Tentang Kepergian yang Tak Pernah Disiapkan

17 1 0
                                    

Di permulaan hari pada tanggal angka satu kembar bulan ketiga

Saya yang sebelumnya mengira bahwa afeksi saya telah mati

Ternyata di hari itu, dia bangkit mati suri

Tersedu-sedu menangisi seseorang yang akan pergi

Bahkan langit Kota Rusa ikut menangis juga kala itu

Hujannya sampai membanjiri pipi saya yang di bawah bantal sembari terisak tak ingin ditinggal

Sebenarnya saya akan wajar saja jika perginya untuk kembali

Tapi kenyataannya sebuah frasa terucap dari mulutnya untuk terakhir kali tidak bisa dimaklumi

"Saya tidak tahu bisa kembali atau tidak. Saya terserah Tuhan saja kemana Tuhan membawa Dermaga terakhir saya"

Hati siapa yang tak merintih ketika mendengar sebungkus diksi di atas dari orang tersayang?

Siapa yang tak teriris ketika perasaan yang mulai mekar akan ditelantarkan begitu saja tanpa jaminan?

Dengar

Malam itu ketika sebuah jabat tangan terakhir kita yang mengatung lama di udara

Ketika dua tangan kita yang saling bertaut tak ingin melepas

Ketika dua pasang hazel milik kita yang mulai berkaca

Saya bisa saja meringis di sana, memuntahkan apa yang ada di hati dan isi kepala

Menagih pertanggungjawaban atas perasaan yang tidak pernah saya minta

Menuntut sebuah janji yang pernah keluar di antara gelak canda kita

Amarah bisa saja saya lepas kendalinya, agar kamu juga merasakan lara yang sama

Tapi saya memilih menahan semuanya

Memilih membawa pulang sendirian ke rumah, segala duka, resah, dan segenap pertanyaan yang tidak pernah menemukan jawabannya

Berharap setiap jengkal kepergian yang tak pernah disiapkan, dengan ringan membawamu melangkah

Malam itu

Setelah sekian lama

Saya temukan kembali sisi diri saya yang lemah

Sisi yang sudah disembunyikan dengan susah payah

Dan kamu membukanya tanpa disengaja

Tanggal satu kembar bulan ketiga

Saya juga tersadar bahwa rasa sayang yang tumbuh sudah seluas angkasanya Kota Rusa

ISI KEPALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang