Ali segera berbalik ke belakang saat akhirnya menyadari sahabatnya tidak lagi berjalan bersamanya. Pemuda kurus tinggi itu langsung panik dan celingukan mencari keberadaan Jasmine. Beruntung dari sela-sela kepadatan manusia yang memenuhi trotoar, Ali bisa menemukan sosok Jasmine. Ia pun segera menerobos para pejalan kaki yang berjalan berlawanan arah dengannya.
"Min, lo ngapain berhenti di sini? Restorannya masih di sana," tegur Ali, begitu ia sudah berdiri tepat di samping sahabatnya sembari menunjuk ke arah mana seharusnya mereka berjalan.
"Al, bilang ke gue kalo itu bukan Rey." Suara Jasmine terdengar lirih dan getir.
Ali yang terkejut dengan permintaan Jasmine, segera mengalihkan pandangannya ke arah tatapan gadis itu tertuju. Berbeda dengan Jasmine, yang dirasakan Ali saat ini adalah ia ingin sekali menghajar pria itu. Baru dua hari lalu, Rey menunjukkan perhatiannya pada Jasmine hingga membuat sahabatnya kembali berharap, tetapi apa ini? Pria itu malah menggandeng perempuan lain yang bisa dibilang sangat cantik. Keduanya berbelok ke salah satu toko fashion brand ternama.
Ali terbakar amarah karena merasa Jasmine dipermainkan oleh Rey. Ia segera menarik tangan sahabatnya dan mengajaknya kembali melanjutkan perjalanan ke restoran yang seharusnya mereka tuju.
"Lepasin, Al! Gue harus mastiin itu bukan Rey!" pekik Jasmine sembari menghentikan langkahnya.
"Buat apa? Gimana kalo itu memang beneran Rey dan perempuan yang digandengnya itu pacarnya atau istrinya? Lo cuma akan mempermalukan diri lo sendiri, Min!" seru Ali yang tak mau kalah. "Udahlah, Min. Lo itu bukan apa-apanya Rey lagi. Kisah kalian udah berakhir tiga tahun lalu. Sekarang lo udah nggak punya hak lagi buat ngelabrak dia."
Perkataan pedas tetapi benar adanya yang keluar dari mulut Ali, seketika membuat nyali Jasmine menciut. Meski sebagian dirinya masih kekeh ingin meyakinkan apa yang baru saja dilihatnya.
"Ya, tapi gue tetap harus pastiin—"
"Lagian kalaupun itu bukan Rey, lo juga tetap akan mempermalukan diri lo sendiri karena ngelabrak orang yang salah. Gini aja, besok, 'kan kita ketemu Rey, lo bisa nanyain langsung ke dia, beneran nggak dia ke Ginza."
Jasmine terdiam mendengar saran Ali. Sahabatnya benar, bukankah besok mereka ada janji temu dengan Rey? Menahan rasa penasaran satu malam dan menanyakan ke Rey besok, itu lebih baik daripada Jasmine harus mempermalukan dirinya sendiri seperti kata Ali. Yah, meskipun Jasmine mungkin tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.
Melihat sahabatnya yang terdiam, Ali kembali menarik tangan Jasmine dan mengajaknya menuju restoran. Namun, lagi-lagi Jasmine menahan langkahnya.
"Apa lagi?" tanya Ali penasaran.
"Gue udah nggak selera makan," jawab Jasmine.
Ali mendengkus. Sebenarnya, sejak melihat sosok Rey bersama seorang perempuan, Ali juga jadi kehilangan nafsu makan. Apalagi niatnya untuk menghajar pria tersebut terpaksa ia pendam. Mana mungkin Ali membuat keributan di negara orang, bisa panjang urusannya. Ali menatap Jasmine yang dari wajahnya saja sudah jelas terlihat kalau gadis itu kehilangan mood.
"Oke, jadi sekarang lo mau ke mana? Emang lo nggak lapar?"
Jasmine menggeleng pelan. "Gue mau balik aja ke hotel."
"Ya udah, yuk."
Keduanya segera berjalan kembali menuju stasiun kereta Ginza. Malam itu berakhir dengan keduanya yang tampak bergelut dengan pikiran masing-masing dan perut yang mendadak kenyang, meski Ali dan Jasmine tidak sempat menikmati makan malam.
***
Tokyo, 17 April 2019.
Jasmine terlonjak dari tempat tidur sesaat setelah ia membuka mata dan membaca pesan masuk di ponselnya.
Rey : Aku sudah di lobi hotel.
Tanpa melihat jam yang tertera di layar gawai, Jasmine segera menuju kamar mandi dan bersiap menemui Rey. Selang tiga puluh menit kemudian, ia sudah terlihat rapi dengan mengenakan dress biru muda selutut dan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Jasmine keluar dari kamarnya dan segera mengetuk pintu kamar Ali.
"Apaan sih, Min, gangguin orang tidur aja," gerutu Ali, dengan suaranya yang serak khas baru bangun tidur serta mata yang masih terasa lengket.
"Rey udah nungguin di lobi, gue ke bawah duluan, ya. Lo siap-siap, gih!"
"Jam berapa, sih, ini emangnya? Cepet banget!"
Pertanyaan Ali membuat Jasmine tersadar kalau ia belum memerhatikan jam dari tadi. Buru-buru ia menatap layar ponselnya.
"Jam 7," katanya.
"Pasti lo, nih, yang nyuruh dia buruan datang. Lo udah nggak sabar, 'kan pengen nanyain soal semalam," tuduh Ali yang langsung membuat Jasmine memelototkan matanya.
"Enak aja! Gue belum ada chat dia sama sekali dari semalam, ya. Nih, periksa aja kalo nggak percaya," ujar Jasmine yang tidak terima dengan ucapan sahabatnya sembari menyodorkan ponselnya pada Ali.
"Malas! Ya udah, gue siap-siap dulu."
"Gue tungguin di bawah, ya!" Sesaat setelah mengucapkan itu, Jasmine segera meninggalkan Ali yang kemudian menutup pintu kamar.
Begitu tiba di lobi, jantung Jasmine dibuat kagum saat pandangannya menangkap sosok Rey yang mengenakan kaos putih, celana krem serta cardigan selutut. Penampilannya membuat pria tersebut terlihat seperti seorang peragawan. Ditambah dengan seberkas sinar matahari yang menembus pintu kaca hotel dan menyinari dirinya, seakan menambah pesona Rey ribuan kali lipat.
Sesaat benak Jasmine teringat pada kejadian semalam. Apa mungkin pria yang dilihatnya semalam itu benar Rey? Kenapa rasanya sulit bagi Jasmine untuk memercayai itu? Rey yang ia kenal tidak mungkin berbohong padanya. Lalu, tanpa sadar gadis itu terkejut saat tiba-tiba pria yang sejak tadi menunggunya di lobi berbalik dan tersenyum padanya. Mau tak mau, Jasmine juga membalas senyumannya lalu berjalan mendekati pria itu.
"Sudah lama, ya, nunggunya?" tanya Jasmine.
Rey tersenyum lebih lebar, lalu menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Jasmine. "Aku aja yang datangnya terlalu pagi. Kamu pasti masih tidur, ya, tadi?"
Jasmine tersenyum malu, kemudian mengangguk pelan.
"Kamu cantik banget hari ini," puji Rey yang seketika membuat gadis berambut panjang itu melongo hingga pipinya bersemu merah.
"Bisa aja," jawab Jasmine malu-malu sembari mengaitkan helai rambutnya ke belakang telinga dan mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Rey pun ikut tersenyum lebar melihat tingkah Jasmine yang tersipu malu. "Gimana tiga hari di Tokyo, udah puas belum jalan-jalannya? Maaf, ya, semalam aku nggak ngabarin kamu kalau mau jemput kalian sepagi ini. Aku pikir kamu pasti udah tidur nyenyak karena kecapekan jalan-jalan."
Kalimat terakhir Rey seketika membuat Jasmine teringat pada kejadian semalam yang membuatnya gelisah nyaris tak bisa tidur. Ia pun memutuskan untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya.
"Oh, ya, semalam aku dan Ali ke Ginza, dan ngelihat kamu bareng sama seorang cewek di sana. Kalian berdua masuk ke salah satu fashion store. Itu beneran kamu, ya?" tanya Jasmine ragu-ragu sambil berharap cemas.
Rey sedikit terkejut dengan pertanyaan Jasmine. Namun, dua detik kemudian ia kembali tersenyum. "Aku semalam lembur di kantor. Karena mau ngambil cuti, jadi aku harus nyelesain tugas-tugas aku, supaya nggak jadi beban buat rekan kerja yang lain."
"Oh, gitu."
"Hm. Mungkin kamu salah orang. Ginza ramai banget kalo malam, dan sepertinya wajah aku pasaran di Tokyo, jadi kamu mikirnya cowok yang kamu lihat semalam itu aku."
Jasmine tertawa kecil. Entah karena menertawakan candaan Rey yang menyebut dirinya memiliki wajah pasaran, atau menertawakan kebodohannya yang sempat mengira kalau Rey berbohong padanya. Mungkin memang seharusnya Jasmine tidak meragukan kejujuran Rey.
Rey emang workholic dari dulu. Akunya aja yang terlalu curigaan, batin Jasmine.
"Nah, itu Ali," ucap Rey yang melihat kedatangan sahabat Jasmine itu.
Setelah ketiganya berkumpul di lobi, Rey pun lantas mengajak Jasmine dan Ali untuk segera pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Retisalya [TELAH TERBIT]
RomansaSempurna. Satu kata yang bisa menggambarkan keseluruhan penampilan Rey Yamazaki, pria Indo-Jepang. Wajar bukan meski telah tiga tahun berlalu, tetapi Jasmine Thisalya, mahasiswi semester 6 Sastra Jepang, masih selalu mengingat mantannya. Terlebih pu...