CLIR | 7

8.1K 789 12
                                    

"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri.

"Assalamualaikum warahmatullah ...."

Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.

Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.

Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.

Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.

Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai kenyang. Mencuci piring. Sedikit menyapu bagian ruang tengah. Semuanya aku lakukan tanpa suara, tanpa memedulikan sosok Mas Satya yang sedari tadi mengikuti.

Sapu aku letakkan di dekat pintu dapur. Kembali lagi ke kamar, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Berbaring di atas tempat tidur dengan posisi membelakangi bagian kosong yang biasa diisi Mas Satya.

Ini sulit, tentu saja. Aku selalu ingin menanyakan ke mana dia pergi selama ini. Apa dia sudah makan? Apa dia butuh aku?

Tapi, aku terlalu kesal untuk menanyakan hal tersebut. Mata aku paksa terpejam. Konsentrasiku terganggu ketika sebuah lengan melingkar di pinggangku.

"Kemarin aku ke rumah Bunda." Mas Satya berbisik di telingaku, diakhiri dengan embusan napas berat. Aku menggeliat sedikit. "Maaf, nggak ngasih kabar dulu."

Aku tidak mengindahkan ucapannya. Terus berusaha tidur, tetapi selalu terganggu.

"Kamu masih marah?" tanya Mas Satya yang masih aku diamkan. "Aku marah kemarin, itu demi kebaikan kamu. Kamu itu mungil-mungil gini, kalau pingsan lagi, terus keinjek sama orang gimana?"

Aku masih ingat betul, topik permasalahan kita bukan ini kemarin.

"Kamu ada masalah, Sayang? Kamu kayak beda dari Medina yang dulu. Kamu lebih sensitif sekarang, dan egois. Padahal tahun lalu, kamu masih sabar dan mengerti aku. Kamu punya masalah lain?" lanjut Mas Satya.

Badan aku putar sehingga bisa menghadap langsung padanya.

"Gimana sama tawaran aku?" Tidak ingin kalah, aku harus memperjuangkan apa yang aku inginkan sekarang. "Aku siap sama resiko apapun—yang kamu selalu bilang—asalkan kamu mau terbuka sama publik mengenai hubungan kita."

Mas Satya diam.

"Aku nggak mau ganggu karir kamu, sama rekan kamu, atau fans kamu. Aku cuman mau, mereka tahu kamu sudah punya istri—yaitu aku—jadi mereka bakalan mikir seribu kali dulu sebelum deketin kamu. Kalau mereka ngiranya kamu lajang kayak gini, ya mereka bakalan terus goda kamu."

"Sayang ...." Mas Satya mengembuskan napasnya pelan. "Ini nggak sesederhana itu. Gini, ya, Sayang. Fans aku itu nggak terhitung. Dari sekian ribu itu, beberapa ada yang fans biasa, sedang, sampai fanatik. Tiap orang, aku nggak bisa tahu sifat dan karakter mereka. Aku nggak bisa prediksi apa yang akan mereka lakukan. Mereka bisa aja teror kamu, sakiti kamu, bully kamu, kalau tahu kamu istri aku. Aku juga pastinya bakalan lindungi kamu, tapi sejauh mana aku bisa lindungi kamu? Ancaman mereka benar-benar nggak bisa dibaca."

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang