Hari ini aku dan Wizi kembali mencari gaun pengantin untuk kami. Pukul tujuh pagi aku sudah berada di depan rumah Wizi. Untungnya wajahnya hari ini terlihat lebih cerah. Mudah-mudahan moodnya pun secerah wajahnya hari ini.
Kalau kemarin kami memutuskan untuk sarapan di luar, sekarang Wizi yang sudah menyiapkan sarapan untukku. Ini terasa seperti sepasang suami istri yang setiap paginya akan selalu sarapan bersama di ruang makan sebelum berangkat bekerja. Bayangan itu sekelebat terlintas di otakku. Tak sabar rasanya.
Kini, aku dan Wizi sudah berada di salah satu butik bridal milik temannya. Wizi bilang, kalau dia menyukai hasil rancangan temannya dan harganya tentu saja bisa dinego. Akupun menyetujui. Tak ada salahnya mengikuti saran yang baik.
"Haiii...." kami disambut oleh Olive, teman Wizi semasa SMA. Hampir tiga tahun Olive membuka butik bridalnya. Aku memang kurang mengenal Olive, lagian Wizi juga tidak pernah mengenalkannya kepadaku.
"Haaaiiiii...." Balas Wizi sambil berlari kecil memeluk Olive.
"Ooh jadi ini calon pengantin kita. Cucok deh calon laki lo."
"Iya doong. Gue gitu. Udah ah, gue gak sabaran liat gaunnya." Ucap Wizi.
"Peach and white. Follow me."
Aku dan Wizi mengikuti kemana Olive berjalan. Butik milik Olive memang tidak terlalu besar, tapi jika dilihat gaun rancangannya memang terlihat indah. Terserahlah. Semua ku serahkan pada Wizi.
Kami berhenti di salah satu bilik yang tak cukup besar. Disana tergantung sepasang gaun peach mengembang dengan aksen brukat bunga putih di bagian dadanya. Dan tuksedo hitam dengan aksen peach di bagian kerahnya. Dan yang satunya kebaya brukat putih dengan batik berwarna keabu-abuan, serta kemeja dan jas putih sebagai pasangannya. Setelah fitting, akhirnya Wizi menyetujui untuk memilih gaun-gaun yang telah di pilihkan oleh Olive.
Mereka kembali berbincang, memastikan gaun-gaun tersebut akan dikirimkan kapan dan bagaimana pembayarannya.
Oke baiklah, satu masalah teratasi. Wizipun terlihat senang dengan rancangan temannya. Kini saatnya kami mengunjungi katering yang sudah kami janjikan sejak minggu lalu.
Tak banyak berbincang. Keadaan diatas mobil ini sungguh kikuk. Aku merasa ada yang aneh. Akhir-akhir ini kuperhatikan seperti ada sesuatu yang memecah perhatian Wizi. Ia selalu saja sibuk dengan ponselnya, walaupun sedang bersamaku. Tapi pikiran itu kutepis. Mencoba untuk menenangkan diri dan menghindari konflik dengannya.
Aku menoleh kekiri. Wizi masih saja asik dengan telepon selulernya. Entah apa yang ia kerjakan. Mungkin sedang berselancar di instagramnya. Seperti perempuan kebanyakan yang selalu haus akan gosip para artis dan selebritis favoritnya.
"Pengennya nanti makanan apa aja?" Aku membuka percakapan.
"Yang pasti ada lontong medan ya" jawabnya sambil tersenyum. Sungguh manis.
"Terus apa lagi?" Wizi masih saja asik dengan ponselnya.
"Hmm? Apa?" Jawabnya tak konsentrasi.
"Kamu maunya apa lagi selain itu?"
"Apa aja deh yang penting enak dan ada lontong medannya."
"Yakin gak mau yang lain?" tanyaku sekali lagi.
"Iya udah itu aja."
Dua puluh menit selanjutnya kami sudah berada di depan parkiran tempat kami akan memakai jasa katering. Kata orang memang masakan katering disini enak. Dan juga beberapa masukan dari teman, maka aku dan Wizipun sepakat.
Di sebuah meja besar sudah di hidangkan bermacam lauk pauk, kuih muih, dan beberapa makanan pendamping lainnya. Seperti soto, sate padang, sate madura, pempek, empal gentong dan lontong medan. Kami mencicipi masing-masing masakan yang sudah disediakan.
"Yang kayanya enakan ayam saus tiramnya deh" Bisikku pada wizi.
Wizi tetap sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah apa itu. Dia masih saja terlihat tidak fokus dan terkesan biasa saja atas semua makanan yang telah dicicipnya sedari tadi.
"Aku lebih mau ayam pedas manis" jawabnya singkat.
"Tapikan udah ada udang yang pedes. Masa ambil yang pedes lagi?"
"Ya kalo gitu ambil dua-duanya aja." Jawabnya ketus.
"Satu aja yang, kalo dua-duanya orang bakal bosen. Kan sama-sama ayam."
"Terserah kamulah. Aku maunya ayam pedas manis pokoknya."
"Yaudah, ayam pedas manis. Terus yang manisnya apa?"
Wizi semakin terlihat ogah-ogahan mencoba makanan yang tersisa di ujung meja. Akupun lelah untuk menahan sabarku di depan orang-orang, para pelayan katering. Sungguh aku sudah Bosan. Terseralah maunya bagaimana. Setelah ini aku tidak akan ikut campur lagi.
Pada akhirnya setelah menentukan beberapa makanan untuk di hidangkan di pernikahan kami, aku memilih untuk mengajak Wizi pulang. Sejujurnya aku mulai bertanya-tanya akan apa yang terjadi dengan Wizi. Aku selalu merasa ada yang tidak beres ketika dia selalu saja sibuk dengan ponselnya. Mungkin akhir-akhir ini aku mencoba untuk menghindari konflik dengannya, tapi aku tidak bisa menghindari konflik dengan diriku sendiri. Ingin sekali rasanya bertanya mengapa persiapan pernikahan ini sepertinya hambar dan enteng saja olehnya. Aku mencoba mengurut dada. Bersabar demi niat dan tujuan baikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend In Comfort Zone
ChickLit"Aku kenal dia jauh sebelum kita ketemu. Jadi aku harap kamu gak usah terlalu berlebihan mencemburuiku."-Firzan "Kadang aku merasa ingin menyerah untuk menjaga hatiku. Menyerah untuk menang."-Wizi "Aku menyukaimu tanpa kamu perlu tahu."-Kira #2 - ch...