1. Haruskah?

1.2K 151 41
                                    

Semua kalimat yang di ucapkan Ayahnya tadi malam masih terngiang di telinganya, rasanya hatinya seketika langsung patah saat ia menatap wajah Arin, kakaknya.

"Aku suka sama kak Haya." ucapan lemah dengan wajah menunduk membuat Arum merasakan kalau dadanya terasa sangat sesak.

Arin yang selalu mendukungnya dan tersenyum tulus saat melihatnya bersama Hayam Wuruk, lelaki pujaannya.

Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini kalau di tikung sahabat tetapi yang Arum alami dan rasakan sekarang malah di tikung kakaknya sendiri.

"Papa bukan tidak merestui kamu dan Haya, Arum. Tapi keluarga Haya menjatuhkan pilihan mereka untuk melamar Arin," Abraham, ayahnya Arum berkata.

"Kenapa kak Arin enggak menolaknya?" Arum menatap Arin dengan mata memerah.

"Karena aku juga menyukai kak Haya," Arin menjawab. "Rasanya juga sakit saat melihat Haya dan kamu yang selalu bersama, menyukai dalam diam itu sakit Arum."

Arum menengadahkan wajahnya menahan air matanya yang bersiap untuk keluar, rasanya sakit.
Dari semua orang yang memperlakukannya dengan buruk, hanya Arin yang selalu menganggapnya ada. Tetapi sekarang rasanya ia bagai di terbangkan tinggi lalu di jatuhkan begitu saja.

"Aku harus mengalah?" Arum bertanya.

"Maaf Arum." Jawaban Arin membuat Arum menatap kakaknya itu tajam.

"Kata maaf memang gampang di ucapkan tapi apa Kak Arin tahu rasanya menjadi orang yang mema'afkan?" Balasan Arum membuat Arin terdiam.

"Cukup Arum!" Abraham menengahi. "Kamu harusnya sadar posisi kamu di rumah ini, keluarga Haya itu orang terhormat jadi Papa mohon sama kamu tolong mengerti!"

Arum menunduk.

***

Arum menarik napasnya dan menatap pantulan dirinya di cermin riasnya.

22 tahun hidupnya dan cinta pertamanya akan di rebut begitu saja oleh kakaknya sendiri, mengingatnya saja Arum tidak sanggup, apa lagi harus melihat kedua orang itu bersanding dan saling bertukar cincin di hadapan orang banya.

"Kalau mencari yang ganteng kayaknya banyak yang lebih tapi bukan fisik dan materi yang bikin lo begini Rum." Suara lembut membuat Arum berbalik menatap Bunga, sahabatnya.

Arum menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis terisak.

"Sakit, dada gue rasanya sakit banget." Arum berkata dalam isak tangisnya. "Sebulan lagi Haya nikah."

Bunga membawa Arum ke pelukannya.

"Gue yakin lo kuat." Bunga mengusap punggung Arum.

"Hari ini pertunangan Kak Arin, Haya bahkan enggak bilang apa pun sama gue. Sakit banget di khianati keluarga sendiri, gue salah apa Nga?" Arum bertanya.

"Lo enggak salah. Mereka yang salah." Bunga menjawab.

"Semuanya salah, gue tulus sama kak Haya, gue cinta sama dia. Kenapa restu enggak berpihak sama gue, kenapa?" Arum semakin terisak kencang. "Kenapa gue enggak tahu apa pun, kenapa gue enggak tahu kalau mereka akan tunangan, kenapa semuanya jahat banget bohongin gue."

Bunga ikut menangis melihat sahabatnya sejak kelas sepuluh SMA itu menangis karena kehilangan cinta pertamanya. Bunga bahkan masih ingat bagaimana Arum menceritakan rencana masa depannya bersama Haya, tetapi lelaki itu tega mengkhianati Arum. Lelaki yang tidak punya pendirian untuk mempertahankan Arum atau sekedar untuk membela Arum.

***

Setelah menghabiskan hampir satu jam ia menangis di kamar bersama Bunga, kini Arum harus kembali menahan air matanya saat mata tajam Haya yang menatap sendu ke arahnya. Ada raut wajah sedih dengan mata yang juga memerah karena rasanya Haya pun tidak sanggup meninggalkan Arum begitu saja, ia ingin berjuang untuk gadis secantik Arum tetapi tuntutan keluarganya membuat ia terpaksa memilih bersama Arin.

Calon Suami ArumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang