3

123 15 0
                                    

Aku menunggu disini, diparkiran kantornya yang mulai terlihat sepi. Sudah hampir pukul 17.30 wib tapi dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Dua jam menunggu, dan aku berharap Wizi belum keluar dari gedung pencakar langit ini. Ingin rasanya untuk mengetik pesan atau sekedar bertanya lewat telepon, tapi gak mungkin. Aku takut di cap "gak percayaan" sama pasangan sendiri.

Lelah dan gelisah. Hanya dua kata itu yang dapat kugambarkan saat ini. Lampu-lampu jalan sudah mulai terang. Kendaraan yang berada di area parkir inipun sudah jauh berkurang. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 wib. Rasanya sudah tak tahan, ingin menjemput Wizi dari dalam kantornya. Dengan sigap aku membuka sit belt dan membuka pintu mobil. Saat ingin meninggalkan mobil aku melihat Wizi berjalan keluar pintu kantornya. Aku memanggil dan melambai kearah Wizi. Tanpa ada senyum cerianya sedikitpun, Wizi berjalan kearahku.

Kami hanya berteman diam dan lagu-lagu sendu yang entah mengapa menjadi playlist di radio swasta kota ini. Aku mengarahkan Mobil ke salah satu cafe yang cukup sepi. Karena aku rasa privasi penting untuk saat ini. Mobil terparkir dengan dengan rapi. Aku dan wizi turun dan memasuki pintu cafe. Memilih tempat yang sedikit tersembunyi, lebih tepatnya di taman belakang dengan cahaya remang yang berasal dari lilin dan beberapa lampu taman. "Kamu mau makan apa?" Aku bertanya sekedar membuka percakapan kami.

Masih diam. Wizi lebih memilih untuk memesan makanan dan minumannya langsung kepada pelayan cafe tersebut. Hampir Lima menit hingga hidangan kami tersedia di meja, aku dan wizi masih bertahan dalam keheningan. Suara jangkrikpun terasa seperti mengejek akan kediamanku saat ini.

"Jadi kita mau diem terus kaya gini Zi?" Ucapku tak tahan.

"Aku merasa aku gak punya salah. Jadi ngapain aku yang harus memulai?" Astaga dia terlalu ketus. Dia gak seperti Wizi yang kukenal. Ada apa ini?

"Kamu masih marah karena Kira?"

"Menurut kamu?"

"Menurut aku iya. Kamu tiba-tiba aneh. Kamukan tahu dia cuma temen aku." Ya Tuhan, sungguh wanita adalah makhlukMu yang paling sulit untuk dimengerti. Mungkin benar yang orang-orang bilang. Kucing memang kucing, tapi dia masih punya darah harimau di tubuhnya.

Suasana kembali hening.

"Aku minta maaf kalau kedekatan aku sama Kira selama ini bikin kamu risih. Tapi aku berani sumpah kalau aku sama Kira cuma sahabat Zi, gak lebih. Sama kaya aku sahabatan dengan yang lainnya."

"Bullshit. Gak ada yang namanya sahabat antara cowo dan cewe Zan. Aku tahu itu. Aku tahu mata itu. Aku ini cewek. Kalaupun kamu gak ada rasa buat dia, tapi dia punya rasa yang besar buat kamu. Naluri cewek gak bisa dibohongin. Semuanya jelas terbaca. Kalau kamu mau, aku minta kamu gak berhubungan lagi sama dia. Dan kalau kamu sudah penuhi itu, kamu bisa kembali ke aku dan aku akan terima itu."

Wizi pergi meninggalkan aku yang hanya duduk terdiam atas apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Sebesar itukah kadar cemburunya kepada Kira?

Aku tersentak melihat Wizi semakin menghilang dari pandanganku. "Firzan bodoh! Kejar dia!" Maki hatiku.

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu rupiah dan meletakkan di atas meja. Aku segera berlari keluar menyusul wizi. Mudah-mudahan dia belum terlalu jauh.

Aku mencoba mengejar Wizi. Wanita ini sungguh berbeda dari perempuan kebanyakan. Cemburunya berlebihan bahkan bisa di bilang sangat posesif. Mungkin ini cara Tuhan membuatku untuk lebih mengenal calon istriku sendiri. Setelah yang baik-baiknya, kemudian yang buruk-buruknya. Dan kini niatku diuji. Apakah memang benar aku bisa secinta ini dengan Wizi?

Aku mencoba untuk menghubungi Wizi. Beberapa kali tetap saja terdengar pesan otomatis yang menandakan ponselnya sedang dalam keadaan mati. Cukup jauh aku mengejarnya, tapi aku tidak menemukannya. Aku takut jika terjadi apa-apa dengannya.

Friend In Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang