2

5 1 0
                                    

◇◇◇◇

Dirundung pertanyaan-pertanyaan untuk memperbaiki diri. Muncullah seorang teman yang pernah terkena masalah serupa. Hanya saja bila kulihat, dia begitu tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. 

“Kamu tidak sedih saat putus.”

“Pastinya sedih. Tapi mau bagaimana lagi, toh enggak ada gunanya lanjut kalau memang sudah keinginannya selesai.”

Dia menjawab santai. Padahal kalau diingat justru dia yang paling tersakiti. Bagaimana tidak, pacarnya berkata hubungannya hambar dan meminta selesai. Sungguh kisah putus hubungan yang aneh dan menyebalkan.

“Aku tidak benci. Marah memang, namun tidak berkepanjangan, capek juga memikirkan orang yang sudah tidak memedulikan kita kan?”

Kurenungi pernyataannya sembari mencomoti camilan. Bukan hanya aku yang ikut bersimpati padanya, teman yang lain juga. Hanya saja, terdapat perbedaan.

“Kasihan sekali, ya. Pasti dia berkata begitu agar menghibur dirinya sendiri.”

Yang lain mengangguk mengamini. “Cowok begitu pantas dibenci. Padahal kan dia baik, cantik juga.”

Padahal aku lihat temanku tadi bahkan tidak menyesal. Dia berlapang dada. Berbeda denganku yang mengumpat lantas menyisipkan kata-kata buruk setiap membahas mantan. 

“Mantan seharusnya dihindari saja. Makhluk paling menyebalkan.”

Tapi kan kalian pernah merasakan hari-hari indah dengan makhluk itu. 

Rasa-rasanya aku tak pantas menghakimi mereka. Sebab aku sama saja membicarakan buruk soal makhluk itu. 

“Kalau mantan adalah makhluk menyebalkan. Bukankah kita sebagai mantan dari cowok masing-masing juga makhluk menyebalkan,” kataku. Sebenarnya tidak ada niat membagi tetapi terlanjur meluncur di lidahku. 

Kumpulan teman-temanku menjadi sunyi. Kupikir mereka ikut merenungi ucapanku. Pandanganku bergeser pada teman yang barusan terkena simpati mereka.

Di luar dugaan, dia mendengar dan sekarang tersenyum geli. 

Perutku bergetar bertepatan saat roti bakar yang kupesan tiba. Taburan keju berpadu bersama meises cokelat. Menciptakan rasa asin, gurih dan manis. Perpaduan seperti ini yang akan menimbulkan cita rasa beragam dan tidak memuakkan. 

Dia melihatku sedikit gelisah. Hehe. Kurasa dia menyesal memilih teman ketemuan.

“Ternyata kamu lapar. Pantas wajahnya datar terus.”

Aku ikut tertawa. Tawa santai. Enggan kaku ataupun menciptakan kesan baper. 

“Memang lagi lapar. Di sini tidak ada menu nasi, ya sudah pesan roti bakar.”

Sejenak. Sorotan menganggumi terarah padaku. Begini-begini aku masih peka terhadap kondisi sekitar. 

“Kamu mau roti?”

Dia mengangguk. Sangat senang. Kembali memasang senyum manis, mirip roti yang ditaburi banyak meses. 

“Pesan lagi saja. Daripada lapar,” ucapku seolah tidak sadar.

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang