Menjejak Surga dengan Spirit Ramadhan

20 20 0
                                    

Menjejak Surga dengan Spirit Ramadhan

Sepertinya sudah menjadi kewajaran setiap Ramadhan berakhir, berakhir pula energi keshalihan masyarakat. Ramadhan seolah-olah tidak meninggalkan jejak. Masjid-masjid kembali sepi, majelis-majelis taklim tidak lagi diminati, para selebriti kembali umbar aurat di televisi, korupsi jalan lagi, bisnis judi dan kemaksiatan lain melaju tanpa henti.

Di kala Ramadhan masyarakat memiliki kepedulian tinggi, berinfak dan bersedekah kepada anak-anak yatim, orang-orang fakir dan miskin, berbagi makanan dengan para pengemis dan anak jalanan. Di luar Ramadhan kepedulian itu raib begitu saja. Masyarakat kembali menjadi sangat individualistik, konsumtif dan hedonis.

Kondisi seperti ini sangat wajar mengingat saat ini umat Islam masih berkubang dalam jurang sekularisme. Di dalamnya agama tidak dimusnahkan, tapi hanya menjadi aksesoris kehidupan, bukan sebagai pedoman. Islam dapat disandingkan dengan apa saja dan boleh muncul pada momen-momen tertentu saja.

Akhirnya, umat Islam menjadikan agama sebagai artifisial dan profan. Bahkan kadang-kadang agama dikomersilkan. Dengan demikian, sekulerisme adalah pemikiran yang kacau karena menampung energi keshalihan dan energi kemaksiatan sekaligus.

Beberapa Kiat Allah Swt menjelaskan dalam Al-Qur’an, tujuan berpuasa membentuk karakter takwa dalam diri seorang muslim (la’allakum tattaqun). Dalam menafsirkan frasa la’allakum tattaqun itu, para ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat.

🌹Pertama, yang dimaksud la’allakum tattaqun adalah terhindarnya individu muslim dari perbuatan haram. Sehingga dengan berpuasa umat Islam menjauhi perbuatan yang diharamkan di luar Ramadhan. Bila mereka mampu menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan di luar bulan Ramadhan seperti makan dan minum, tentu seharusnya mereka mampu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan.

🌹Kedua, ada berpendapat la’allakum tattaqun berarti “agar kalian menjadi lemah sehingga kalian bertaqwa”. Ketika seseorang sedikit makannya, melemahlah syahwatnya. Ketika syahwatnya melemah, maka maksiatnya akan berkurang. Ketiga, ada pula ulama berpendapat, la’allakum tattaqun individu-individu muslim terjaga dari perbuatan yang dilakukan orang-orang sebelum Islam.

Dengan demikian, takwa adalah ketundukan total seorang muslim kepada hukum-hukum Allah swt baik di kala Ramadhan maupun di 11 bulan lain. Puasa merupakan bagian dari ketundukan total itu, bukan sesuatu yang terpisah dari rangkaian ketaatan yang lain.

Untuk itu, umat Islam harus diingatkan akan pentingnya menjaga spirit Ramadhan. Adapun urgenitas menjaga spirit Ramadhan tidak lain karena ketakwaaan merupakan perkara asasi yang akan mendorong seorang muslim untuk selalu terikat dengan seluruh hukum-hukum syariah kapan saja dan dimana saja. Ketakwaan akan memunculkan kesadaran kolektif tentang realita dunia Islam yang terpuruk adalah akibat pengabaian syariah Islam dan penerapan ideologi kapitalisme.

Ketakwaan itu pula yang akan mewujudkan persatuan dan persaudaraan hakiki sesama muslim. Umat Islam akan tergerak untuk peduli terhadap masalah umat Islam lainnya meski dipisah jarak yang jauh. Mereka akan terdorong membela saudaranya di Rohingya –misalnya- yang mengalami diskriminasi minoritas hingga jutaan nyawa melayang, jutaan lainnya terlunta-lunta.

Karena itu, ada beberapa kiat yang bisa dilakukan memelihara spirit ketakwaan. Pertama, terus menjaga dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah serta amalan-amalan shalih. Menjaga keimanan di tengah pusaran kehidupan yang hedonis dan permisif  dan gempuran kemaksiatan yang dilahirkan sistem kapitalistik memang tidak mudah.

Kedua, melibatkan diri dalam organisasi dakwah yang benar-benar tulus memperjuangkan Islam sebagai jalan hidup. Sebab, sekuat-kuatnya seseorang menjaga keimanannya, ia akan tetap terpengaruh suasana yang tumbuh dalam masyarakat. Jamaah yang ada didekatnya akan menjadi instrumen kontrol tatkala jiwanya mulai menghadapi serangan pemikiran dari masyarakat dan negara. Jamaah yang baik akan membentuk individu yang baik pula. Ini persis seperti yang dianalogikan sebuah hadits bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang jauh dari rombongannya.

Sebaliknya orang tersebut harus menjauhkan diri dari kelompok pragmatis yang bekerja bukan demi kemaslahatan umat, tetapi untuk kepentingan kelompok dan pribadi. 

🌹Ketiga, seorang muslim harus menyadari bahwa ketakwaan bukan hanya terbatas pada aspek individu saja, tapi harus dilaksanakan dalam konteks masyarakat dan negara. Artinya, harus pula dibangun ketakwaan kolektif yang melibatkan masyarakat dan negara yang bertakwa. Masyarakat dan negara yang bertakwa adalah masyarakat dan negara yang menginstal Islam sebagai sistem yang menjalankan roda kehidupan dan menjadikan hukum-hukum Islam sebagai problem solving berbagai masalah.

Ini karena Islam bukan sekadar agama ibadah tapi juga sebuah way of life yang memuat sekumpulan konsepsi kehidupan, aplikatif dan sangat praktis. Menjadikan Islam sebagai sistem hidup membutuhkan institusi manajerial. Itulah Daulah Islam. Dengan demikian, ketakwaan kolektif hanya bisa diwujudkan dalam Daulah Islam saja.

Inti Berhari Raya

Setelah satu bulan berpuasa, Hari Raya Idul Fitri kembali meletupkan euforia bagi umat Islam. Lalu apakah hakikat berhari raya dan siapa yang berhak berhari raya?
Ketika sebagian salafus shalih ditanya kapankah mereka berhari raya, maka mereka menjawab, “pada hari kami tidak bermaksiat kepada Allah swt. Itulah hari raya kami. Hari raya itu bukan bagi orang-orang yang menggunakan pakaian megah. Tetapi bagi mereka yang mengimani azab akhirat. Bukan pula hari raya itu bagi mereka yang mengenakan pakaian yang indah, tetapi untuk mereka yang mengetahui jalan Islam

RAMADHAN 2021 - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang