Serpih ke 22 : KENANGAN

2.8K 261 4
                                    


KENANGAN

.

.

.

Rumah terasa begitu sepi ketika Hara membuka matanya. Tubuhnya bangkit demi menemukan matahari ternyata sudah begitu terang. Ia menguap lebar sekali. Semalam ia kembali menjelang pagi setelah memenangkan beberapa turnamen di arena. Membuat tubuhnya terasa begitu remuk di esok hari. Maniknya berhenti pada jam di sisian ruangan. Pantas saja terasa begitu sepi, sekarang bahkan sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Narel pasti sudah berangkat sekolah. Soal Wayan, ayahnya itu semakin jarang menginjakkan kaki di rumah, dan ia mencoba untuk tidak peduli.

Kakinya perlahan menyentuh permukaan lantai yang tak lagi dingin. Melangkah pelan menuju dapur demi menemukan makanan yang bisa menghentikan bunyi-bunyi mengganggu di perutnya sejak ia membuka mata. Langkahnya terseok hingga sesekali membentur apapun yang ada di dekatnya. Ah, ia tak tahu jika efek mengikuti banyak turnamen akan menjadi seperti ini. Jika ia tahu, lebih baik ia mengikuti satu saja semalam.

Sesampainya di dapur, ia hanya menemukan tumpukan roti tawar dengan sekaleng selai coklat, tanpa ada makanan lain di sana. Terlalu lapar, ia tak peduli dengan itu. Hingga ia berakhir mengoleskan selai coklat itu pada permukaan roti dan melahapnya cepat. Pada sela kegiatannya, pandangnya tertuju pada tumpukan roti di sisian lengannya. Menyadari jika roti itu hanya berkurang karenanya. Itu artinya, selama ini Narel bahkan tak pernah sarapan bahkan hanya dengan selembar roti di atas meja. Hela napasnya terdengar. Sedikit sulit mengingat hubungan mereka bahkan tidak pernah baik sejak awal.

Manik coklat gelapnya beralih pada pintu coklat di lantai dua. Ruangan Narel yang tepat berada di sebelah kamarnya. Kembali mengingat segala tentang Narel yang tak pernah lagi ia lihat. Ruangan itu terletak tepat di sisinya, namun mengapa rasanya mereka begitu jauh dari aspek apapun. Narel terasa begitu sulit untuk ia jangkau lagi atau mungkin ia yang selama ini menciptakan jarak untuknya.

Hela napasnya terdengar kemudian. Roti di tangannya tidak lagi menarik untuk dimakan. Salah satu sisian dirinya meminta untuk kembali menarik Narel untuk berjalan bersamanya. Tak lagi meninggalkannya sendirian di belakang dengan langkah terseok yang mungkin menyakitkan.

Setelah pergulatan yang membingungkan, Hara akhirnya berdiri, meninggalkan sepotong roti selai coklat yang masih tersisa setengahnya. Langkah pelan itu ia bawa menuju kamar Narel yang sejak tadi seakan memintanya untuk masuk dan melihat apa yang selama ini terjadi di dalam sana. Tak lama kakinya sampai dan berhenti tepat di depan pintu coklat yang terasa begitu dingin. Narel tengah pergi sekolah jadi mungkin aman baginya untuk masuk dan menengok ke dalam.

Aroma jasmine yang menenangkan langsung menyambut begitu pintu coklat itu ia buka pelan. Ia ingat, aroma jasmine adalah aroma yang sangat mama sukai. Senyum sendunya tanpa sadar terbentuk tipis sekali. Semakin lebar hingga ia menemukan kamar yang ditata begitu rapi dan nyaman. Ada begitu banyak buku-buku tebal yang tertata rapi pada rak di salah satu sisian dinding. Kakinya melangkah ringan menyentuh buku-buku tebal itu dengan perasaan berat yang entah berasal dari mana. Ia tahu Narel sangat menyukai buku-buku itu, namun kenyataan saat beberapa waktu lalu ketika ia menemukan adiknya yang masih berkutat dengan buku-buku bahkan pada waktu beranjak pagi membuatnya sesak tanpa sebab.

Hara terus melangkah hingga netranya menemukan lemari kaca dengan banyak sekali piala dan piagam penghargaan yang tersusun begitu rapi. Ia tak bisa berbohong bahwa ia begitu tertegun melihat apa yang kini ada di depan matanya. Semua piala itu bahkan memenuhi keseluruhan lemari. Narel memilikinya sebanyak ini tapi mengapa bahkan tak ada satupun kejuaraan yang ia ketahui? Sudah sejauh mana ia meninggalkan Narel sendirian hingga banyak sekali hal tentang adiknya yang ia tinggalkan dibalik punggungnya?

You're Doing WellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang