Ini adalah kisah ku beberapa tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. Aku sekolah di salah satu SMA Negeri di ciamis. Tapi bukan di sekolah tempat ayah ku bekerja.
***
Matahari sudah menyuruh ku untuk bangun. Ku lirik jam sudah jam 06:08. Tapi badan ku masih saja malas untuk bergerak.
“Mei!!!” itu adalah ibu. Alarm setia ku setiap pagi.
“Iya bu, aku bangun!!” Jawab ku agak sedikit teriak karena jarak aku dan ibu yang terbilang jauh.
Aku berjalan malas ke kamar mandi, menggosok gigi sambil bercermin melihat wajah ku yang menurutku biasa saja. Mata yang agak sipit, hidung yang tidak begitu mancung, dan mulut yang kecil, sedikit lebar jika aku sedang teriak.
Ingat cerita ibu saat aku kecil dulu. Ibu bercerita tentang mata ku yang sipit. Padahal di keluarga kami tidak ada yang mempunyai mata sipit.
“Bu, kenapa mata ku sipit? Sedangkan mata ayah dan ibu enggak.” Kata ku protes. Ayah hanya tersenyum sambil melahap roti bakarnya. Karena saat itu kami sedang berada di meja makan.
Ibi sedikit terkekeh dan itu membuat ku kesal.
“Ceritanya dulu, ibu pas hamil kamu.” Ibu mulai cerita dan aku sngat antusias mendengarkannya “pas hamil kamu, ibu ngeledek teman ibu yang keturunan Cina, matanya sipit tapi dia juga cantik. Eh pas kamu lahir dan mulai besar, mata mu ikutan sipit juga.” Jelas ibu di susul tawanya yang membuat ku manyun seketika.
“Aku gak pede sama mata ini.” Kata ku. Ibu dan ayah langsung berhenti tertawa.
“Kenapa Mei?”tanya ayah.
Aku hanya menggeleng.
“Kamu tetap cantik sayang. Banyak di luar sana yang pengen sipit.” Tutur ibu “cantik itu tidak hanya di lihat dari penampilan luarnya saja nak, tapi dari hati nya. Mei kan baik, nurut sama orang tua, berarti Mei cantik. “
Ibu selalu saja bisa membuat ku tenang dan mengembalikan rasa percaya diri ku yang sudah mau hilang.
Setelah selesai mandi dan memakai seragam. Ku tatap cermin lekat-lekat. Ku lihat wajah ku, tapi tidak ada yang aneh dari ku. Kenapa aku selalu berfikir kalo aku itu beda dari teman-teman ku yang lain. Aku poles sedikit wajah ku dengan bebak baby dan sedikit lip gloss agar bibir ku tidak terlihat kering.
“Katanya kamu harus berangkat sekolah pagi.” Kata ibu saat melihat ku sudah duduk di meja makan.
Aku mengingat-ngingat apa acara ku pagi ini sambil menyantap roti bakar kesukaan ku.
“Ada acara apa Mei?” tanya ayah.
“Oh iya, aku panitia porseni. Harus berangkat pagi, kalo enggak aku kenah marah senior yang jutek itu.” Seru ku dengan mulut yang masih penuh. Aku bergegas pamit pada ayah dan ibu. Untung motor ku sudah di siapkan di depan sama Pak Aan. Pak Aan itu supir pribadi kami. Biasanya Pak Aan suka antar jemput Ayah dan ibu ke sekolah.
Di kepala ku sudah terbayang gimana si Juli senior ku itu marah-marah. Marah-marah nya sih tidak seberapa tapi kebiasaan buruk nya itu selalu bikin orang-orang yang tidak dia suka malu.
Setelah sampai di sekolah, ku parkirkan motor ku dan bergegas berjalan ke ruang panitia. Karena menyambut hari kemerdekaan, di sekolah di adakan porseni antar kelas dan tidak di lakukan kegiatan belajar mengajar.
Kalo lagi buru-buru, dari tempat parkir sampai ke ruang panitia itu rasanya jauh banget.
Saat sedang buru-buru, “bluk!” aku menabrak seseorang, kami berdua sampai terjatuh.
“Aduh maaf ya, aku gak sengaja.” Tutur ku gugup. Aku tidak berani melihat wajahnya karena takut dia marah. Di lihat dari penampilannya dia laki-laki, siswa, karena mengenakan celana abu-abu dan baju putih yang di keluarkan.
Karena lama tidak menjawab, aku penasaran. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Saat ku lihat dia tersenyum simpul pada ku. Aku langsung saja bangkit dan menunduk lagi. Aku benar-benar tidak percaya diri. Aku malu. Apa lagi dia cukup tampan menurut ku.
“Buru-buru?” tanya Laki-laki itu dan aku mengangguk.
“Ya udah silahkan kalo buru-buru.”katanya lagi.
“Maaf ya.” Tutur ku sambil berlalu.
“Jalannya jangan nunduk nanti nabrak orang lagi!” seru nya pas di dekat telinga ku saat aku melewatinya. Dalam hati aku tersenyum. Entah apa yang ku rasakan. Setelah beberapa saat aku larut dalam perasaan ku. Aku mulai teringat lagi si Juli yang cerewet itu. Dan ku percepat langkah ku.
“Meilisa!” seru Juli saat aku sampai di ruang panitia. Sudah berkumpul semua ternyata.
Juli menghampiri ku dan dia menatap ku tajam.
“Telat 15 menit dan lo gak ikut meeting.” Tutur Juli dengan nada kesal.
“Maaf.” Hanya itu yang bisa ku ucapkan.
“Lo udah bikin gue kesel. Awas aja nanti.” Bisik Juli tepat di telinga ku.
“Udah buruan siap-siap semuanya buat acara pembukaan porseni. Inget tugas-tugasnya yang udah kita bicarain tadi.” Seru Juli.
Dan aku lega. Juli tidak marah-marah seperti biasa. Mungkin dia tadi pagi makan timun jadi darahnya turun.
“Lo kemana aja sih Mei?” tanya Sandra teman ku.
“Telat bangun.” Jawab ku lalu tersenyum.
“Hadeuh..kita berlima, lo, gue, andi, Fitri sama yudi tugasnya buat ngawasin lomba basket putra. Kalo wasit ada dari guru olah raga, Pak ujang.” Jelas Sandra “tapi Andi sama Yudi juga ikut terjun ke lapangan ikut ngawasin selama ada pertandingan.”
Cerita sedikit tentang Sandra. Aku dan dia sudah berteman sejak kelas 1 SMP. Dia dulu pindahan dari Jakarta. Ayahnya seorang TNI AD. Dia sedikit cerewet dan jutek. Tapi menurutku dia baik. Dia juga pemberani. Dia tidak pernah takut sama siapapun. Kecuali sama orang tuanya. Dia selalu membelaku saat Juli marah-marah pada ku. Atau saat anak-anak lain mencari masalah dengan ku. Sandra juga cantik. Rambutnya yang panjang sebahu, matanya yang coklat dan hidungnya yang mancung. Yang pasti dia tidak memiliki mata yang sipit seperti ku. Menurut ku Sandra itu perfect. Pantas saja banyak laki-laki yang menyukainya. Andai saja aku seperti dia, bisa terlihat keren dan lumayan populer di sekolah.
Jam menunjukan pukul 12:00 WIB. Acara di istirahatkan dan akan di mulai kembali pukul 12:00 WIB. Sandra dan yang lainnya ke mushola untuk melakukan sholat dzuhur, tapi aku tidak, karena sedang berhalangan.
Aku hanya menghabiskan waktu istrirahat dengan duduk-duduk santai di bawah pohon mangga tepat di depan lapangan basket. Sambil meneguk sebotol air mineral yang isinya sudah mau habis. Perut ku terasa lapar, tapi aku malas pergi ke kantin dan makan sendirian.
“Boleh ikut duduk.” Tiba-tiba seseorang datang dan sontak membuat ku kaget karena tadi aku sedikit melamun. Aku hanya mengangguk kaku. Karena setelah ku lihat ternyata dia. Dia yang tadi pagi bertabrakan dengan ku.
“Sendirian aja?” tanya laki-laki itu, aku belum mengenalnya. Walaupun aku satu sekolah dengannya, mustahil untuk ku mengenal semua siswa.
Aku mengangguk. Ku akui memang agak sedikit risih, duduk berdua berdekatan dengan seorang laki-laki yang belum aku kenal.
“Ada perlu apa?” tanyaku kemudian. Dia menatap ku lalu tersenyum.
“Enggak.” Jawabnya. “Nemenin aja.” Sambungnya pelan.
Kami berdua sama-sama diam.
“kelas mana nanti yang tanding?” tanya dia.
Aku mengecek daftar di sebuah map “kelas 11 IPA 2 vs kelas
11 IPS1.” Tutur ku masih tanpa menatapnya.
“Akhirnya, giliran juga.” Tuturnya sambil menghela nafas panjang.
“Kamu main?” akhirnya aku berani menatapnya lekat. Dia hanya mengangguk.
“Kamu kelas 11 juga? 11 apa?” Tanya ku antusias.
Dia tersenyum dan aku kembali menunduk karena malu “di antara dua kelas itu.” Jawabnya.
“Oh.”
“Do’ain ya.”katanya sambil menyenggol lengan ku supaya aku memperhatikannya.
“Iya aku do’ain supanya sampai final.” Tuturku masih dengan nada malu-malu.
“Do’ain, biar kita nanti bisa pacaran.” Mendengarnya ngomong seperti itu, membuat telinga ku seolah terkena arus listrik. Ku harap dia tidak melihat perubahan warna wajah ku yang setiap detiknya memerah.
Baru dia laki-laki yang mau bicara sedekat ini dengan ku. Baru dia laki-laki yang terang-terangan berharap ingin jadi pacar ku. Terlepas dari benar atau tidak dia mau jadi pacar ku, untuk ukuran hati yang belum pernah mengenal apa itu pacaran seperti ku, jujur ini membuat ku salah tingkah. Jika menurut kalian aku berlebihan, itu terserah kalian. Karena saat itu aku hanya anak SMA kelas 11 Yang masih kuper dan bekum pernah berpacaran.
Aku terus sibuk dengan segala fikiran ku sampai-sampai dia pergi pun tidak aku sadari, saat aku menengok ke arah kanan ku ternyata sudah ada Sandra yang duduk di sebelah ku.
“Kenapa Mei?”Tanya Sandra.
Akhirnya aku lepas dari lamunan yang sejak tadi mengambil alih fikiran ku. Aku tersenyum kemuadian menggeleng.
Akhirnya pertandingan yang di tunggu-tunggu akan di mulai. Lebih tepatnya pertandingan yang aku tunggu-tunggu. Ku cari wajah itu dari semua pemain yang masuk lapangan aku belum menemukannya. Mungkin dia berbohong tadi. Aku agak sedikit menyesal karena telah menunggu.
“Jangan ngelamun Mei. Di bawah pohon beringin, ngelamun. Entar ke sambet lo.” Goda Sandra sambil terkekeh. Dan aku kesal.
Ada seseorang yang berlari dari arah toilet menuju ke lapangan, ternyata itu laki-laki yang tadi. Hati ku langsung merasa senang karena tau dia tidak berbohong.
Laki-lagi nomor punggung 14 dan bernama Evan. Dia memakai ikat kepala. Menurut ku itu keren. Laki-laki keren yang pernah ku lihat.
“Dari mana aja sih lo van?”seru Gilang salah satu teman satu team Evan.
Ku lihat Evan hanya nyengir sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri.
Ku fokuskan perhatian ku pada pertandingan kali ini. Biasanya aku hanya memperhatikan babak akhir pertandingan untuk mencatat siapa yang kalah dan siapa yang menang. Tapi kali ini, seperti ada magnet yang menarik ku untuk tetap fokus. Sering aku bersorak saat Evan memasukkan bola, dan itu ternyata membuat Sandra dan Fitri yang duduk di sebelah ku terheran-heran.
“Tumben Mei, lo kayaknya antusias banget sekarang.” Seru Fitri sambil menatap ku heran.
“Iya, biasanya lo gak kayak gini. Longeliatin pertandingan ini serius banget.”timpal Sandra.
“Se serius dia lagi baca komik Tite Kubo, iya kan ndra?” ledek Fitri.
Aku hanya tersenyum. Oh iya aku juga pecinta komik Jepang. Terutama komik Bleach dan Naruto. Aku menyukai tokoh Ichigo di serial Bleach. Dia yang tangguh dan tidak pernah menyerah dengan keadaannya.
Kembali ke cerita.
“Lo kenal sama Evan, Mei?” tanya Fitri tiba-tiba membuat ku terpaku.
“Si Evan kelas 11 IPA 2 itu Fit?”sambar Sandra. Fitri mengangguk. “emang lo kenal Mei? Oh iya itu dia lagi main.” Sambung Sandra ketika menyadari ada Evan di tengah lapangan. Aku tidak bisa menjawab mereka berdua. Aku terlalu malu jujur pada mereka. Aku memang belum mengenal jauh siapa Evan. Tau namanya aja pas tadi lihat nama di punggungnya.
“MEII!!!”Seru Sandra kesal karena aku belum memberi jawaban sejak tadi.
“Tapi si Evan itu keren juga sih.”ujar Fitri. Mata kami bertiga sibuk memperhatikan Evan yang sekarang sedang terengah-engah.
“Iya, dia emang keren.”gumam ku dalam hati.
“Tapi sayang...” tutur Fitri dengan nada menyesal.
“Sayang kenapa Fit?” tanya ku antusias.
“Di kelas dia nakal, suka bolos pelajaran juga. Tapi dia emang pinter sih, nilainya juga bagus terus, gue juga gak ngerti kenapa nilai dia Bagus terus, padahal pelajaran banyak banget yang di lewatin.” Fitri mulai menjelaskan tentang Evan. Aku baru ingat ternyata Fitri juga kelas 11 IPA 2.
“Gue juga pernah denger sih yang nyoret-nyoret tembok belakang sekolah katanya si Evan sama temen-temennya. Apa si Evan yang ini juga Fit?” tanya Sandra dan Fitri mengangguk.
Mulai terkuaklah siapa Evan. Ternyata dia hanya anak nakal yang suka bolos dan cari masalah. Mungkin dia menggodaku adalah salah satu kenakalannya. Ada sedikit penyesalan dalam hati ku.
“Mei? Lo kenal sama dia?” tanya Sandra. Rupanya dia masih penasaran.
“Enggak kenal. Hanya sebatas tau aja.” Jawab ku datar.
Tiba-tiba terdengar ricuh di lapangan basket. Anak-anak yang bertanding berkerumun di tengah lapang.
“Ada apaan sih?” tanya ku ikutan heboh. Setelah melihat Yudi menghampiri meja panitia untuk mengambil minum.
“Si Evan pingsan.” Jawab Yudi.
“Hah? Pingsan?” aku kaget.
Terlihat Evan sudah di tandu ke ruang UKS.
“Ih dasar si Evan.” Seru Fitri kesal.
“Si Evan pingsan Fit. Ko kamu malah kayak yang kesel gitu.” Kritik ku.
“Pura-pura ya Fit?” tanya Sandra. Perkataan Sandra semakin membuat ku kesal.
Di fikiran ku, senakal-nakalnya dia, tidak mungkin dia sampai pura-pura sakit dan pingsan. Tanpa menghiraukan teman-teman yang lain, aku berlari ke ruang UKS untuk memastikan kondisinya.
“Mei!” seru Sandra.
“toilet!” sahut ku.
Saat sampai di pintu UKS, aku tidak langsung masuk. Aku menengoknya di balik kaca jendela. Masih ada anak PMR dan dokter sekolah yang merawatnya. Ada seorang yang memakai pakaian basket juga bersamanya. Mungkin dia temannya Evan.
Aku berencana masuk untuk lebih tau jelas apa yang sebenarnya terjadi. “van, lo gak papa?” tapi ku urungkan niat ku setelah aku tau Evan sudah sadar. Mungkin memang sebaiknya aku melihatnya lewat jendela saja.
“Rencana lo berhasil Van.” Tutur temannya Evan.
Perbincangan mereka membuat ku kesal dan emosi. Ternyata memang benar ini rencana mereka. Aku sudah tidak bisa menahan diri. Aku ingin marah. Aku langsung buka pintu dan masuk. Seisi ruangan itu mulai memperhatikan ku termasuk si Evan. Dan perbincangan mereka pun dengan sekejap berhenti.
“oh jadi bener, kamu cuma pura-pura pingsan? Biar apa? Biar dapet sensasi? Biar semua orang perhatiin kamu?” amarah ku mulai membludak. Aku juga bingung kenapa aku bisa semarah itu, toh yang lain juga biasa saja. Tapi aku merasa sangat di tipu, dan aku tidak suka.
“Siapa lo?” tanya Temannya Evan yang bernama Gilang.
Yang semakin membuat ku kesal adalah tatapan Evan yang seperti nya biasa-biasa saja, di tambah lagi matanya yang so soan di bikin sayu.
“Eh Meilisa, ada apa?” tanya bu Lusi. Bu Lusi adalah Dokter sekolah. Dia mengenal ku karena aku juga pernah jadi anggota PMR.
“enggak bu, cuma negur orang-orang jail.” Jawab ku. Ibu Lusi melirik ke arah Evan, Evan balas melirik ke arah ibu Lusi sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian ibu Lusi dan yang lainnya meninggalkan ku, Gilang dan Evan yang saat itu masih tiduran.
“Ya sudah, selesaikan dulu negurnya.” Tutur Ibu Lusi sebelum pergi. Aku mengangguk.
“Maksud kalian itu apaan sih. Bikin ricuh, pura-pura sakit. Kalo mau cari perhatian, jangan ikutan tanding basket tapi lomba film pendek.” Tutur ku dengan nada tinggi.
“Tau apa lo?” bentak Gilang. Saat dia akan melanjutkan kalimatnya, ku lihat Evan menarik lengannya.
“Apa? Tau apa?” tanya ku menantang. Aku jamin kalian bakal di diskualifikasi.”ancam ku.
Ku lihat Evan bangkit dari tidurnya dia berjalan ke arah ku. Mulai ada rasa takut. Keberanian yang entah dari mana datangnya itu mulai menghilang.
Evan memegang pundak sebelah kiri ku. Jantungku mulai berdebar tidak karuan. Aku mulai menyesali apa yang telah ku lakukan. Mungkin sekarang Evan akan marah atau mungkin dia mau berbuat kasar pada ku.
Karena jarak kami yang memang benar-benar dekat, aku bisa mendengar tarikan nafas Evan yang berat.
“Mati lo Mei. Ngapain coba lo ngelakuin hal bodoh ini.” Gumam ku dalam hati.
“Maff ya.” Tutur nya pelan.
Aku tidak mengerti. Ku kira dia akan marah karena cacian ku tadi. Ternyata dia malah minta maaf. Ku beranikan untuk menatapnya. Dia tersenyum. Wajahnya masih terlihat pucat dan mandi keringat.
Rasa kasihan dan bersalah pun muncul lagi “tidak-tidak Mei, dia cuma menipu kamu.” Aku mencoba menolak perasaan itu.
“Kamu sadar kan, apa yang kamu lakuin itu salah. Kamu udah nipu banyak orang.” ujar ku.
“Nipu? Nipu apa maksud lo?” tanya Galang dengan nada kasar.
“Dia udah pura-pura sakit dan pingsan, kamu lihat kan tadi di lapangan semua orang panik gara-gara dia.”
“Siapa____”
“Lang!” seru Evan memotong perkataan Galang.
“Maaf karena udah bikin semua orang panik. Maaf karena udah bikin kamu repot-repot dateng kesini. Maaf.” Tutur Evan. Suaranya terdengar sangat berat.
Aku menatapnya lagi. Dia masih tersenyum. Kemudian terbatuk.
“Mei, kelas ku jangan di diskualifikasi ya.” Pintanya.
“Aku gak jamin.”
“Kan aku yang salah, kamu kan tau sendiri aku yang pura-pura sakit. Masa temen-temen aku ikutan kena imbasnya.” Sesalnya.
Ku lihat Galang berjalan mendekati Evan.
“Van!”seru Galang. Lagi-lagi Evan hanya tersenyum.
Tentang diskualifikasi yang ku katakan tadi, aku juga tidak berhak mendiskualifikasi teamnya begitu saja karena tidak ada bukti yang kuat. Aku hanya menggertaknya saja tadi.
“Jangan di ulangin lagi.”seru ku sambil membuang muka dan berbalik badan.
“Makasih Meilisa."tutur Evan.
Aku berhenti berjalan karena terkejut ternyata dia tahu nama ku. Sebenarnya aku ingin menoleh dan bertanaya, tahu namaku dari mana. tapi gengsi. aku melanjutkan langkahku masih dengan perasaan kesal
Begitulah kesan pertama ku bicara panjang lebar dengannya. Menguras emosi. Dan saat itu juga aku memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengannya. Karena ku fikir, akan ada banyak masalah yang akan ku terima jika aku terus berurusan dengannya.
Mungkin keputusan ku agak kasar, tapi menurut ki itulah yang terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI DI MUSIM DINGIN
Teen FictionTuhan mempertemukan aku dengannya bukan tanpa alasan. Aku melengkapi dia, dia melengkapiku. Kisahnya akan ku ceritakan pada kalian. Walaupun hanya dari sebuah tulisan, ku harap kalian bisa ikut merasakan. Happy reading