CLIR | 11

7.6K 593 17
                                    

Dari sebelumnya memegang tangan, Mas Satya berubah merangkul pundakku memperkenalkan rumah sederhana yang akan menjadi tempat tinggal kami ke depannya. Hanya satu lantai, dengan luas pas untuk kami berdua.

"Ini nggak semewah dulu. Soalnya, kita bakalan lebih sering keluar nanti, jadi kalau rumahnya kecil, mudah dibersihinnya. Kalau kebesaran kayak dulu, kamu nanti kerepotan urus dua pekerjaan sekaligus. Kamu suka, Sayang?" Mas Satya menjelaskan.

Kami duduk di sofa. Masih dalam rangkulannya, aku mengangguk pelan.

"Suka. Pas buat kita berdua," jawabku.

"Syukur deh. Aku takutnya kamu nggak nyaman sama rumah sempit."

"Sempit apanya?" Aku langsung membantah. "Ini pas banget buat kita berdua. Nanti kalau udah ada anak banyak, baru deh dipikirin buat besarin rumah." Aku menengadah sedikit melirik Mas Satya, berharap kode ingin memiliki anak bisa dia dengarkan.

"Itu kode, Sayang?"

Aku tersenyum malu karena dia mengerti. Mas Satya berdiri, menjulurkan tangan yang langsung aku sambut. Dia menuntunku ke sebuah ruangan, kamar.

"Oh iya, kamu pasti nggak bawa pil kamu?" tanya Mas Satya saat akan menutup pintu kamar.

"Aku mau punya anak," jawabku jengkel. Dia ternyata tidak mengerti sama sekali.

"Mas belum siap, Sayang. Nanti ya, kalau Mas udah agak bebas nanti."

"Aku bisa urus sendiri."

"Eh, katanya mau kerja sama Mas? Ya nggak bisa hamil dong, Sayang."

"Aku bisa handle semuanya," ucapku yakin.

"Bukan sekarang, Sayang. Nanti ya."

"Aku tuh iri sama Amira. Dia udah mau punya anak. Kita kapan?" Aku menunduk, menyembunyikan kesal.

"Nanti. Ada waktunya kok."

Mas Satya menggunakan jemarinya mengangkat daguku, sehingga aku terpaksa menengadah. Bibirnya langsung mendarat padaku, memberikan ciuman lembut untuk beberapa menit. Saat sudah seperti ini, aku hanya bisa memendam semua kekesalan tadi dalam hati, lalu fokus pada Mas Satya.

>>♡<<

Awalnya aku niat keluar berbelanja sekaligus mengecek keadaan rumah lama, tetapi Mas Satya sangat tidak mengizinkan aku keluar sendiri. Takjub juga sebenarnya aku, seharian ini tidak ke mana-mana selain membantu menyempurnakan perabot rumah.

"Mas bangkrut, ya, makanya jual rumah?" tebakku pada sore tadi. Dia selalu saja mencegah aku mengunjungi rumah lama.

Tatapan geli Mas Satya cukup menyatakan bahwa uangnya masih selalu mengalir, tidak perlu jual rumah untuk memenuhi kebutuhan. Aku mengiyakan saja.

Kami berbelanja di supermarket terdekat. Mas Satya terus mengekor di belakang meski tidak membantu apa-apa. Dengan masker dan topi hitam, dia berhasil mengelabui beberapa wanita yang selalu membicarakan dirinya.

"Mas, ambil daging ayam di sebelah sana, ya? Aku masih cari-cari sayuran," ucapku karena daritadi dia hanya mengecek sayur-mayur tanpa niat membeli, hanya sekadar menyentuh tanaman hijau itu.

"Ntar kita bareng ke sana nyarinya."

"Kalau bagi tugas kan kita bisa hemat waktu. Kalau kayak gini, ntar lama selesainya," gerutuku. "Aku juga capek tau kalau kelilingin semua sudut supermarket seluas ini."

"Kamu ada daftarnya?" tanya Mas Satya. "Sini aku ambilin semua."

Aku menyodorkan selembar kertas berukuran 5 × 20 senti padanya, berisi hampir 100 jenis bahan yang harus dibeli.

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang