Sore ini aku duduk santai di sebuah warung di bukit bintang Piyungan. Menikmati jagung bakar dengan bumbu yang sedikit keasinan dan juga secangkir teh poci dengan gula batu. Disebelahku ada Ndaru yang sibuk dengan handponenya sambil kepalanya bersandar padaku. Sepulang kantor tadi dia memintaku untuk jalan-jalan kesini... bukit bintang untuk menikmati sunset dan sekalian nanti makan malam. Bahkan dia datang ke kantor dan menungguku sampai shift kerjaku berakhir.
"Sebener e apa sih yang bikin lu ke jogja?" tanyaku sambil mengunyah jagung bakarku.
"Kan mau ketemu Prabu," jawab Ndaru lalu mencoba merebut jagung bakarku lalu ikut menikmatinya.
"Ah bullshit kalo cuma mau ketemu gue, " lanjutku dengan nada sebal.
"Bener kok, gue tu ke jogja cuma mau ketemu elu... kangen ama elu... pengen ena-ena lagi sama elu kangmas prabuku."
"Ah taekkk, lu nyariin gua cuma pas butuhnya doank. Kalo pas gabutuh lu bakal il..." tiba-tiba Ndaru menciumku dalam-dalam untuk menghentikan ucapanku.
Jujur aku benci dengan caranya ini, selalu saja begitu dari dulu untuk menghentikan amarahku padanya. Dan sekali lagi hal itu masih saja berhasil membuatku terdiam. Setelah aku terdiam baru dia melepas bibirnya dan menghapus lipstiknya yang menempel di bibirku dengan tisu lalu tersenyum menang. Lagi-lagi kulihat anting tengkorak pemberianku yang masih dikenakannya sampai hari ini.
"Terus kenapa dulu lu nggak pamit dan malah langsung ngilang?" lanjutku lagi.
"Gue bukan nggak mau pamit, tapi ga sempet pamit... dulu begitu ujian sekolah selesai gue langsung dibawa ke Tangerang dengan alasan mau di kuliahin di sana."
"Iya gue tau lu ke Tangerang dan gue nyusul kesana..." ujarku dingin. Ndaru kaget mendengar ucapanku lalu perlahan dia memeluk badanku dari belakang. Punggungku perlahan menghangat... basah... air matanya mengalir membasahi punggungku.
"Gue berangkat sendirian ke sana tanpa tau tujuan harus kemana... lontang lantung ga jelas di Jakarta. Tiap hari pamit maen dari rumah Pakdhe di Priok naek angkot sampe terminal-terminal berharap ketemu elu disalah satu terminal yang ada. Untung aja gue bisa ketemu Anggie temen lu di sana dan akhirnya tau kenyataan yang sebenernya," sambungku dengan nada yang tetap dingin. Aku merasakan
Ndaru semakin erat memelukku. Tak ada sepatah kata pun yang mampu dia ucapkan. Dulu aku selalu merasa sakit bila mengingat semua itu, tapi entah kenapa kali ini aku bisa tenang mengatakannya.
"Aku dulu pernah mencintaimu... berjuang hingga sejauh itu untuk kembali menemukanmu... " ujarku lagi.
"Lalu?.. Sekarang?.." Ndaru mencoba bertanya walau suaranya terpatah-patah karena isaknya.
"Rasa itu sudah pergi... menghilang bersama bintang-bintang..." jawabku.
"Dulu gue cuma anak kecil yang naïf, yang berpikir semua akan berjalan sesuai dengan yang gue pengen sampai pada akhirnya kenyataan membantingku telak... sangat telak."
"Ma.. af..." satu kata yang terpatah meluncur lagi dari mulut Ndaru yang semakin menjadi tangisnya. Tapi tangis itu tak bisa merubah apapun yang telah terjadi. Hatiku sudah terlalu dingin untuknya. Rasaku sudah benar-benar menghilang. Ku biarkan dia selesai dengan tangisnya walaupun sekali lagi aku harus jadi perhatian orang-orang yang ada disekitar kami sama seperti pertemuan kami di Semesta kapan hari. Begitu Ndaru mulai tenang dan perlahan melepas pelukannya, kusodorkan bandana merah kepadanya untuk menghapus air mata yang masih membasahi wajahnya. Bandana merah yang dulu diberikannya untukku. Satu-satunya benda miliknya yang masih ku simpan sampai saat ini. Dia hanya tersenyum melihat bandana merah yang kusodorkan. Matanya masih tampak berkaca-kaca ketika dia menerima bandana itu lalu mulai menghapus airmatanya dengan bandana itu.
"Gue tau dari Anggi kalo orang yang lu panggil Daddy itu ternyata bukan bapak tapi orang lain yang ngebeli elu," kulanjutkan pembicaraan ketika kurasa Ndaru sudah lebih tenang. Ndaru hanya mengangguk mendengar ucapanku. Tak ada sedikitpun bantahan yang muncul dari mulutnya hanya tangannya yang terlihat meremas remas bandana merah yang kuberikan tadi.
"Lu nikah kan sama dia begitu kelar sekolah di jogja?"
"iya..."
"Trus sekarang mana suami lu?.. Anak?" tanyaku lagi. Sejenak kami terdiam. Ndaru mendongakkan kepala sambil menarik napas panjang.
"Kontrak gue udah abis dari taun lalu... dia udah bukan suami gue lagi... makanya gue kejogja nyariin elu ini," jawab Ndaru sambil tersenyum ke arahku. "
Bintang-bintangnya nggak ilang tuh," sambungnya lagi sambil menunjuk ke arah bintang yang ada di atas. Cukup cerah memang malam ini dan Nampak banyak bintang di atas sana. Ndaru kembali menaruh kepalanya di pundakku dan memeluk tangan kiriku.
"Bintang-bintangnya ngga ilang... mereka bersinar di atas sana... berarti rasa itu juga nggak ilang kan?" imbuh Ndaru lagi.
"Biarin aja rasa itu ada di atas sana bersama para bintang..." jawabku lalu meneguk habis teh pociku.
Malam semakin larut ketika kami memutuskan untuk pulang. Di perjalanan Ndaru hanya terdiam sambil memelukku erat. Entah kenapa aku merasa lega kali ini. Sesuatu yang pernah membuatku merasa sangat sakit perlahan terkikis setelah aku mengungkapkannya tadi. Perih itu menguap dan pergi menyusul segenap rasa yang terbang bersama bintang-bintang. Aku mengantarkannya sampai ke depan hotel dan menolak untuk ikut masuk ke kamar. Aku ingin menikmati malamku sendiri kali ini... tanpa Ndaru... ataupun Putri yang seharian ini tak tau kemana tanpa kabar sama sekali setelah berangkatku ke kantor kemarin siang. Dia hanya bilang mau jalan-jalan saat perjalanan kami pulang dari Telaga Putri kemarin.
hokehhh... mentok sampe sini dulu kali ini... semoga bisa segera berlanjut lagi certanya. sekali lagi terimakasih atas segenap vote, comment, kritik dan dukungannya,semoga kedepaa bisa semakin baik lagi / sampe ketemu di chapter berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU PRABU
AcakAku Prabu... tiga jiwa yang terkunci dalam satu raga... sebuah perjalanan panjang yang membawaku kepada titik ini.. jalan panjang penuh kelokan.. jalan ini hanya untukku.. dalam kegelapan aku bersembunyi