tua langsung menyambut indra penciuman keduanya. Juga dengan banyaknya buku yang berjajar di sana.
Buku adalah hal yang sangat jauh dari hidup Hara selama ini. Bisa dibilang selama ini ia menganggap buku hanya sebagai pelengkap hidupnya dan ia tidak terlalu butuh hal itu. Ia hanya perlu belajar dengan mengikuti arus maka hidupnya akan baik-baik saja.Berbeda dengan seseorang lain yang selama ini tak ia lihat keberadaannya. Meski orang itu begitu jauh dari tiap jengkal hidupnya, namun ia tahu pasti dengan cara apa orang itu bertahan hidup. Buku adalah bagaimana cara Narel untuk tetap berpijak di dunia. Dengan segala ketidakpedulian yang Hara berikan, ia tahu ketika Narel rela tak tertidur di malam hari demi bercengkrama dengan buku-buku tebal yang ia miliki.
Ah, Narel, ya.
Hara bahkan tak mengerti mengapa di tiap ketidakpedulian yang ia miliki, ia malah kembali memikirkan anak itu. Apa yang salah padanya akhir-akhir ini?“Loh, kan, ngalamun lagi,”
Gadis itu berjalan mendahului Hara menuju salah satu rak paling dekat. Meraba permukaan buku-buku tua di sana. Senyumnya terkembang. Menikmati ketenangan yang begitu jarang ia rasakan. Kepalanya tertoleh demi menemukan Hara yang juga tengah terdiam menatapnya.
“Gue suka ke sini. Aroma buku tuanya bikin tenang dan juga di sini jarang banyak orang. Jadi lo bisa nyaman banget, tanpa gangguan apapun,”
Nara mengambil sebuah buku yang paling dekat dengan tangannya, seketika ia tersenyum lebih lebar menyadari buku itu adalah buku dongeng yang ia sukai.
“Gue nggak bisa paksa lo buat cerita apa masalah yang lagi lo rasain. Tapi lo bisa ke sini kalo misalkan lo pengen nenangin diri,”
Hara mengedarkan pandang hingga ia menemukan sebuah buku yang begitu familiar. Langkahnya tanpa sadar mendekat hingga maniknya melebar begitu ia menangkap judul yang tertera di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Doing Well
Teen FictionNarel adalah marah tanpa ledak. Luka tanpa darah dan perih tanpa reda. Rasa cintanya pada rasa sakit membuatnya tak mampu rehat dari lara. Hingga semua yang ada padanya hanya semu dan palsu. Mimpinya sederhana, amat sederhana. Namun entah mengapa, s...