"Kalo udah besar, Nio mau jadi apa?"
"Nio mau jadi Pilot."
"Kenapa Nio mau jadi Pilot?"
"Biar bisa turunin hujan duit ke bawah."
"Hahaha ..." anak kecil yang memakai singlet tertawa, "Kalo gitu, nanti turunin uangnya ke atap panti aja ya, hehehe ..."
"Hehehe ..." si anak berbaju lengan panjang ikut terkekeh, sambil mengelap ingus dengan saputangan di tangannya, dia melanjutkan, "Kalo Aa Faruk mau jadi apa?"
"Aa mau jadi Polisi."
"Kenapa mau jadi Polisi?"
"Biar bisa nangkap orang-orang jahat." wajah anak yang memakai singlet terlihat serius, "Orang-orang yang ngebuang anaknya di jalanan."
"Hebat!" anak berbaju lengan panjang mengacungkan jempolnya, "Semoga cita-cita Aa Faruk bisa terwujud."
Sementara itu dari arah barat sana matahari sudah mulai tenggelam, langit berwarna jingga dan burung-burung di daerah pesawahan sudah mulai berterbangan, pulang ke sangkarnya.
"Nio, kayaknya udah mulai mau magrib nih." ucap Faruk, "Kita pulang yuk! Nanti kalo pulangnya kemalaman kita bisa dihukum sama Ibu panti."
"Ayo Aa Faruk!"
Kedua anak kecil itu pergi meninggalkan saung di tengah sawah. Sambil bercanda, keduanya berjalan menyusuri pamatang sawah yang luas. Warna padi bahkan sudah mulai menguning, itu artinya tiga hari lagi padi itu akan siap dipanen.
Beberapa menit kemudian keduanya sudah tiba di panti asuhan, tempat di mana keduanya dibesarkan.
Panti asuhan ini terletak di kota kecil bernama Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Seperti anak panti pada umumnya, keduanya harus mengikuti peraturan panti. Jadi ketika mereka sudah selesai makan, mereka dipersilahkan untuk tidur.
Pukul 22:30
Di luar hujan lebat, suara petir beberapa kali terdengar menggelegar.
Faruk yang sudah tertidur kemudian terbangun karena mendengar suara tangisan seseorang."Nio?" Faruk menengok ke bawah ranjang susun, benar saja dugaannya, di bawah sana sahabatnya itu sedang menangis.
Faruk lalu turun dari tempat tidurnya, menuruni tangga dan kemudian dia tiduran di samping sahabatnya itu.
"Nio kenapa?" tanya Faruk.
"Nio takut petir, Aa." jawabnya.
"Yaudah, sini Aa peluk." kata Faruk.
Faruk kemudian memeluk sahabatnya itu, mencoba menenangkannya.
"Aa Faruk jangan pergi tinggalin Nio sendirian ya?" sambil terisak, Nio melanjutkan ucapannya, "Nanti kalo Aa Faruk pergi, nggak ada lagi yang ngelindungi Nio dari Damar sama teman-temannya."
Faruk lalu teringat Damar dan kedua temannya yang sering membully Nio di panti. Mereka melakukan hal itu karena Nio terlihat lemah, ingusan dan mudah menangis.
"Aa nggak bakalan ninggalin Nio." Faruk menepuk-nepuk pelan punggung Nio.
"Janji?" bocah berusia enam tahun itu mengacungkan kelingkingnya, mengajak Faruk untuk mengikrarkan sebuah janji.
Faruk pun menyambut hangat jari kelingking itu, dia kemudian mengaitkan jaring kelingkingnya ke kelingking Nio, "Aa janji."
Keduanya pun tersenyum.
Tiga hari kemudian.
Nio yang baru saja pulang sekolah tiba-tiba dikejutkan dengan kabar menyakitkan.
Sahabat dekatnya, yakni Faruk telah diadopsi oleh sepasang suami istri dari Jakarta. Bukan itu yang membuat Nio sakit hati, tapi Faruk yang tidak jujur terhadapnya. Rupanya adopsi ini sudah direncanakan dari dua minggu yang lalu.
"Nio?" Faruk menghampiri Nio yang sedang duduk di taman depan panti.
"Aa Faruk pembohong!" bentak Nio, "Kata Aa, Aa nggak bakalan ninggalin Nio, tapi mana buktinya?"
"Maafin Aa ya, Nio." Faruk menunduk, "Tapi ini kesempatan Aa, kalo Aa di sini terus cita-cita Aa nggak bakalan terwujud."
Nio kemudian teringat obrolannya dengan Faruk tiga hari yang lalu saat keduanya menikmati senja di sawah.
"Yaudah," setitik air di ujung mata Nio mulai mengalir, "Nio cuma bisa berdoa yang terbaik buat Aa Faruk." setelah itu Nio pergi.
Sambil berdiri mamatung di taman, Faruk menangis.
"Maafin Aa, Nio." ucap Faruk di dalam hati.
Seperti biasa, anak-anak panti akan mengantar si anak yang sudah diadopsi ke halaman panti asuhan, berpamitan untuk yang terakhir kalinya.
Faruk masih menunggu Nio, berharap bisa melihat wajahnya untuk yang terakhir kali. Namun percuma saja, Nio sudah pasti kecewa terhadapnya.
Setelah itu Faruk masuk ke dalam mobil Toyota Starlet bersama kedua orang tua angkatnya.
Mobil sudah berjalan tapi Faruk masih tetap melihat ke belakang, berharap Nio datang.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Ibu angkat Faruk, mengalihkan pandangannya.
"Tidak apa-apa, Bu." dusta Faruk.
"Mulai sekarang kamu panggil Mama aja ya?" kata Ibu angkat Faruk.
"Iya, Mama." Faruk tersenyum.
"Cuma Mama aja nih?" kata Ayah angkat Faruk yang sedang menyetir mobil, "Papa nggak dipanggil?"
"Iya, Papa." kata Faruk.
"Maafin Aa, Arsenio." batin Faruk.
Tanpa sepengetahuan Faruk, rupanya di belakang mobil ada Nio yang sedang berlari mengejar mobil yang ditumpanginya. Nio ingin memberikan kenang-kenangan berupa foto kebersamaan keduanya yang diambil di sawah bulan lalu.
"AA FARUK TUNGGU!!! " teriak Nio.
"AA FARUK!!!"
"AA FARUK TUNGGU!!!"
Tapi sayangnya mobil itu terlalu cepat dan Nio harus merelakan sahabatnya itu pergi. Pergi meninggalkannya.
"Aa Faruk, Nio akan simpan foto ini." sambil memandangi mobil Faruk yang mulai menjauh, Nio tersenyum, "Nio berharap, suatu hari nanti kita bisa berjumpa lagi."
***
Hi, saya kembali lagi. Kali ini saya lagi ada di Rangkasbitung, sedang mengantar salah satu teman ke kampung halamannya. Akhir-akhir ini saya memang sibuk dengan dunia nyata. Jadi daripada bosen nunggu teman saya pulang dari pelosok desa sana, lebih baik saya jalan-jalan sambil nulis di kota kecil ini.
Oh iya, semoga kalian suka dengan cerita ini. Jangan lupa berikan vote, komentar dan add cerita ini ke reading list kalian. Yang belum follow, silahkan difollow dulu.
Lagu di bawah ini yang sudah menginspirasi saya dalam menulis cerita ARSENIO.Brandon Stansell - Never Know
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSENIO : BLUR
RomancePertemuan kembali Faruk dan Arsenio membuat keduanya mengenang masa kecil mereka ketika di panti asuhan. Mereka lalu menyadari jika rasa cinta sesama jenis keduanya memang sudah tumbuh dari semasa kecil saat di panti asuhan, hanya saja kala itu mere...