5

102 9 1
                                    

"Aku lebih suka yang putih deh." Ucapku pada Wizi. Memang dia akan terlihat cantik mengenakan warna apapun karena kulit putihnya. Tapi coba di hari bahagia nanti, kami mengenakan pakaian serba putih. Wizi dengan dress atau kebaya putihnya, dan aku dengan tuxedo putihku. Tidakkah kami akan terlihat sangat serasi? Bahan menurutku warna Putin juga akan memberikan kesan suasana yang khidmat. Sedangkan untuk para undangan, diberikan dress code berwarna apapun yang Wizi suka. Terserah.

"Tapi aku lebih suka warna peach-nya." Rengeknya.

"Putih lebih sakral sayang. Atau kita bikin dua gaun saja? Satu untuk resepsi, dan satunya untuk akad." Wizi sepertinya memikirkan perkataanku.

"Ya sudah, mending kita cari di tempat lain" ucapnya.

Aku hanya terdiam. Bukankah yang menginginkan untuk fitting baju pengantin disini itu Wizi? Lalu mengapa harus berpindah-pindah kalau memang disini sudah ada? Terkadang aku bingung dengan wanita. Mereka selalu ingin dimengerti. Tapi mereka tidak pernah berbicara tentang apa yang mereka inginkan. Memangnya kami para lelaki bisa menebak isi pikiran mereka? Tidak. Tidak bisa menebak jika mereka tidak memberi tahu.

Aku dan Wizi berpindah dari butik satu ke butik lainnya. Memilah dan memilih baju mana yang akan kami kenakan. Tapi tetap saja Wizi tidak memilih satupun diantara gaun-gaun dan kebaya indah tersebut. Apa salahnya memilih satu diantara sekian banyak pilihan. Yakinkan dan pilihlah yang mana di suka. Bahkan aku menyuruhnya bukan memilih satu, tapi dua.

"Yang ini bagus kok Yang." Ucapku sambil memegang salah satu gaun berwarna peach dan satunya lagi kebaya berwarna putih.

"Gak ah, aku aku gak suka modelnya. Lehernya terlalu lebar. Gimana kalau kita liat di tempat lain aja?" ucapnya lagi.

Kubuang nafas dengan berat. Beginikah yang dikatakan cobaan saat akan menikah? Ada-ada saja cobaannya. Mulai dari hilang kepercayaan, susahnya memilih baju, lalu apalagi selanjutnya? Catering? Undangan? Gedung? Cake? Sebutkan. Biar aku bisa tahu dan sabar menghadapi ini semua.

Total sudah enam butik yang kami kunjungi hari ini. Tapi tetap tak ada satupun yang akhirnya di pilih Wizi. Ah, sungguh, aku kesal. Jadi selama satu hari ini terbuang sia-sia hanya untuk melihat-lihat dan mengunjungi butik saja. Harusnyakan semua yang sudah direncanakan akan berjalan lancar. Hari ini fitting baju, besoknya katering, lalu memesan wedding cake, dan hari selanjutnya mengurusi segala printilan-printilan untuk pernikahan kami. Tapi yang kusimpulkan saat ini malah sepertinya Wizi terlihat ogah-ogahan.

"Jadi?" Tanyaku sabar.

"Apa?" Balasnya.

"Jadi gimana gaunnya? Gak ada yang cocok?"

"Gak ada. Udah ah, kita pulang aja. Aku lagi gak mood." Jawabnya ketus.

Aku mengerutkan kening. Kenapa rasanya aku yang terkesan sibuk mengurusi pernikahan ini? Sementara dia? Tidak sama sekali. Bukankah yang paling lebay dalam mengurusi pernikahannya biasanya adalah para wanita? Tapi ini? Ah terserahlah. Aku bosan.

Aku memutar kemudi berbalik arah menuju arah rumahnya. Tak mau bertanya lebih banyak, karena kulihat suasana hatinya memang sedang tidak bagus. Dari pada masuk ke kandang macan, lebih baik aku mundur dan pulang ke rumah.

Friend In Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang