1

4 1 0
                                    

◇◇◇◇

Sedotannya diputar-putar tak berpola. Kadang ke kanan, kadang ke kiri. Beberapa kali ditekuk sampai penyok. Taburan cokelat grande jadi tercerai berai akibat gerakan sedotan itu. Alunan musik indie mengiringi gerakan tubuhnya, perpaduan malu-malu dan senang. Speaker kafe menghaturkan lagu pendukung

Mengherankan sekali, mengapa harus mengajak ke kafe kekinian. 

Berhubung bakal ditraktir, aku mau-mau saja. Padahal dulu dia pernah menjanjikan membelikan ramen, namun di saat sudah bertemu kembali malah membawa ke kafe. Apa lebih baik aku pesan roti bakarnya sekalian?

“Gimana kabarnya?”

Akhirnya setelah berbasa-basi. Dia membuka, seperti pembukaan di bab I sebuah laporan. 

“Begini-begini saja. Masih bernapas, tidak tengah terkena masalah.” Aku melirik ke luar kaca. “Masalahnya muncul barusan.”

Dia tertawa ringan, mirip seperti dulu. 

“Maaf mengajak tiba-tiba. kita belum pernah ketemuan sebelumnya.”

Menggunakan senyum, dapat kulihat niat terselubung. Baru sekarang aku peka terhadap gerak dan ekspresi tubuhnya.

Ujung bibirku tertarik sendiri. Entah mengapa lucu saja dia berkata begitu setelah pertengkaran kekanakan yang meretakan hubungan kita. Ah. Benar-benar pembukaannya terlalu lama. Jadi sembari mendengarkan, aku merenung pada waktu silam.


Ditembak oleh gebetan setelah bertahun-tahun menyukai adalah salah satu bentuk kebahagian terbesarku. Perasaan terbalaskan. Kemudian berangan-angan dunia lebih indah dari sebenarnya. Wah. Jatuh cinta memang manis. Seperti menyecap permen karamel. 

Manispun bila dicecap terlalu banyak juga akan membuat muak. 

Atau mungkin itu bukan permen karamel, itu sebenarnya adalah permen karet. Manis di awal, bila terlalu lama mengunyah akan menjadi tawar hambar. Hm. Mungkin juga. 

“Kamu ini juga tidak bisa menyenangkan. Tidak mau ikut kumpul dengan teman-temanku.”

Heh. Lucu sekali ketika seseorang mulai mengeluarkan pengelakan di waktu terdesak. Bodohnya aku tersulut. Untung saja, tidak sampai menjadikanku yang salah. Aku masih cukup pemikiran untuk mengetahui bahwa mulai lunturnya rasa manis di sebuah hubungan. Kebosanan. Benar. Di tahap itulah, seorang pasangan akan mulai mencari rasa manis pada permen lain. 

“Kalau kamu memang enggak suka aku. Ya sudah cari sana yang sesuai dengan kriteriamu. Aku enggak peduli lagi. Terserah. Mulai dari sini kita selesai.”

Kalimat terakhir yang aku lontarkan padanya, pada mantanku. Boleh saja aku berkata dengan tegas seperti tadi, tetapi tetap saja pada akhirnya juga menangis di kamar. Uring-uringan karena mengingat kelakuannya yang selingkuh, dan kemudian tidak mau mengaku salah, malah menembakku dengan kalimat yang lebih mematikan ketimbang saat dia menyatakan perasaan.

Seharian, aku mematikan ponsel. Sengaja menjauh terlebih dahulu. 


“Akhir-akhir ini kulihat kamu ikut lomba menulis esai, ya.”

Orang bodoh mana yang tidak tahu bakal kemana arah pembicaraan ini. Bahkan dia melakukan riset terlebih dahulu. Kutarik napas pelan. Aku sudah tidak membencinya. Namun rasanya aneh saja melihat kenangan muncul dan bertanya mengenai masa sekarang. 

UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang