INSOMNIA
.
.
.Benar kata orang jika penyesalan memang datang di akhir. Karena pada dentang waktu yang seperti berlalu begitu lambat, jantung Hara tak henti berpesta pora di dalam sana. Ini perasaan yang begitu asing. Bagaimana hela napasnya terasa begitu tercekik setiap pikirnya kembali pada waktu-waktu lalu.
Tidurnya terasa tak menyenangkan. Bersama mimpi buruk yang menyambangi lelap yang malah terasa begitu melelahkan. Hingga ketika sinar pagi berhasil mengetuk kelopaknya, Hara memilih untuk segera mengakhiri mimpi sialannya. Deru napasnya terasa berat, tak mencoba mengingat apapun tentang mimpinya semalam.
Namun pada dentang yang tak terhitung, Hara tiba-tiba bangkit bak orang kesetanan. Meninggalkan kasur hangatnya dengan selimut yang dibiarkan jatuh begitu saja. Kakinya ia bawa berlari. Kendati ada sisian lain tubuhnya yang menolak akan apa yang ia lakukan kini. Namun, ia tak ingin peduli.
Langkahnya berhenti pada pintu kamar yang sama dengan miliknya. Kamar milik penghuni lain yang lama ia lupakan. Ia tak ingin mengelak bahwa bayangan Narel semalam adalah hal yang membuatnya menikmati mimpi buruk yang panjang. Rona pucat penuh kerut sakit itu terus membayanginya bahkan hingga alam mimpi.
Tubuhnya mematung cukup lama. Kembali berpikir apakah yang ia lakukan sudah benar atau tidak. Tangannya terkepal di samping wajah hendak mengetuk namun tertahan begitu lama. Napasnya tanpa sadar tertahan, tak siap dengan apa yang akan terjadi setelahnya.
Pada detik dimana tangannya sudah sampai pada permukaan, pintu coklat itu terbuka begitu saja. Menampilkan Narel yang berdiri terpaku menatapnya. Pandang mereka saling bertemu. Cukup lama tanpa ada pergerakan dari salah satunya. Tatap penuh arti itu sama-sama mereka rasakan. Tentang rindu yang jauh sekali terkubur di balik ego yang lebih tinggi. Rasanya sesak.
Arah pandang Hara berhenti pada perban yang membalut tangan kanan adiknya. Bahkan jejak darah berhasil menembus permukaan putihnya. Ingatannya kembali pada semalam dan entah kenapa ia benci itu.
Menyadari kemana arah pandang Hara, Narel segera menyembunyikan tangan kanannya di balik tubuh. Enggan menerima tatapan kasihan yang dilayangkan Hara padanya. Ia bahkan tahu ketika semalam Hara melihat keadaannya yang begitu berantakan, meski keadaannya setengah sadar waktu itu.
Tanpa mengatakan apapun, Narel segera beranjak dari sana setelah sebelumnya menutup pintu. Melangkah tanpa menoleh lagi pada apapun di belakangnya. Ia tak ingin Hara tahu tentang lukanya. Tentang apapun yang membuatnya lemah di hadapan lelaki itu.
.
.
.Sekolah tidak pernah terasa berbeda. Bagaimana riuh suara yang terdengar ketika istirahat tiba. Bagaimana hening yang tercipta ketika guru mulai membagikan lembaran ujian yang tiada habisnya. Semuanya terus berulang seakan menjadi siklus yang tak akan terbantahkan.
Jam istirahat adalah waktu yang benar-benar ditunggu semua orang. Benar saja, ketika bel istirahat berkumandang, semua orang di masing kelas mereka segera beranjak demi memenuhi permintaan perut mereka yang meronta-ronta. Namun, pada kenyataannya, Narel masih terdiam di tempatnya. Bersama tumpukan buku juga lembaran soal-soal yang meminta selesaikan.
Dahinya mengerut tipis, bersama belah bibirnya yang bergumam pelan. Tangannya yang menggenggam pensil terus menggoreskan permukaannya di kertas emi menemukan jawaban. Bahkan kehadiran Abyaz dan Abisatya di hadapannya tak serta merta membuatnya hilang fokus.
Duo upin ipin itu terus menatapnya tanpa arti. Gemas sekali ingin menyobek lembaran soal menyebalkan itu juga menarik headset yang menyumpal telinga Narel. Namun mereka berdua tahu, jika mereka tak akan mungkin mampu melakukan itu semua. Narel yang sedang konsentrasi adalah hal yang paling mengerikan. Karena jika mereka berhasil mengganggunya, bisa saja Narel tak ingin bertemu selama berhari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Doing Well
Teen FictionNarel adalah marah tanpa ledak. Luka tanpa darah dan perih tanpa reda. Rasa cintanya pada rasa sakit membuatnya tak mampu rehat dari lara. Hingga semua yang ada padanya hanya semu dan palsu. Mimpinya sederhana, amat sederhana. Namun entah mengapa, s...