12

71 4 0
                                    

Patah hati tentu pasti. Bagaimana tidak, ia memutuskan untuk yidak melanjutkan pernikahan yang tinggal sebentar lagi. Semua persiapan sudah enam puluh lima persen rampung. Jika ditanya sisanya, tentulah Wizi yang ada disana. Mulai dari semua kebutuhannya di hari bahagia tersebut. Tapi lihatlah sekarang, firzan yang melajukan mobilnya penuh dengan emosi. Sesekali ia memukul roda kemudi yang ada ditangannya. Amarah bercampur kesedihan. Sungguh dalam sakit hati yang dirasakan firzan. Tapi jika bukan karna Kira dan Lian, entah apa jadinya rumah tangganya kelak. Mungkin saja hingga saat itu wizi berlagak seperti tidak ada apa-apa, tapi diluar sana, ia membagi hatinya untuk pria lain. Itu lebih tidak bisa ditoleransi firzan. Lebih baik tahu duluan dari pada setelah semuanya terjadi.

"Yan, gue mau ketemu lo." Firzan membelokkan mobilnya ke salah satu tempat yang mungkin akan membuat rasa sakit hatinya sirna begitu saja. Ia mengirimkan lokasi terkini kepada lian, dan berharap pria itu datang tepat waktu.

Entah setan apa yang merasuki otak firzan saat ini. Ia duduk disebuah bar dan menenggak loki alkoholnya yang ke tujuh. Kepalanya mulai berat, perkataannya mulai meracau tak jelas. Padahal baru dua puluh menit ia berada disini. Firzan memang bukan lelaki alim yang taat akan agama. Tapi ini baru kali pertama baginya menyentuh minuman haram tersebut.

Lian menyisir ke segala penjuru bar. Ia berharap firzan baik-baik saja. Sudut matanya mengarahkan langkahnya menuju lelaki tersebut, dan benar saja firzan sudah mabuk berat. Lian membayar minuman tersebut, dan segera membawa firzan keluar dari tempat ini. Diletakkannya lengan firzan di bahunya, lalu ia merangkul sahabatnya tersebut dan berjalan keluar menuju mobil untuk meninggalkan tempat haram ini.

"Gue benci sama lo wizi! Perempuan kurang ajar! Gue kurang apa buat lo?" Firzan memaki tak karuan. Air matanya jatuh begitu saja. Sesekali suaranya sendu, meracau tak jelas. Lalu tiba-tiba Ia berteriak begitu keras, mengumpat atas apa yang telah terjadi di hidupnya. Lian yang mengemudikan mobil hanya bisa diam, dan berharap sahabatnya ini baik-baik saja, walaupun Ia tahu itu tidak mungkin.

                           ********

Firzan mengerjap, kepalanya terasa berat dan pusing. Kamarnya remang akan cahaya matahari yang masih di tutupi gorden kamarnya. Bajunya masih lengkap, persis seperti semalam yang dikenakannya. Hanya saja, kini ia terbangun diatas ranjang dikamarnya dengan selimut menutupi setengah badannya.

Firzan berusaha untuk bangkit tapi ia masih saja merasakan pening yang hebat. Ia tak pernah berpikir bahwa apa yang dilakukannya se malam berakibat tak baik bagi dirinya. Ia mengerjap sekali lagi, dan melihat seorang wanita tertidur di samping ranjangnya, sementara di sofa sana Lian, pun tertidur dengan mukanya yang lelah.

'Ya Tuhan. Apa yang sudah kulakukan?' Bisiknya dalam hati.

Firzan mengelus rambut wanita itu. Kini ia paham benar apa yang dikatakan Lian, bahwa Kira, sahabatnya yang tak pernah meninggalkannya dalam  keadaan apapun. Ia sadar, seharusnya Kiralah orangnya, bukan Wizi. Terkadang cinta saja tak cukup, butuh otak juga untuk membuat manusia tak terjerumus akan cinta.

Kira terbangun, merasakan ada sesuatu yang mengelus rambutnya. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Firzan sudah duduk di sampingnya.

"Zan, yeah bangun?" Firzan hanya mengangguk. Kira segera mengambil segelas air minum diatas nakas dan memberinya pada firzan.

"Minum dulu, biar badannya enakan." Firzan tak menolak, ia melihat ketulusan dari sorot mata Kira. Hatinya luluh, ia merasa bersalah, bahkan berdosa karena menyia-nyiakan sahabatnya sendiri.

"Ki, gue minta maaf." Firzan menggenggam tangan Kira erat. Air matanya mulai jatuh lagi, entah mengapa.

Kira yang hanya tersenyum, melepaskan genggaman tangan firzan. Ia membantu lelaki tersebut untuk kembali beristirahat. "Tidurlah, kalau udah enakan baru kita bicara." Firzan tak bisa menolak. Ia hanya mengikuti perintah Kira.

Friend In Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang