(4) Masa Lalu

6 1 0
                                    

16 tahun lalu ...

"Lagi-lagi! Kamu dengan wanita biadab itu kan?!"

"Apa maksudmu biadab?! Dia wanita yang jauh berbeda dari mu!"

Untuk kesekian kalinya, aku harus mendengar mereka berdua bertengkar. Iya, ayah dan ibu ku. Setiap hari mereka bertengkar. Hari ini karena wanita, hari kemarin karena uang, hari kemarinnya lagi karena aku, hari esok.. hari esok.. siapa yang tau apa yang akan mereka jadikan bahan untuk bertengkar besok.

Sudah pernah ku coba menghentikan perkelahian mereka. Berkali-kali ku coba, berkali-kali aku ditolak. "Kamu tau apa masih bocah?! Kembali ke kamar!"

Berbeda jika kakak ku yang mengatakannya. "Sayang, Ibu dan Ayah sedang tidak bisa diganggu. Masuk kamar dulu ya."

Bahkan aku yang berumur 4 tahun pun bisa berfikir. Aku tidak diinginkan. Mereka tidak menginginkan aku. Mungkin aku bukan keluarga kandung mereka. Mungkin aku dipungut dari pinggir jalan oleh mereka karena kasihan.

Apa yang kakak dapatkan selalu baru. Dan apa yang ku dapatkan selalu bekas. Seperti pakaian ku yang awalnya adalah pakaian kakak yang sudah terlalu kecil, sepatunya yang sudah tidak muat, bahkan tasnya yang sudah kotor. Iya, aku tidak diinginkan.

Aku berusaha menjadi anak yang baik. Aku tidak menghabiskan banyak makanan. Aku tidak menangis saat terjatuh. Aku bermain dalam diam tanpa banyak bergerak. Tapi.. tapi kenapa mereka tidak pernah menyayangi ku seperti mereka menyayangi kakak?

"Kamu kira aku tidak lelah? Aku harus mengurus bukan hanya 1 tapi 2 anak! Kenapa tidak kamu yang urus anak mu itu! Aku sudah lelah mengurus Ikel. Dan aku malah masih harus mengurus Isel!"

Dulu aku suka nama ku yang mirip dengan nama kakak, Ikel. Isel dan Ikel. Tapi sekarang aku tau, nama ku dibuat tanpa dipikir panjang. Hanya mengubah 1 huruf dari nama kakak.

Perkelahian ini tidak berhenti bahkan setelah 1 tahun lamanya. Kedua orang tua ku akhirnya bercerai. Ayah langsung pergi meninggalkan kami, entah kemana. Mungkin pergi bersama wanita yang ibu sering sebut biadab.

Itulah awal mulanya. Ibu tidak sanggup merawat 2 anak. Tidak, aku hanya menghibur diri. Lebih tepatnya Ibu tidak sanggup merawat ku. Ibu selalu sempat melihat tugas dan merawat kakak. Tapi aku? Aku bahkan tidak didaftarkan mengikuti taman kanak-kanak. Ibu selalu marah dan memukul ketika melihat ku.

Ada apa dengan ku? Apa yang sudah ku lakukan? Apa kesalahan ku?
Jawabannya aku temukan setelah akal sehat ku bisa berjalan. Jawabannya adalah, tidak ada. Aku tidak salah apapun. Aku tidak minta dilahirkan. Bukan salahku. Ini bukan salah ku. Ini semua bukan salahku.

Karena itu, ketika aku ditaruh di panti asuhan aku tidak marah dan aku tidak sedih. Kehidupan ku di rumah tidak berbeda dengan panti asuhan. Aku tidak marah dan tidak kecewa dilepaskan di panti asuhan. Meskipun kakak ku sendiri dirawat oleh ibu. Iya. Hanya aku yang menjadi anak yatim piatu.

Tapi seperti yang aku katakan, aku tidak menyesal. Tidak satu detik pun. Tidak satu tetes pun.

○ ○ ○

16 tahun kemudian, sekarang ...

"Apa kabar?"

Apa? Apa kabar? Pertanyaan bodoh macam apa ini? Apakah ini sedang kelas bahasa inggris dimana terdapat contoh percakapan "Apa kabar? Saya baik, bagaimana dengan anda?"

APA KABAR?

Tunggu, bagaimana dia bisa menemukan aku? Bagaimana bisa ibu, orang yang melepas aku ke panti asuhan 15 tahun yang lalu, menemukan aku disini? Di mall, persisnya di toko buku dan di area ini.

Bagaima- tidak. Tidak mungkin. Bibi? Beberapa hari ini dia sering berbicara lewat telfon. Dan sering juga ketika bibi melihat ku, dia akan menghentikan telfonnya. "Kamu lebih penting, telfon bisa nanti lagi" begitu katanya. Bibi tidak berbohong kan? Tidak mungkin kan? Aku harus tanyakan nanti.

Ah, aku lupa. Wanita ini ada di hadapan ku. Apa tadi? Oh iya, apa kabar. Aku harus jawab apa?

"Sepertinya anda salah orang."

Ya, hanya itu jawaban yang terfikirkan oleh ku. Dan aku pergi beranjak dari area buku yang paling ku sukai. Bagus. Sekarang memori indah di area ini ternodai rasa pahit.

"Tu-tunggu, Isel."

Wanita itu berani-beraninya menyebut nama ku dan menggenggam pergelangan tangan ku. Menghentikan langkah ku yang hendak pergi. Seketika itu juga aku menghempaskan tangannya dari tanganku.

"Seperti yang saya bilang, anda salah orang."

Tanpa tunggu lagi, aku langsung melangkah dan memercepatnya. Supaya wanita itu tidak sempat-sempatnya menggenggam tangan ku. Aku harus bertemu bibi.

"Bibi."

Aku memanggil bibi yang masih duduk dikursi restoran tadi. Dia pun melirik ke arah ku sambil tersenyum. Namun senyum itu hilang ketika dia melihat raut wajah ku dan rambut ku yang cukup berantakan. Oh, mungkin karena aku berjalan tergesa-gesa kesini. Ah aku tak peduli.

"Isel? Kamu kenapa?"

"Bukan Bibi kan yang membawa wanita itu?" tanya ku sambil menahan nafas. Mencoba bertanya tanpa membawa emosi.

"Isel.."

"Isel, ayo duduk dulu. Supaya tenang, ya?"

"Paman bilang tenang? Kenapa Paman tau aku tidak tenang? Oh, jangan-jangan Paman juga ikut serta?"

Aku yang menyadarinya pun tertawa. Cukup kencang sampai pegawai dan pelanggan sekitar melihat ke arah ku. Dan seperti yang kuucapkan tadi, aku tidak peduli.

"I can't believe this."

Setelah mengucapkan itu, aku pergi meninggalkan mereka. Tidak menanggapi panggilan Dimitri, tidak menanggapi panggilan bibi ataupun paman, dan yang jelas, tidak menanggapi tatapan pengunjung sekitar.

Aku harus pergi dari tempat ini. Sebelum aku hilang kendali.
Dan aku hanya punya satu tujuan.

HiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang