Chapter 10 ; A "Good" Crime Partner

661 123 4
                                    

Yeonjun terbangun kala merasakan ada nafas yang menderu menerpa perpotongan lehernya. Ia mengerang pelan merasakan nyeri teramat sangat disekujur tubuhnya, terutama punggungnya. Netranya perlahan membuka dan mengolah berkas cahaya yang menerobos melalui celah celah jendela kamar itu. Ia merasakan sebuah benda berat melingkar tenang di perutnya.

Tangan.
Deru nafas.
Choi Soobin.

Yeonjun menatap yang lebih muda tanpa ekspresi yang bisa di ungkapkan. Jemarinya ia bawa untuk disisipkan pada surai lembut Soobin. Dalam hati sudah semakin yakin ia akan memberhentikan dirinya dari kepungan neraka di hidupnya setelah ini. Jemarinya dengan lembut mengusap rambut yang lebih muda. Pikirannya berandai andai, jika memang ia suatu hari akan terjatuh untuk Soobin, apakah ia akan merasakan kehidupan?

Siapa yang bisa menjamin? ayolah. Bahkan mereka berdua adalah musuh bebuyutan. Bisa saja setelah hari ini mereka akan kembali bersitegang selama beberapa hari hingga pada hari Rabu nanti untuk kesekian kalinya Yeonjun dan anggotanya menjaga ketat wilayah manapun selama 2 hari berturut turut agar kelompok Soobin berhenti membuat onar.

Untuk sepersekian detik, Yeonjun masih tidak percaya perkara nama yang ia rapalkan dengan sumpah serapah selama ini malah justru disebutkannya semalam.

Desahannya terdengar putus asa.
Merengek dengan lemah.
Meminta dengan parau.
Sungguh dia bukanlah Jendral Choi malam kemarin. Tetapi ialah hanya seorang pemuda bernama Choi Yeonjun.

Mengingat bagaimana Soobin memperlakukannya dengan sangat berhati-hati, seperti ia bisa pecah sewaktu-waktu Memperlakukan Yeonjun sebagai manusia yang teramat sangat lemah. Menyentuhnya dengan perlahan namun pasti, menyampaikan sengatan listrik pada sekujur tubuh Yeonjun.

Tuhan, Yeonjun itu indah dengan lukanya. Bohong jika Soobin mengatakan ia tidak mendambakan Yeonjun malam itu.

Bohong jika Yeonjun tidak mendambakan sosok Soobin untuk bersamanya.

Yeonjun bersandar pada sandaran kasur kamar itu. Ia menatap sekelilingnya sebelum memejamkan matanya untuk merasakan helaian rambut Soobin yang masih senantiasa menelisip di jemari kecilnya.

Pikirannya kembali berputar. Ia harus memikirkan cara bagaimana menjebloskan ayahnya dan sederet bedebah hina itu ke penjara sebelum penghitungan hasil suara pilih dilaksanakan? Komjen, Jaksa Agung, Mahkamah Agung? baik. Mahkamah Agung di Korea Selatan masih bersih belum tersentuh oleh racun dari deretan pejabat pemerintahan disana. Yeonjun akan langsung melaporkan semuanya pada Mahkamah Agung dan menjebloskan semua bedebah itu ke penjara. Hanya itu dan akan sangat mudah bila ia lakukan dengan cepat. Cepat atau lambat ia pasti akan dibunuh oleh ayahnya sendiri. Atau malah anak buah dari Jung Hwa? atau mungkin Jung Hwa yang turun tangan? Tak penting, yang penting saat ini ia menjebloskan deretan manusia tak beradab itu ke penjara dan berhenti dan membiarkan dirinya menikmati hasil kerja kerasnya selama ini.

Kemudian Yeonjun merasakan deru nafas itu berpindah dan mendekati wajahnya. Mengecup perlahan bibir tebal miliknya. Enggan rasanya ia menolak bibir manis dan tipis yang memaksa untuk meraup rakus bibirnya. Lidahnya dibawa mendorong satu sama lain pagi itu.

Katakan pada Soobin, ia benar-benar handal. Ia bahkan tidak meninggalkan untaian saliva bersama Yeonjun, jika mengatakan ini adalah first kiss, kemungkinan besar tidak. Orang mana yang melakukan first kiss tanpa meninggalkan untaian saliva?

Lain kata, orang itu menyukai untaian saliva yang dibuat.

Surai merah itu tertawa kecil kala tautan itu terlepas. Matanya membentuk lengkungan kebawah membentuk bulan sabit.

Manis.
Manis sekali.
Manis.
Manis yatuhan manis.
Soobin terpaku.
Tuhan, Yeonjunnya sangat manis
Catat, Yeonjun-nya.

Soobin tanpa disadari ikut tersenyum sambil mengusak surai yang lebih tua. Yang lebih tua memandangi wajah Soobin tanpa mengatakan sepatah katapun, wajahnya bersemu merah, bibirnya semerah buat cherry, binar matanya benar benar seperti langit yang teramat sangat cerah. Keduanya bertatapan dengan senyuman yang terpatri diwajah masing masing.

"Coba panggil namaku Jun", Yeonjun menaikkan sebelah alisnya.

"Soobin?", Soobin mengangguk kemudian meminta Yeonjun mengulangnya.

"Soobin–"

"Suaramu semalam bagaimana ketika memanggil namaku?" yang ditanya merasakan hangat hingga telinganya. Mengingat bagaimana kejadian semalam. Bagaimana ia menyebutkan nama Soobin dalam keputusasaan.

"Jendral Choi, kenapa tidak sedari dulu kita begini?", Yeonjun tersenyum simpul kemudian mengarahkan tangannya untuk mengelus pipi Soobin hingga ke rahang tajamnya. Pahatan Tuhan yang satu ini tidak main main.

"Sudah kubilang, dunia kita berbeda. Dan lebih mudah menepis khayalanmu untuk berdamai denganku. Jangan harap Soobin." surai hitam yang dihadapan Yeonjun terkekeh pelan lalu memeluk pinggang yang lebih tua kemudian mengangkatnya untuk duduk dipangkuannya.

"Tenang saja, sehabis dari kasur ini, kau yang akan berkhayal untuk tinggal bersamaku"

"Cih. Jangan harap. rumahku jauh lebih memabukkan daripada kasurmu"

"Tenanglah Jendral Kecil, aku akan memastikan kita akan kembali seperti semula setelah ini, oke? nikmati saja saat ini."

Keduanya tengah duduk ditengah kasur pagi itu. Dengan tangan ringan yang melingkar di pundak surai hitam. Tangan besar yang melingkar pada pinggang tubuh ramping berbalut kemeja putih kebesaran milik yang lebih muda kembali menempelkan bilah bibir mereka sebagai ucapan selamat pagi sebelum benar-benar diusik oleh beberapa pelayan yang bertugas dikediaman Soobin.

"Tuan, sarapan sudah sia—"

"p...."

Pelayan itu seperti melihat hantu dihadapannya, membatu sepersekian detik kemudian ia buru buru menunduk dan dengan bodohnya meninggalkan pintu kamar Soobin dalam keadaan yang terbuka lebar, menunjukkan kegiatan tak senonoh dari kedua "teman baik" pagi itu.

"Cepat tutup pintunya bodoh." Soobin memutar bola matanya malas kemudian beranjak mendekati pintu kamarnya dari samping agar ia bisa menggeser pintu kamarnya tanpa menunjukkan seluruh tubuhnya pada beberapa mata yang tengah mengintip mereka dari kejauhan.

"Astaga Tuhan..."
"Kau masih ingat Tuhan bung?"
"Tentu masih sialan"
"Kau percaya apa yang kita lihat?"
"Apakah jendral itu sudah gila?"
"Dia memang gila bukan?"
"Loh bukan maksudku, yang gila tidak punya akal sehat itu?"
"Kau kira dia selama ini tidak gila?"
"kITA INI ILLEGAL BODOH. DIA TENTU SAJA TIDAK GILA" Kai merasa geram kemudian memukul kepala Juyeon dengan tangan telanjangnya. Juyeon hanya bisa diam meringis kemudian berniat untuk membalas sebelum Hyunjin meminta mereka untuk diam dan mendengarkan lebih dekat.

Menit kemudian mereka semua bersumpah serapah menyesali perbuatan mereka yang menguping dengan khidmat saat itu. Erangan lemah dan dalam dari Soobin tak mampu dibendung, bunyi cecapan kulit basah dan sesekali terdengar bunyi hisapan yang bersemangat terdengar jelas keluar kamar. Hyunjin merutuki dirinya sendiri kenapa juga ia bisa se kepo ini dengan boss nya?

Didalam sana, tidak ada boss maupun jendral, keduanya terduduk menikmati satu sama lain. Dengan Yeonjun yang duduk dilantai dan Soobin di pinggir kasur memegangi surai merahnya.

TBC

Part nganunya nyusul

ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang