13. Ingin melamar

550 103 34
                                    

......

Raskha menoleh ke arah Arin yang sekarang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Raskha tidak tahu kenapa ia bisa terjebak dengan kakaknya Arum hari ini, karena senyum manis Haya pada bundanya agar menolongnya meantar Arin untuk memeriksa persiapan gedung pernikahan, sedangkan Haya pergi untuk bertemu beberapa orang penting di perusahaan. Raskha memijat pelan pangkal hidungnya sambil menyetir.

"Maaf." Arin bersuara.

"Yang salah calon suami lo." Raskha menjawab.

"Kamu sama Arum, bicaranya sopan ya." Arin tersenyum miring.

"Ya terus? Lo dan Arum beda." Raskha mendengus.

"Kenapa enggak dari dulu kamu rebut Arum dari Haya?" Arin menatap kesal, tidak mungkin Raskha baru saja menyukai Arum. Arin yakin lelaki di sebelahnya itu sudah lama menyimpan perasaan untuk Arum.

"Gue cowok terhormat yang enggak akan mengorbankan orang lain demi kebahagiaan diri sendiri. Memangnya sekarang lo bahagia sudah merebut Haya dari Arum?" Raskha menyeringai.

"Aku enggak merebut Haya." Arin menatap tajam.

"Udah Rin, gue tahu kok yang sebenarnya gimana. Tapi ya sudahlah, lagian sekarang lo sudah sama Haya, jadi gue harap kalian enggak ganggu Arum lagi!" Kali ini Raskha yang menatap tajam.
Arin mendengus, ia kesal. Dari dulu selalu Arum yang lebih di sukai orang-orang. Arum yang manis dengan senyum lebarnya dan Arum yang mudah bergaul, Arum yang lebih kuat secara fisik, Arum yang lebih tinggi, Arum yang pintar. Semuanya selalu tentang Arum walaupun dalam keluarganya Arum selalu di kucilkan. Sesekali Arin berpikir Apa akan berbeda kalau ia yang di posisi Arum.

***

Arum bingung sekarang, ia baru saja pulang bekerja dan Shehzel hanya duduk dengan tenang sambil menggambar di depan televisi. Shehzel tersenyum melihat Arum dan lanjut menggambar. Arum melangkahkan kakinya dengan kening berkereut mendekati Shehzel dan duduk di sofa. "Tumben enggak meluk?"

"Papa bilang, jangan peluk Mama untuk sementara waktu." Shehzel menjawab.

"Kok gitu? Boleh peluk kok." Arum semakin mengerutkan keningnya.

"Nanti adik di dalam perut sesak kata Papa." Jawaban Shehzel berhasil membuat Arum membulatkan matanya kaget. Sejak kapan ia hamil anak Bosnya?

"Zel, Mama enggak hamil, enggak ada adik di perut." Arum menjawab.

"Zel boleh peluk Mama? Terus adiknya kapan jadinya? Papa 'kan sudah beli telur dan tepung yang banyak." Shehzel mengerucutkan bibirnya.

"Kita pinta Papa adopsi kucing buat teman main di rumah mau?" Arum membawa Shehzel ke pelukannya. Shehzel dengan wajah cemberutnya mengangguk. "Sayang Shehzel, jangan manyun. Nanti kalau manyun aku gigit."

"Zel juga sayang Mama." Shehzel tersenyum lebar.

"Izel lanjut ngegambar dulu, Mama mau mandi dan ganti baju terus masak makan malam." Arum melepas pelukannya.

"Iya, nanti Izel bantu ya Ma." Shehzel membalas. Arum mengangguk lalu bangun dari duduknya dan masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.

Setengah jam berlalu, Arum keluar dengan keadaan lebih segar. Gadis itu mengenakan baju kaos oversize berwarna putih dan celana panjang berbahan kain dengan motif kartun. Arum berjalan dengan cepat ke arah Shehzel yang tersenyum melihat gambarnya. Anak kecil itu mendongak dan tersenyum dan memperlihatkan gambar sebuah keluarga bahagia. Arum menghela napas pelan, ia ingat dulu ia juga menggambar sebuah keluarga tetapi gambarnya di rusak oleh ibu tirinya.

"Ini Mama, Papa dan Izel." Shehzel berkata.

"Duh, Shehzel besarnya bisa jadi seniman dong. Gambarnya bagus banget, mama cantik disini." Arum memuji. Shehzel tertawa dengan pipi memerah karena malu.

Calon Suami ArumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang