Jakarta, 10 Februari 2016.
Sudah lebih satu setengah jam Jasmine duduk di salah satu kursi kafe. Sesekali pandangannya beralih dari ponsel lalu ke jendela kafe, dan setiap kali gemerincing bel di atas pintu berbunyi, Jasmine akan cepat-cepat menengok untuk melihat siapa yang datang. Desahan berat kembali berembus saat pengunjung yang memasuki kafe bukanlah pria yang ia tunggu. Ibu jari gadis itu sudah beberapa kali memeriksa pesan masuk di ponselnya, tetapi nihil. Pesan terakhir yang diterimanya tiga jam lalu berbunyi: Oke, sampai ketemu di sana. Selain itu, tidak ada lagi pesan masuk untuknya dari Rey.
Jasmine menatap mejanya. Satu gelas Moccachino Frappe miliknya telah tandas dan diletakkan di samping meja. Di hadapannya kini adalah gelas kedua dengan minuman yang sama dan isi yang sudah tersisa setengah. Jasmine menyeruput minuman miliknya. Setiap kali rasa manis dan hawa dingin menyapa tenggorokannya, gadis itu merasa sedikit tenang. Namun, tidak berlangsung lama, kemudian berganti lagi dengan kegelisahan karena menunggu kehadiran kekasihnya yang belum juga datang.
Jam di ponsel menunjukkan pukul 19.15. Padahal mereka tadi janji bertemu pukul 17.30. Dalam hati, Jasmine bertekad jika dalam waktu setengah jam lagi Rey tidak datang, maka itu artinya semesta tidak mengizinkan mereka untuk berpisah.
Bunyi notifikasi memecah lamunan Jasmine. Buru-buru ia membaca pesan masuk di ponselnya.
Ali : Gimana? Masih mau nunggu?
Jasmine menoleh ke pojokan kafe. Di sana, dari jarak sekitar 7 meter, Ali terus memerhatikan dirinya. Raut wajah pemuda itu seolah ingin menanyakan kelanjutan misi penantian mereka. Jasmine mengalihkan pandangannya dan membalas pesan sahabatnya.
Jasmine : Bentar, setengah jam lagi.
Ali : Dia mau datang setengah jam lagi?
Jasmine : Bukan, setengah jam lagi, kalo dia nggak datang, kita pulang.
Ali : Oke.
Tepat setelah Jasmine meletakkan kembali ponselnya ke meja, gemerincing bel pun berbunyi. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Jasmine justru berharap kalau pengunjung yang datang itu bukanlah Rey. Ia pun tidak lagi menoleh ke arah pintu seperti sebelumnya. Jasmine hanya perlu menunggu sampai 30 menit kemudian, lalu pulang, kemudian melanjutkan hari seperti biasanya menjadi kekasih Rey.
"Hei, sorry ya, aku datangnya telat banget."
Suara berat dan dalam seorang pria mengejutkan Jasmine. Terbersit rasa kecewa saat ia mendongak dan mendapati sosok pria berkulit putih dengan mata sipit, tersenyum ramah padanya.
Kenapa mesti datang, sih? lirih Jasmine dalam hati.
"Oh, h-hai." Suara Jasmine seakan tercekat di tenggorokan. Sembari menggeleng lemah, Jasmine berbohong, "Nggak apa-apa, kok."
"Kamu udah dari tadi banget, ya, nungguin aku?" tanya pria itu yang tak lain adalah Rey, saat melihat satu gelas kosong yang sudah dikesampingkan Jasmine. "Sorry, ya, tadi kerjaanku banyak banget. Aku sampai lupa nggak ngabarin kamu kalau bakal datang telat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Retisalya [TELAH TERBIT]
RomanceSempurna. Satu kata yang bisa menggambarkan keseluruhan penampilan Rey Yamazaki, pria Indo-Jepang. Wajar bukan meski telah tiga tahun berlalu, tetapi Jasmine Thisalya, mahasiswi semester 6 Sastra Jepang, masih selalu mengingat mantannya. Terlebih pu...