i. andai dia tahu.

302 34 1
                                    

a/n: official playlist for this fic!

https://open.spotify.com/playlist/0SffxZkYnhbjzyNWgZ5pFO?si=WQpkWThIRnu_4FRC5qvBwg

-

Sunyinya sebuah kamar tidur terisi dengan suara kicauan burung yang sedang menikmati sejuknya udara pagi, memandikan diri pada embun-embun yang ada pada tanaman-tanaman di teras depan. Terdapat semburat sinar matahari yang lolos masuk ke dalam kamar tidur melalui celah gorden yang sedikit terbuka, menyinari seorang manusia yang masih berada di atas tempat tidurnya.

Kedua matanya ia buka, menoleh ke sebelah kirinya untuk melihat waktu yang tertera pada jam beker di atas meja nakas. Pukul 7:21 pagi.

Ia tak beranjak dari tempat tidur, malah lebih memilih untuk diam di situ sambil memandangi langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Seharusnya ia sudah bangun dari tadi untuk melanjutkan kesehariannya, tetapi tidak. Kali ini, ia merasa kalau semuanya harus ia tunda terlebih dahulu. Pikirannya masih terlalu acak-acakan untuk bisa melanjutkannya.

Masih terbayang jelas bagaimana percakapan enam bulan yang lalu membuat kedua kakinya lemas, membuat dadanya sakit susah bernafas. Ia pejamkan matanya sejenak, lalu ia buka kembali untuk merasakan semua emosi yang berlimpah, mungkin sedikit terlalu berlebih. Rasanya ia pusing sekali, ia masih tidak bisa memproses semua yang telah terjadi.

"Kalo itu yang kamu mau Eun, aku ikut."

Ya seharusnya ia sudah bisa memprediksi jawaban itu. Lagipula, tak pernah dalam hubungan yang berlangsung selama enam tahun setengah itu kekasihnya—, eh, mantannya, menolak apapun itu yang ia hendaki. Mungkin itulah faktor pertama yang membuat hubungan mereka renggang seperti saat ini.

Eunbi memejamkan matanya sekali lagi, rasa kantuknya ada untuk menagih hutang tidur yang semalam tak ia bayar karena pikirannya yang terlalu liar untuk bisa pulas.

Ia rindu Hyewon.

Ia benci Hyewon.

Ia cinta Hyewon.

Tiga emosi utama itu yang terus berputar-putar di dalam pikirannya semenjak tadi malam, dan sampai sekarang ia masih belum bisa fokus dan mencoba untuk melupakan.

Ia rindu Hyewon yang sedang berkarir sebagai diplomat di luar negeri sana, meninggalkan Eunbi untuk menangisinya sendirian.

Ia benci Hyewon karena sudah meninggalkannya dan menggesernya dari daftar prioritas paling utama menjadi kedua setelah pekerjaannya. Eunbi tahu kalau tak seharusnya ia menyalahkan keputusan sang mantan kekasih untuk berkarir lebih jauh, tapi itulah yang bisa ia jadikan samsak tinju tempat ia melampiaskan semua amarah yang ia punya.

Ia cinta Hyewon, meskipun sang mantan kekasih sudah meninggalkannya selama dua tahun setengah lamanya, dan belum pernah sekalipun ia pulang untuk menjenguknya walaupun sebentar saja. Meskipun begitu, ia masih begitu sayang kepadanya.

Tetapi kadang, memang cinta itu sendiri yang menyakiti kita.

-

Di belahan dunia lainnya, terdapat seorang wanita yang karir pekerjaannya baru saja melejit tinggi sedang mengetik sebuah dokumen sebagai salah satu tugas yang harus ia selesaikan pada malam itu.

Tak jarang wanita ini dijumpai oleh rekan-rekan kerjanya dengan ekspresi kosong, namun tajam dan observan. Kali ini, kalau ditatap baik-baik, seharusnya orang-orang yang tadi pagi menyapanya ketika ia baru datang bisa melihat perbedaan yang walau hanya sedikit. Kedua matanya lebih sendu, bibirnya tak rapat tertutup namun lebih renggang tautannya, pada kedua pipinya terdapat jalur air mata yang sudah diseka.

Tak lagi tajam dan observan ekspresinya, namun muram dan syahdu. Tapi karena dia memang seorang yang pandai mempertahankan ekspresinya dalam situasi apapun, perbedaan sekecil itu tidak terlalu terlihat oleh orang-orang yang bertemu dengannya.

Sama seperti wanita yang sedang memikirkannya di tempat yang jauh darinya, ia juga sama. Dari tadi ia mulai bekerja, yang bisa ia pikirkan hanyalah satu kalimat yang dilontarkan oleh wanita tersebut kepadanya.

"Kayanya kita butuh break dulu deh."

Hyewon hembuskan nafas gemetar, ia tidak menyangka kalau percakapan enam bulan yang lalu akan menjadi yang terakhir untuk mereka berdua. Meski sudah lewat enam bulan, namun hal-hal kecil mengingatkannya pada Eunbi. Mengingatkannya pada satu kalimat itu.

Rambut panjangnya ia sibak ke belakang, kedua tangannya berhenti mengetik sejenak. Ia tidak bisa berpikir jernih sekarang, daripada nanti ia mengacaukan dokumen penting tersebut lebih baik ia berhenti sebentar untuk bernafas.

Hyewon seharusnya sudah bisa mengira kalau Eunbi akan berkata seperti itu. Selama ini, memang ada niatan untuk pulang, untuk bisa bertemu dengan kekasihnya setelah sekian lama. Tetapi karena semakin lama ia tinggal di sini, semakin banyak pula pekerjaan yang ditanggungkan kepadanya. Ia berjanji pada dirinya ketika ia sudah mempunyai nama dan reputasi yang baik di kantornya, ia akan berpulang kepada Eunbi supaya sang kekasih bisa menjadi bangga kepadanya. Namun, ternyata ia membuat Eunbi menunggu terlalu lama.

Hyewon yang sedang bersenderan pada sandaran kursinya sontak kaget ketika ada sebuah jari yang mencolek pundaknya. Ia menoleh ke sampingnya untuk melihat sang sekretaris, Choi Lia, menyodorkan sebuah amplop.

"Kenapa nggak ngetok pintu dulu sih," celetuk Hyewon sambil menerima amplop yang diberikan, "bikin kaget aja."

Lia hanya menaikkan bahunya malas, sudah terbiasa ia ditegur cuma-cuma oleh Hyewon, "udah tadi, mbaknya nggak denger aja."

"Kok kamu belom pulang? Udah jam malem," Hyewon berkata lagi, dalam tanda lain ia mengusir sekretarisnya dengan bahasa yang lebih sopan.

Lia mendelik, "kalo mbaknya belom pulang, ya saya juga belom lah."

Hyewon menyipitkan matanya sinis kepada Lia, lalu ia berlanjut mengambil sebuah pisau kecil pembuka surat dari laci mejanya untuk membuka amplop.

Seperti tadi yang sudah dibicarakan, Hyewon merupakan seorang yang pandai menyembunyikan emosi yang sesungguhnya pada ekspresi wajah yang ia pasang setiap hari. Tatapannya selalu kosong, tetapi tidak linglung. Kosong, tetapi cukup kuat untuk mengintimidasi lawan bicaranya.

Namun untuk kali ini, Hyewon tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya melihat apa yang berisi di dalam amplop tersebut.

Matanya terbelalak menghadap Lia, "ini dari siapa?"

"Mbak dapet hadiah dari pak dubes karena nggak memakai jatah cuti sekalipun selama tiga tahun, itu hadiahnya dari beliau," jawab Lia.

Hyewon masih belum bisa berkata-kata, Lia yang baru pertama kali melihat atasannya kaget seperti ini terkekeh sedikit sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

"Mbak dapet tiket pesawat balik ke Jakarta bersama saya. Kita dibolehin pulang sama pak dubes, mbak."

~

jaga.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang