CLIR | 4

8.2K 826 67
                                    

"Sholat subuh, yuk?"

Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku.

"Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi?

Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya.

Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam?

Tidak biasanya dia begini.

Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal.

Kinanti.

Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram.

Gawai aku angkat kembali. Memilih opsi kontak, dan menelpon nomor paling atas dalam riwayat telepon: Mas Satya. Setelah menekan tombol call, hape aku tempelkan di telinga.

Setiap nada sambung yang terdengar membuat jantungku berdetak kasar. Apalagi sampai ke lima kalinya, Mas Satya sama sekali tidak menjawab. Aku lelah.

[Mas, lagi di mana?]

Pesan itu aku kirim melalui aplikasi perpesanan online berwarna hijau tua.

Layar berubah gelap. Aku meletakkannya samping kamar. Telapak tangan bergerak, mengusap tempat Mas Satya tidur.

Kenapa sulit sekali menjalani hidup bersama orang yang aku cintai? Seolah-olah, aku tidak pantas untuk merasakan bahagia dalam urusan asmara. Mungkin benar kata Zia, kalau aku sial dalam hal ini.

Sebelumnya, Satria yang meninggalkanku tepat hari pernikahan demi mengejar mimpinya sebagai pengusaha sukses.

Lalu, Mas Satya yang dulunya menjadi sosok pahlawan menyelamatkan pernikahanku, tetapi kini juga sering menghilang. Bahkan, dia menyembunyikan status kami ini.

Dasar cengeng! Hanya meratapi nasib, tetapi air mata malah bergulir menyusuri pipi. Aku segera mengusapnya kasar.

Dering ponsel terdengar nyaring, membuatku tersentak.

Nama 'My Hubby' membuatku bersemangat untuk menggeser icon hijau, lalu menempelkan layar dingin di telinga. Bibirku menyunggingkan senyum, bahkan sebelum Mas Satya berbicara.

"Halo, Dek?"

"Mas? Mas di mana sekarang? Kenapa belum pulang?" Tanpa sadar aku memekik.

"Lagi kerja-"

"Sat, aku mau bicara sama sepupu kamu dong. Boleh ya?"

Mataku membulat mendengar suara Kinanti dari telepon. Sekali lagi, aku melirik jam. Pukul setengah lima pagi. Serius mereka kerja sepagi ini?

"Bentar, Kinanti!" Kini Mas Satya yang bicara. "Mas nanti datang ke rumah Nenek kok. Nggak bakalan lupa." Dia lalu terkekeh ringan.

Sementara aku kecewa lagi mengetahui Mas Satya berbohong demi menyembunyikan status kami.

Sepupu?

Aku ingin tertawa sakit karena itu.

"Iya, Mas. Assalamu alaikum ...." Sambungan aku tutup sepihak.

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang