Semalam, setelah berpikir cukup lama akhirnya kuputuskan untuk tidak mengganggu Wizi beberapa hari kedepan. Terserah apa jadinya pernikahan kami nanti. Bagiku pesta pernikahan bukanlah segalanya, yang penting ijab sahnya. Semalam Aku sempat mengirimkan pesan pada Lian. Kabar baiknya dia sedang dinas dikota ini untuk tiga hari kedepan. Kuputuskan untuk bertemu dengannya sambil melepas rindu karena sudah cukup lama kami tak bertemu.
Kami berjanji disuatu tempat yang dulu biasa kami datangi. Aku menyapu pandanganku ke sekeliling kafe ini. Tampak Lian melambaikan tangan dari sudut sana. Aku segera menghampiri. Lian masih saja tak berubah. Secangkir kopi hitam dan sebatang rokok yang sedang dihisapnya.
"Firzaaannn..... Apa kabar lo?"
"Baik. Lo gimana? Masih belum bosen sama rokok" ucapku melihat dua bungkus rokok dan korek api, sembari memeluk Lian.
"Masihlah. Kalau pabrik rokok udah gak jalan baru gue berhenti" Lian tetap Lian, dan takkan berubah ucapku dalam hati.
"Kangen juga ya gue ternyata sama lo Yan. Gimana kabar lo? Makin sukses aja bapak yang satu ini"
"Halllaahh... Lo kalo ada maunya juga pasti muji-muji dulu. Gak berubah lo Zan."
Kami terkekeh bersama. Enam tahun sudah kami tak bertemu. Mungkin memang begitu yang namanya sahabat, gak akan pernah berubah. Walaupun berpisah selama apapun.
"Jadi permasalahannya adalah?" Tanya Lian terus terang.
Semua kuceritakan dengan jelas dihadapan Lian. Apa yang menjadi keluhan dan keresahanku akhir-akhir ini.
Aku sempat merasa hidupku sangat miris. Disatu sisi niatku meminang Wizi adalah salah satu tujuanku untuk menyempurnakan separuh agama. Sementara disisi lain, sepertinya pertahananku mulai goyah melihat Wizi tidak serius seperti ini. Belum lagi aku merasa Ada yang tidak beres dengannya.
Semua kejadian-kejadian yang kurasa aneh pada Wizi kuceritakan pada Lian. Tak satupun luput dari bibirku. Lian mendengarkanku dengan serius. sesekali menyesap kopi dan mengangguk memberikan respon padaku.
"Gini ya Zan. Tiap orang beda-beda tingkat stressnya waktu mau nikah. Lo ingetkan, gue sama Inge aja tinggal seminggu lagi biar sah malah putus. Inge sempet gak yakin sama gue, gue pun merasa begitu. Tapi pada aakhirnya kita ketemu. Mau gak mau. Kita ngobrol, bahas lebih banyak hal tentang keinginan kita. Mencari lagi persamaan yang ada. Yang pada akhirnya kita lanjutkan" Lian berhenti berkata. Sebatang rokok lagi di selipkan diantara jarinya.
"Waktu itu gue gak mikir udah berapa duit yang gue habisin walaupun gue gak jadi nikah. Mulai dari gedung, wedding organizer, sampe kateringnyapun gue udah gak mikir lagi kalo memang gue gak jodoh sama Inge."
"Menurut lo wajar gak kalau gue curiga liat Wizi yang terlalu fokus dengan ponselnya. Entah apa itu, sampai-sampai gue ngomong juga gak ditanggepin sama dia."
"Itulah kenapa gue suruh lo buat ngobrol sama Wizi. Lo tanya Zan. Lo bakal jadi kepala keluarga. Kalau dari sekarang omongan lo gak di denger, mau jadi apa rumah tangga lo nanti?" Ucapnya.
Aku berpikir keras. Benar yang dikatakan Kira dan Lian. Aku butuh bicara dengan Wizi. Kalau saat ini saja Wizi tak bisa menghargaiku, bagaimana jadinya rumah tangga kami nanti. Pasti akan sering ribut. Tidak ada harmonisnya. Aku tak menginginkan itu.
Cukup lama Aku berdiam, merasakan pahit dan manisnya kopi ini dilidahku. Seperti inilah kehidupan di jenjang selanjutnya. Sebanyak apa pahitnya, manisnya akan jauh lebih terasa walaupun hanya sesaat.
"Gue denger-denger ada yang mutusin hubungan sama sahabatnya sendiri" Lian kembali bersuara. Wajahkupun memucat memberi reaksi atas kebodohanku saat itu.
"Kira cerita?" Tanyaku. Lian hanya menjawab dengan anggukan sembari mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
"Gue emang bodoh Yan. Gue nyesel banget. Bisa-bisanya gue ikutin perkataan Wizi yang gak masuk akal" aku tersenyum getir.
"Mohon maaf nih bro. That's why gue kaget banget waktu lo putusin buat nikahin Wizi. Dari awal lo pacaran sama dia, gue juga gak setujukan? Karena gue tahu, Wizi itu kaya gimana" aku kembali terdiam.
"Gue bukannya mau ngelarang lo. Tapi sebagai sahabat lo, dari SMA, gue juga punya hak untuk mastiin kalo sahabat gue hidupnya bahagia. Lo udah dewasa, gue juga gak mau ngedikte lo kaya anak SD yang baru belajar baca. Mestinya lo sadar dari dulu, ada yang lebih baik dari Wizi."
Tak bisa berkata-kata. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tapi apakah memang ada wanita lain yang lebih dari Wizi?
"Siapa?" Tanyaku keras.
"Kira" jawabnya singkat.
"Kira itu sahabat gue Yan. Sahabat lo juga. Kenapa Kira?"
"See? Lo udah buta ya Zan. Sekarang gue tanya, siapa yang selalu ada dari dulu sampe sekarang disaat lo butuh? Siapa yang dari dulu selalu dengerin curhatan-curhatan lo? Siapa yang dari dulu rela bantuin lo dalam keadaan apapun?"
"Siapa lagi kalau bukan Kira.. Udah cukup lo bikin Kira susah Zan. Udah cukup lo bikin Kira nangis hampir tiap malam. Kira sayang sama lo dari dulu. Tapi lo gak pernah sadar."
Aku merasa frustasi. Entah cobaan apalagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend In Comfort Zone
ChickLit"Aku kenal dia jauh sebelum kita ketemu. Jadi aku harap kamu gak usah terlalu berlebihan mencemburuiku."-Firzan "Kadang aku merasa ingin menyerah untuk menjaga hatiku. Menyerah untuk menang."-Wizi "Aku menyukaimu tanpa kamu perlu tahu."-Kira #2 - ch...