11

71 4 1
                                    

Lian sedang membantu Firzan menyusun rencana, yang akan dilakukan firzan katakanlah untuk menjebak wizi secara tidak sengaja. Firzan sesekali mengangguk tanda mengerti. Cukup lama lian berbicara tak henti, hingga akhirnya sambungan telepon mereka terputus.

Kini, langkah pertama yang harus firzan lakukan adalah mengambil sebuah foto, tepat disaat wizi dirangkul oleh lelaki itu. Sungguh saat ini firzan terlihat seperti paparazi yang sibuk menunggu moment artis dengan skandal yang sangat besar. Ia sibuk menekan tombol merah dilayar ponselnya beberapa kali, setelah itu ia memastikan kembali foto-foto yang diambilnya cukup jelas dari kejauhan.

Selanjutnya yang tak kalah sulit. Terkadang firzan merasa bodoh, mudah saja untuk mengikuti perkataan lian. Walau bagaimanapun, lian sungguh cermat dalam kejadian seperti ini. Firzan menurut. Ia berjalan meninggalkan mejanya, saat melihat wizi hendak menuju toilet. Ia berjalan ke kasir, membayar minumannya yang bahkan sedari tadi tidak tersentuh sama sekali.
"Mbak, saya bisa minta tolong? Saya mohon dengan sangat bantuan mbak. Disana ada seorang lelaki dan perempuan yang sedari tadi duduk berdua," kasir cafe tersebut menoleh kearah yang diinstrusksikan firzan, lalu mengangguk mengerti.

"Perempuan itu adalah calon tunangan Saya. Dia berselingkuh, dan saya ingin menjebak mereka. Saya minta tolong sama mbak, untuk meletakkan ponsel mbak di dekat mereka agar saya bisa mendengar dan mereka percakapan mereka. Saya mohon sekali mbak. Jika nanti mereka sudah pergi, Tolong matikan saja panggilan tersebut. Saya sangat berterima kasih sekali."

Firzan tak peduli lagi apa yang si kasir pikirkan terhadapnya. Entah ia kasihan atau malah merasa aneh atas permintaannya. Yang jelas, sang kasir menyetujui rencana yang bisa dibilang jenius milik lian tersebut.

Sang kasir hanya terlihat bingung dan mengiyakan perkataan firzan sembari memberi anggukan.
Mereka bertukar nomor ponsel, dan dengan sekali tekan, mereka pun tersambung. Firzan segera menekan tombol perekam pada panggilan tersebut. Ia meninggalkan sedikit tip untuk kasir karena sudah mau membantunya, dan firzan pun berlalu begitu saja menuju parkiran.

Sang kasir berjalan menuju meja yang berada di sebelah meja tempat wizi dan seorang pria tersebut duduk. Ia mencoba untuk mengambil kotak tissu disana dan memasukkan ponselnya di kotak tersebut. Ia merapikan meja dan menata kembali beberapa benda di meja tersebut mengarah lebih dekat ke wizi, agar suara mereka bisa terdengar di ponsel.

                           ******

Firzan yang masih menahan amarah memutar sebuah rekaman percakapan seseorang melalu ponselnya.

"Memangnya pacarmu gak curiga kalau kamu sama aku?" Ucap seorang lelaki pada percakapan tersebut.

"Gak akan, kami sedang tidak baik-baik saja. Terserahlah dia mau apa. Yang pasti aku cuma sayang kamu saat ini." Suara itu milik wizi.

"Lalu, bagaimana dengan pacarmu?" 

"Entahlah, Aku merasa rasa sayangku padanya sudah jauh berkurang sejak kita dekat. Dia selalu saja memikirkan sahabatnya. Sementara Aku tidak. Dia tidak pernah menghubungiku lagi. Untung saja ada kamu. Aku jadi gak kesepian."
"Jadi kamu lebih memilih Aku atau dia?"

"Sejujurnya Aku lebih memilih kamu, dibanding firzan yang selalu saja melibatkan perempuan jalang itu dihidupnya."

Firzan mematikan rekaman tersebut. Ia tak tahu harus berkata apa lagi.

Wizi yang terkejut, tidak bisa berkata apa-apa. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Keringat dingin menjalar dikeningnya. Ia takut. Ia bahkan mengira kalau Firzan akan terus meminta maaf dan mengemis-ngemis permintaan maaf darinya. Tapi ternyata Wizi salah, ia termakan senjatanya sendiri. Sekarang, malah ia yang diberi sebuah bom oleh Firzan, tunangannya sendiri.

Wizi mengambil tangan firzan lalu menggenggamnya, "Ma.. Maafin Aku Zan..." Air mata seketika jatuh dari pelupuk matanya. "Aku...."

"Cukup Zi, cukup!!!" Untuk apa kamu minta maaf kalau kamu gak salah?

"Zan, Aku minta maaf.." ulang wizi sekali lagi. "Aku khilaf Zan."

"Haah? Khilaf? Khilaf macam apa Zi? Baru tadi siang kamu peluk-pelukan di depan umum dengan seorang lelaki yang entah siapa itu." Firzan menjeda, nafasnya berat.

"Kamu bilang kamu sayang dia, dan sekarang kamu bilang kalau kamu khilaf. Aku gak habis fikir sama kamu Zi." Firzan berdecih.

"Kamu bilang Aku diemin kamu, padahal kamu sendiri yang berlagak sok sibuk dan gak bisa ketemu aku!! Aku sibuk kesana kemari menyiapkan pernikahan kita Zi, Tapi kamu malah sibuk berduaan sama orang lain!!" Firzan tak bisa menahan amarahnya. Suaranya tercekat. Ia kembali duduk di sofa dan menjambak rambutnya dengan sangat kuat. Ia frustasi atas apa yang terjadi dengan hidupnya.

Wizi masih terdiam. Sesekali Ia mencoba menarik tangan Firzan untuk meminta maaf. Firzan menepis tangan gadis tersebut. Baginya, hubungan ini sudah buntu, gak bisa dilanjutkan lagi.

Firzan berdiri, ia berjalan menuju pintu rumah Wizi. Sebelum membuka pintu ia berbalik ke darah Wizi. Dilepaskannya cincin pertunangan mereka dan melempar cincin tersebut keatas meja. Meja kaca itu berdenting, membuat wizi tak percaya atas apa yang baru saja dilihatnya.

"Kita putus Zi. Udah gak ada lagi yang harus diperjuangkan." Firzan kembali membalikkan badan. Ia membuka pintu besar tersebut, kemudian menoleh kembali, "Ah, dan satu lagi. Jangan pernah ganggu kehidupanku lagi, dan jangan pernah kamu mengatakan bahwa Kira adalah perempuam jalang! Dia bahkan lebih terhormat dari kamu." Firzan Berjalan keluar, melajukan mobilnya dan berlalu meninggalkan Rumah wizi.

Friend In Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang