Hi.
Seperti judulnya. Hi. Welcome to my life. Atau mungkin lebih tepatnya, welcome to my brain. Karena disini aku bingung, apakah aku sedang berbicara dengan pembaca. Atau aku hanya sekedar perempuan usia 20 tahun yang berbicara dengan dirinya sendiri seperti orang tidak waras.
Mungkin pernyataan kedua lebih tepat. Lagipula, sejak kecil teman ku hanyalah diriku sendiri. Just me and myself. Orang tua ku yang berpisah, memutuskan bahwa hal terbaik yang bisa diberikan padaku, yang berusia 5 tahun saat itu, adalah meletakan aku di panti asuhan.
Apakah aku benci? Tidak. Mungkin itu lebih baik dari pada saat aku tinggal dengan mereka dan setiap hari diisi dengan mendengar caci-makian. Jika di tempat lain makan nasi adalah hal yang wajar, maka di rumah kami konsumsi caci-makian setiap hari lah yang wajar.
Apakah aku sendirian menjadi penonton dalam drama ini? Tidak. Tapi orang ini tidak perlu ku sebut. Tidak ada perannya juga dia dalam cerita ku.
Sekarang? Oh, jangan khawatir. Hidupku sekarang baik-baik saja. Aku dirawat oleh keluarga angkat ku setelah menghabiskan 5 tahun di panti asuhan tersebut. Tapi setelah 7 tahun, sekarang aku memutuskan untuk tinggal sendiri. Aku tidak mau menjadi beban bagi mereka yang sekarang sudah memiliki buah hati.
Hubungan kami baik. Sesekali kami saling menghubungi. Bahkan Dimitri, atau lebih sering disebut Dimitli oleh bocah 3 tahun itu, sering merebut telfonnya agar bisa video call dengan ku. Anak itu, entah dari mana jahilnya. Ah, mungkin dari Paman?
Oh ya, aku masih memanggil mereka bibi dan paman. Untuk apa ku panggil ayah dan ibu? Sedangkan dua kata itu tidak membawa kenangan apapun untuk ku. Mereka juga tidak memaksaku untuk memanggil mereka ayah atau ibu. Kalau kata mereka, "selama kamu merasa nyaman. Kami tidak masalah."
Sahabat? Tentu aku punya. Iya iya, aku tau tadi aku bilang "Just me and myself". Memang benar, aku hanya memiliki diriku sendiri yang bisa aku percayai 100%. Sahabatku? Em.. 80%? Jangan sampai dia dengar, bisa-bisa dia mengoceh tanpa henti.
Petronila namanya. Atau lebih sering ku panggil Petro or Pet. Kami bertemu ketika menginjak pendidikan SMA. Entah ada musibah apa, kami bisa sekelas dan sering melakukan kegiatan yang sama. Aku yang diam, bertemu dia yang diam. Kamu pikir tidak akan cocok? HA. Kami cocok. Jangan tanya bagaimana. Aku yang lebih sering diam seribu bahasa karena malas berdebat, sementara Petro lebih sering beragumen ketika memang kesal.
Tapi selain itu, kami diam. Tidak percaya? Ya sudah. Iya, kami tidak sepenuhnya diam. Kami akan berisik seperti sahabat pada umumnya. Tapi, dan TAPI, hanya ketika kami berdua saja atau dengan keluarganya. Ya, Tante Herana, atau biasa aku panggil Tante Hera, atau mamanya Petro, sering mengajak ku main. Katanya supaya Petro tidak diam saja di kamar menggambar komik-komiknya.
Padahal saat bermain dengan ku, sama saja kami diam duduk. Aku duduk melihat dia menggambar dengan tablet ajaibnya, dan dia duduk diam menggambar komiknya. Oh, aku belum bilang ya. Dia ingin menjadi pelukis komik internet. Atau.. apa ya sebutannya? Artist? Ya yang menggambar lah pokoknya.
Orang terdekat sangat bisa dihitung. Aku tidak suka keramaian, aku lebih pilih memiliki sedikit orang terdekat dibanding banyak namun tak ada yang benar-benar dekat.
Apa? Ah iya aku lupa. Aku belum memerkenalkan diri ku ya? Maaf. Hi. Aku mahasiswi semester 6 dari jurusan bahasa asing Jepang. Dan nama ku,
"Et dah, Isel! Cepetan ah itu nanti cat air nya abis!"
Berisik kan si Petro?
"Ya udah lari sono. Gue juga tau tokonya dimana.""Ya udah gue lari duluan ya. Lu tau-tau pulang ke rumah gue duluan gue laporin ke koko gue!"
"Hidih! Silahkan. Bukannya gua mau kabur duluan, tapi siapa yang takut sama si Philo!"
"Iya juga. Ah ya udalah pokoknya cepetan nyusul ya, Sel!"
Tidak perlu ku jawab. Manusianya sudah lari duluan. Memang hanya diskon dan hal-hal berbau seni yang bisa membuat dia berlari sampai kapten Tsubasa pun kalah.
Ah, nama ku ya. Tadi sudah disebut.
Hi. Nama ku Isel. Isel Morita.
Kalau kamu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi
General Fiction"Hi" - Isel Morita Hidup yang diawali kepahitan, tidak selalu berjalan pahit. Iya kan? Paling tidak, itu yang aku coba terapkan. Nyatanya, kepahitan itu akan selalu ada di dasar hati ku yang paling dalam. Meskipun aku coba lupakan dengan tidak berus...