CLIR | 17

5.2K 545 50
                                    

Tubuhku serasa berton-ton beratnya ketika memaksa bangun dari tempat tidur. Selama mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku melirik sekitar. Uh, sebelah sepatu masih terpasang di kaki, sebelahnya lagi entah di mana.

Mataku yang masih 5 watt ini melirik ke meja nakas, ke jam digital.

Tunggu. Ini aku tidak salah lihat, kan?

JAM 8 PAGI?

Aku langsung turun dari tempat tidur, keluar dari kamar dan memeriksa sekitar. Sepi. Mobil Mas Satya bahkan tidak ada di luar. Aku mendesis kesal, dan menendang pintu sembarangan. Langkah seketika lesu ketika memasuki kamar mandi. Sholat subuh, dan mandi. Bagaimana pun, aku harus berangkat hari ini untuk menyelidiki Livy.

Setelah mengenakan kulot hitam, long dress cokelat, dan pasmina hitam, serta sneakers senada, aku bersiap berangkat. Memakai tas dan ... Ipad rusak, harus aku urus sesegera mungkin besok. Kemarin terlalu fokus pada luka sampai abai mengenai benda pintar ini. Beruntung, sejak zaman mengurus skripsi, aku selalu menyimpan semua hal penting di beberapa tempat, jadi tidak perlu pusing mengenai pekerjaan.

Beban pikiran saat ini adalah saat aku sudah berada di teras dan hanya disambut oleh halaman yang luas dan pepohonan hijau. Tidak ada tanda-tanpa manusia di sekitar sini hingga satu kilometer jauhnya. Ponselku juga tertinggal di mobil Mas Satya sehingga meski dalam mode malas, aku tetap berjalan kaki hingga tiba di dekat jaln raya lalu menghentikan sebuah taksi. Sebelumnya, aku singgah sebentar di konter untuk memperbaiki IPad, dan akan kembali sore nanti, lalu lanjut ke tempat kerja. Hm ... masih di gedung kemarin atau pindah tempat shooting?

Mana tidak ada gawai sama sekali untuk menghubungi Mas Satya.

Maka aku tetap ke gedung duplikat rumah sakit kemarin, dan meski tidak ada Mas Satya setidaknya ada informasi bahwa mereka akan kembali lagi malam nanti.

Tidak ada ponsel untuk pelarian suntuk, maka aku sibukkan diri sendiri untuk berpikir sembari duduk di teras tempatku kecelakaan kemarin.

Ini terlalu kebetulan jika menyenggol. Lebar teras dua meteran, aku hanya menyita setengah meter, suasana kemarin sangat sepi karena semua orang sibuk di lantai dua. Lalu, staff yang entah darimana datangnya tiba-tiba menyenggol, dan pengantar kopi atau si penyenggol sama-sama tidak punya simpati sedikitpun untuk membantu.

Aku tidak mau berpikiran buruk, tapi, terlalu kebetulan kecelakaan kali ini. Saking bingungnya, aku terus menggigit kuku sembari terus menebak-nebak.

Jika benar bukan kecelakaan biasa, lalu apa motif si staff menabrakku? Selain Mas Satya, Ifan, Livy, dan Kinanti, aku tidak pernah berurusan dengan orang lain.

Memoriku langsung teringat saat jatuh karena Livy. Asisten Kinanti itu selalu memasang wajah tidak senang setiap kali bertemu.

Punggungku tiba-tiba menegak saat ada satu pemikiran kuat melintas. Kinanti bisa saja benar-benar tahu hubungan aku dan Mas Satya, sehingga meminta Livy untuk terus menggangguku.

Mungkin saja staff kemarin adalah suruhan Livy, kan? Dan, bisa jadi juga, dia yang mengganti wallpaper ponselku agar hubungan pernikahanku runtuh.

Tapi, apa iya, Livy tahu terlalu banyak tentang Runika?

>>♡<<

Saat orang-orang mulai berdatangan sore ini, fokusku bukan Mas Satya, tetapi seluruh staff pria. Mencari sesosok di antara mereka yang berambut cepak, bermata sipit, dan tahi lalat di pinggir hidung bagian kanan. Hanya tiga hal itu yang aku ingat dari pria kemarin, lupa juga mengecek nama atau jabatannya.

Namun, hingga manusia terakhir yang keluar dari mobil para crew, pria itu sama sekali tidak muncul. Malah, aku bertemu tatap dengan Livy yang langsung memasang wajah judes dan memalingkan wajah ke arah lain.

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang