Sup Pahlawan Ayah.

5 1 0
                                    

     Pagi ini tumben sekali aku tidak mendengar suara gedoran pintu oleh ayah. Aku bangkit dari kasur, merapikan rambutku, dan pergi beranjak menuju dapur untuk mengambil minum.

     Begitu memasuki dapur, aku melihat ayahku yang memakai kaos dan celana serta apron yang melekat tengah mengaduk-aduk sesuatu di atas panci. Bodohnya aku malah bertanya, "Ayah sedang apa?" Jelas sudah kalau ayah sedang memasak.

     Ayahku menoleh, "Lagi memasak. Kamu lapar? Tunggu dulu ya, sebentar lagi supnya akan matang."

     Aku menarik salah satu kursi meja makan dan duduk di atasnya sambil meneguk segelas air putih yang baru saja aku ambil dari dispenser.

     Kelihatan sekali bahwa saat ini ayah tengah mencicipi sup yang dimasaknya sambil tersenyum. "Sempurna."

     Setelah itu ia mematikan kompor dan mengangkat panci lalu memindahkan isinya ke atas dua buah mangkuk. Ia mengambil dua mangkuk stainless yang ukurannya lebih kecil. Kalian pasti familiar dengan mangkuk stainless itu. Hei, siapa sih yang tidak tahu mangkuk ala-ala drama korea? Benar, itu korean rice bowl alias mangkuk nasi korea.

     Sup dan nasi telah dihidangkan di hadapanku. Sedangkan ayah memasukkan empat buah roti tawar ke dalam pemanggang. Eh, untuk apa memanggang roti kalau sudah ada sup dan nasi ini?

     Ayah duduk di hadapanku. "Ayo, dimakan. Rasanya enak kok."

     Aku mengangguk. Mengambil sendok untuk mencicipi kuah sup yang berwarna kemerahan itu.

     Ayah masih saja duduk sambil tersenyum. "Bagaimana rasanya?"

     Jujur, sup ini rasanya sangat pedas. Aku pikir warna merahnya tidak akan menimbulkan rasa pedas. Ternyata aku salah. Rasanya sangat pedas. Berapa banyak cabai yang ayah pakai untuk membuat sup ini?

     Ting! Rotinya sudah matang. Ayah bangkit dan mengeluarkan empat buah roti itu dari pemanggang. Di oleskannya selai kacang di atas empat buah roti tersebut. Bersyukurlah diriku, masih ada roti yang bisa kumakan ketimbang memakan sup pedas buatan ayah. Kuharap ayah tidak marah ketika aku tidak memakan supnya atau mungkin berkata jujur kalau supnya benar-benar pedas.

     "Lho Ndra? Supnya kok enggak dimakan? Makan dong. Ayah udah ngabisin banyak cabai. Cabai lagi mahal," tanya ayah begitu meletakkan dua buah piring dengan roti di atasnya.

     "Supnya pedas banget yah. Nindra enggak suka, terlalu pedas. Lagian udah tahu cabai lagi mahal malah pakai banyak cabai."

     Tampak sekali ayah menghela nafas. "Ya udah, tapi emang jujur supnya pedas banget sih. Tapi bagi ayah enak kok. Karena enggak pedas enggak best. Tapi kalau terlalu pedas, sayang cabai juga sih. Soalnya kan lagi mahal."

     "Pakai saos sambal yang di pasaran kan bisa."

     "Halah, itu mah enggak kerasa pedas sama sekali. Lebih enak sambal ulek cabainya yang banyak. Mantap," ujar ayah lalu menyendokkan nasi dan sup ke mulutnya.

     "Pakai boncabe aja deh yah. Yang level tigapuluh. Kalau ayah sampai bilang enggak pedas, Nindra acungi jempol. Pantas dapat nobel."

     Kening ayah mengernyit. "Boncabe? Yang di televisi itu kan?"

     "Iya. Coba aja yah. Entar pecahin rekor kalau rasanya enggak pedas."

     Ayah tergelak. "Ada-ada aja kamu Ndra."

     Ayah kembali menatapku yang sama sekali tak menyentuh nasi dan sup buatannya lagi.

     "Kamu enggak makan Ndra?"

Kumpulan Cerita Pendek.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang