Sudah beberapa bulan ini aku dekat dengannya. Dia selalu mengajak ku kemana pun dia pergi. Termasuk berkumpul bersama teman-teman tongkrongannya. Tempat tongkrongannya di sebuah ruangan sepetak bekas gudang yang di sulap menjadi basecamp.
“Ini ruangan bekas apa?” tanya ku saat pertama kali aku di ajak ke basecamp yang penuh dengan poster dan coretan pilok.
“Bekas gudang, di depan sana kan tempat bisnis properti Umi.” Jelasnya. Iya, evan memanggil ibu nya Umi (ibu nya Evan)
Umi memang punya bisnis properties yang lumayan besar. Dan ayahnya bekerja sebagai pengacara. Evan bilang ayahnya jarang pulang karena ada banyak pekerjaan diluar sana yang harus di selesaikan.
Evan juga sempat cerita, dulu dia tidak setuju ayahnya jadi pengacara.
“Kenapa kamu gak setuju?” Tanyaku
“Aku takut Abi Salah bela orang.” Katanya
“Tapi kan sebelum menangani kasus, pasti ada rincian kasusnya dulu.” Kataku. Sebenarnya aku tidak faham sama sekali tentang pengacara dan masalah hukum.
“Iya. Tapi kan itu dulu. Sekarang aku udah setuju.” Katanya.
“Kenapa berubah fikiran?”
“Karena abi bilang, abi berusaha menegakkan kebenaran lewat profesinya.”
“Abi kamu hebat.” Pujiku.
“Yang hebat itu kan poweranger.” Katanya lalu tertawa.
Aku juga ikut tertawa. Evan selalu bisa membuat suasana menjadi menyenangkan.
Setelah beberapa bulan ini Evan sama sekali tidak menyinggung masalah waktu yang dia maksud dulu. Aku juga tidak menanyakannya karena merasa tidak enak.
Dulu aku memang tidak masalah apapun itu status kami. Tapi ternyata wanita memang butuh kepastian dari sebuah hubungan dan aku baru tersadar setelah Sandra menceramahiku waktu itu.
“Lo belum pacaran sama dia?” tanya Sandra kaget. Aku menggeleng. Saat itu kami sedang di taman. Selesai lari pagi.
“Kenapa Mei?” tanya Sandra lagi.
“Dia bilang dia butuh waktu untuk memantaskan diri.” Jelasku. Sandra menggeleng kesal.
“Mei, lo jangan mau di bohongin sama cowok.” Sandra mulai menggunakan nada tinggi.
“Maksud kamu Ndra?”
“Ngapain coba dia bilang mau memantaskan diri? Toh status kalian nanti cuma pacaran bukan suami istri. Kenapa harus serumit itu coba?” tutur Sandra, aku masih mendengarkannya tanpa bicara sepatah katapun “coba kalo tiba-tiba si Evan kenal sama cewek lain dan deket. Lo gak bisa marah, karena lo bukan pacarnya. Tapi lo juga bakal ngerasain sakit hati.”
“Terus gimana dong? Evan juga gak pernah bahas soal itu.” Jujur hati ku sedikit tergoyah oleh perkataan Sandra. Apa yang di katakannya memang benar. Mustahil jika seorang Evan hanya kenal dan dekat dengan satu perempuan. Apalagi perempuannya seperti aku ini.
“Lo harus minta kepastian dari dia.” Tegas Sandra “kalo dia sayang sama lo, dia pasti merjuangin lo dan takut kehilangan lo, bukan malah di gantung gak jelas kayak gini.”
Sandra benar, aku memang harus mendapatkan kepastian darinya. Toh kami sudah dekat, mudah saja bagi kami mengubah status kami menjadi pacaran.
Aku sudah memutuskan untuk bicara serius tentang ini dengannya nanti pas waktu study tour. Kebetulan 2hari lagi semua kelas 11 ada kegiatan Study tour ke Jakarta dan menginap 4 malam di sebuah penginapan dekat pantai.
Ku harap momen jadian ku dengannya akan Indah nantinya.
“Kamu bawa baju berapa Van?” tanya ku saat Evan menelepon ku. Aku sedang mengepak perbekalan ku untuk study tour besok.
“Gak tau, belum di siapin. Aku mah gampang Mei. Biasanya kan cewek yang ribet, yang banyak banget barang bawaannya.” Tutur Evan meledek ku.
“Huu, iya lah. Cewek kan banyak keperluannya. Emang cowok, gak ganti baju seminggu aja betah.” Aku balas meledeknya dan dia tertawa. Mendengar Evan tertawa, terlintas di fikiran ku untuk segera membicarakan masalah hubungan ini.
“Mei, nanti lagi ya, aku mau keluar dulu. Ada perlu.” Katanya lalu menutup teleponnya.
Semua siswa kelas 11 sudah berkumpul di lapang upacara, dan bus bus yang akan membawa kami pun sudah berjejer rapi di parkiran sampai ke jalan. Tapi sayang, aku tidak satu bus dengan Evan, karena kami beda kelas.
Aku melihat Evan sedang bersama Galang dan ke empat temannya yang lain. Dia membawa gitar dan sebuah tas gendong. Saat itu Evan mengenakan baju Biru dan jaket baseball tanpa di kancingkan. Gayanya memang selalu seperti itu, tapi terlihat keren. Dia tidak lepas menggunkan jam tangan hitam. Katanya itu jam tangan kesayangannya hadiah dari almarhum kakeknya.
Di mataku Evan terlihat sangat menarik. Dan kata Fitri, Evan juga sudah tidak pernah bolos pelajaran lagi. Aku senang mendengarnya
Guru-guru sudah mengabsen dan kami pun masuk mobil masing-masing.
Aku duduk dengan Sandra, kami memang selalu bersama. Selalu satu kelas. Dan kemana-mana bersama. Kami memang sahabat sejati.
Bus sudah mulai berjalan dan meninggalkan sekolah. Aku dan Sandra asyik bercerita tentang barang bawaan yang kami bawa. Dari mulai pakaian sampai makeup.
“Aqua aqua aqua.” Seru salah seorang penumpang bus sambil membawa dua buah Aqua.
“Ih saha sih gandeng.” (ih siapa sih berisik.) Protes Sandra. Itu mungkin salah satu teman kami. Karena memang tidak mungkin ada pedagang asongan yang masuk, sedangkan kami baru saja berangkat .
“Mau minum, teh ?” ada seseorang yang memberikan aqua dari belakang ku.
Aku menolehnya dan ternyata itu Evan. Aku mengedip-ngedipkan mataku takut salah lihat. Itu memang dia. Ternyata yang belagak seperti pedagang asongan itu dia. Dia meminta Sandra pindah duduk sebentar di tempat duduknya. Dan aku juga baru sadar, ternyata dia duduk di samping kursi aku dan Sandra.
“Ngaganggu wae nya si Evan.” (ganggu aja ya si Evan)Protes Sandra kesal, dia membawa sebungkus cemilan dan pindah duduk.
Kali ini Evan duduk di sampingku.
“Kamu kok bisa ada disini. Kita kan beda kelas.” Bisik ku sambil mencubit tangannya.
Evan tersenyum “apa sih yang gak bisa buat aku.” Katanya sombong “bukan Cuma aku, tuh si Galang, Andre, Surya, Bani, Iwan juga ada disini.” Katanya, tangannya sibuk menunjuk teman-temannya.
“Ko bisa?” Tanya ku.
“bisa lah, kan aku pengen sama kamu.” Katanya. Lalu meminta Sandra untuk bertukar tempat duduk lagi.
“Hih!” seru Sandra kesal.
“ulah ambek-ambekan wae bisi tereh kolot.” Ledeknya (jangan marah-marah terus takut cepet tua) aku tersenyum melihat Sandra yang kesal karena Evan.
“Bae.” Sahut Sandra (biarin)
Bus kami menjadi ramai karena Evan dan anak laki-laki yang lain saling bergurau. Ada yang saling ledek, saling lempar kulit kacang. Tapi perjalanan ini menyenangkan.
“Van, main gitar biar gak bosen.” Kata Anto teman sekelas ku. Dia duduk paling belakang.
“Eweh nu mayar lah. Maneh nitah wungkul” Gurau Evan. Lalu dia tertawa dan kami pun tertawa (gak ada yang bayar lah. Kamu nyuruh doang.)
“Kan bayarannya udah sama si Meilisa.” Sahut Anto. Aku terkejut saat nama ku di ikut sertakan. Aku tidak menjawab dan pura-pura tidak dengar. Dari ujung mata ku, ku lihat Evan sedang melihat ku sambil tersenyum.
“Si Evan sama Meilisa?” tanya Pa Burhan ikut-ikutan nimbrung. Pak Burhan adalah wali kelas ku.
Aku tidak mendengar Evan menyahut. Suara Anto dan Sandra lah yang paling jelas terdengar.
“Iya!!” seru mereka.
“Pinteran Van.” Gurau Pak Burhan. Evan hanya “hehe”
“Buruan atuh Van!” seru Anto.
“Santai bos.” Sahut Evan. “lang maen gitar Lang.” Kata Evan pada Galang yang satu kursi dengannya.
“Naha urang?” protes Galang. Dia terlihat mengantuk (kenapa aku)
“Diem mulu dari tadi, biar ada kerjaan.” Kata Evan.
Galang yang main gitar Evan yang nyanyi, kami semua bertepuk tangan dan sesekali ada yang ikutan bernyanyi.
Evan menyanyikan lagu Vagetos Kehadiran mu.
“Nah ini buat si Meilisa kayaknya.” Potong Bani saat Evan sedang bernyanyi.
Semua isi bus bersorak “Cieeee!!” Dan itu membuat ku malu. Aku menutup muka ku dengan kupluk jaket yang ku kenakan.
Mungkin ada sekitar 2 jam lebih mereka berisik, bernyanyi, menyambung lagu-lagu, dan bergurau. Sekarang suasana sudah hening. Kelihatannya mereka lelah. Ku lirik Evan, dia sedang mencari posisi untuk tidur.
Aku terbangun saat bus berhenti di tempat peristirahatan. Aku dan Sandra bergegas ke toilet supaya dapat antrian pertama. Sebelum pergi, ku lihat Evan masih tidur dengan danga mendekap dada.
Setelah dari toilet, aku memutuskan untuk makan pop mie bersama sandra dan Fitri yang ikut-ikutan nimbrung.
Saat kami sedang asyik makan, tiba-tiba guru-guru berhamburan berlari ke arah bus yang ku tumpangi.
“Ada apaan sih?” tanyaku pada orang yang ada di sekitar ku.
“Gak tau.” Sahut Fitri. Aku memutuskan untuk mengeceknya. Tapi ternyata pintunya di kunci. Aku tidak bisa melihat apa-apa selain guru-guru yang berkerumun. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali melanjutkan makan ku.
“Ada apa Mei?” tanya Sandra yang ternyata penasaran juga. Aku menggeleng.
Hampir satu jam kami beristirahat dan tidak juga berangkat. Guru-guru sudah keluar dari mobil. Aku dan Sandra memutuskan untuk kembali ke bus.
Aku berpapasan dengan Evan di pintu bus. Sepertinya Evan dan teman-temannya tidak keluar dari mobil saat istirahat. Mungkin dia tahu dmtadi itu ada kejadian apa.
“Tadi ada apa Van?” tanya ku. Evan menggeleng dan turun. Aku berlari mengejarnya. Lalu menarik tangannya.
“Tadi ada apa? Guru-guru ko panik? Kamu kan ada di dalem.” Tanya ku kesal.
“Gak tahu Mei aku sama temen-temen tidur. Jadi gak tau apa-apa.” Sahutnya dengan nada tinggi.
Aku diam.
“Ya udah aku ke toilet dulu ya, nanti ngompol disini repot.” Katanya sambil tersenyum.
Selama sisa perjalanan. Keadaan bus tidak begitu ramai. Mungkin karena hari mulai malam. Sekitar 3 jam lagi sampai di penginapan. Sandra tertidur. Aku menengok Evan, dia juga tertidur.
Mataku tidak mau terpejam, aku coba bangunkan Evan dengan meneleponnya. Saat dia melihat layar handphonenya, dia menoleh ke arah ku. Aku memberi isyarat dia agar mengangkat telepon dari ku. Ku pakai earphone dan dia pun memakai earphonenya.
“Ada apa?” suara Evan berbisik. Aku tersenyum mendengarnya.
“Kamu tidur terus dari tadi.” Protes ku.
“Kamu kenapa gak tidur?”
“Gak ngantuk. Lagian bentar lagi sampe.”
“masih lama Mei, 3 jaman lagi.” Evan seperti sedang mencari sesuatu di kantongnya. Dia membangunkan Galang dan memintanya untuk minggir.
“Apaan sih?” tanya Galang. Evan tidak berkata apapun dia seperti memberi isyarat dan Galang langsung mencari sesuatu di tas Evan, setelah itu memberikannya pada Evan.
“Kamu tidur, meremin matanya.” Katanya setelah situasi kembali hening.
“Tapi jangan tutup teleponnya.”
“Iya, aku gak tutup teleponnya sampai kamu tidur.”
Setelah itu aku tidak ingat, tau-tau mobil sudah berhenti dan kami sampai di penginapan.
Beruntungnya kami bisa memilih dengan siapa kami bisa tidur. Asalkan masih sesama jenis. Satu kamar terdiri dari 6 orang. Setelah mendapatkan kamar. Ku bantingkan badan ku ke tempat tidur. Rasanya pegal-pegal semua seluruh badan ku ini. Kaki ku juga kesemutan terus dari tadi.
“Mandi dulu ah.” Kata Sandra.
Aku masih malas menggerakan tubuh ku. Teman-teman yang lain sibuk membereskan apa yang mereka bawa. Setelah selesai istirahat, kami di minta untuk makan malam bersama.
“Nyari siapa sih? Ayo ambil makan dulu.” Kata Sandra. Aku masih sibuk mencari Evan. Dia tidak terlihat di sudut manapun. Tapi ada Galang dan teman-temannya yang lain.
“Evan kemana?” tanyaku pada Galang
Galang menoleh ke arah ku “Tadi pas nyampe dia langsung tidur.”
“Gak ikut makan malem?”
“Gak laper katanya.”
“Samperin aja ke kamarnya, kamar kita No 75A.” Kata Iwan lalu tertawa. Aku menatapnya sinis, Galang menyadarinya.
Dia memegang pundak ku “Si Iwan Cuma bercanda, jangan di masukin hati ya.” Kata Galang seraya membujuk ku.
“Kayaknya si Evan tidur sampe pagi nanti. Dia tadi bilang jangan di bangunin.” Katanya lagi.
Aku mengangguk dan pergi.
Acara hari pertama mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Aku menyiapkan barang bawaan ku dari mulai buku catatan, bolpoin, sampai camera. Karena selesai study tour kami di haruskan membuat laporan hasil perjalanan kami.
Aku melihat ponsel ku, ternyata tidak ada pesan atau miscall yang masuk dari Evan. Aku menarik nafas berat.
“Yuhuuu... Berpetualang kita!!” seru Sandra heboh.
Semua siswa dan para guru sudah berkumpul di parkiran. Kami memasuki bus masing-masing untuk segera berangkat.
Terlihat Evan berjalan mendahuluiku tanpa menyapaku. Ku fikir dia tidak melihat ku. Kami semua menggunakan kaos study tour yang di siapkan oleh sekolah.
Aku menarik tangan Evan saat dia hendak naik bus. Evan sedikit terkejut dan menoleh ke arah ku. Dia menyingkir dari pintu agar tidak menghalangi.
“Kenapa?” tanya Evan.
“Kamu semalem kenapa gak ikut makan malem?” tanya ku.
“Oh, aku cape jadi langsung tidur aja.” Katanya.
Aku menatapnya dalam-dalam, dia terlihat segar pagi ini. Mungkin puas tidur semalaman. Setelah itu aku tersenyum dan naik ke bus.
“Ayo Van!” ajak ku. Evan mengikutiku dari belakang.
Kami mengunjungi beberapa musium. Pertama musium Bahari, banyak koleksi-koleksi kebaharian dan kenelayanan dari Sabang sampai Merauke.
Hari ini sangat menyenangkan. Aku, Sandra dan Fitri bergabung dengan Evan dan kawan-kawannya. Ternyata mereka asyik juga. Iwan dan Bani juga tidak semenyebalkan yang aku kira. Setelah mendengarkan tentang sejaraha-sejarah nya, kami asyik mengambil foto dan vidio untuk kenangan.
“Ayo foto bareng!” seru Sandra sambil menyiapkan cameranya.
Hari itu tidak akan pernah terlupakan. Kami tertawa bersama, kejar-kejaran saat di parkiran, saling ledek antara team cewek sama team cowok, saat itu juga aku baru melihat Evan tertawa sampai jongkok-jongkok karena melihat Galang di kejar bencong. Mereka memang jail. Bencong yang lagi ngamen di kerjain. Di kejar baru tahu rasa.
Evan yang sedang tertawa ngakak tiba-tiba terkejut karena ada bencong yang mencium pipinya. Kami semua tertawa melihatnya. Evan menatap banci itu dan menghampirinya. Si Banci menampilkan raut wajah yang pura-pura ketakutan. Evan memang bukan tipe orang yang bisa menahan senyum lama.
“kamu cium saya?” tanya Evan tegas.
“iya.” Sahut Banci itu.
“Berarti kamu harus bayar.” Kata Evan lagi.
“Ih bayar? Emangnya pipi kamu gado-gado?” ledek banci itu. Kami tertawa.
Evan menatap banci itu lekat-lekat “Ayo bayar!” kata Evan.
Si banci menggeleng “Kan saya yang nyari uang, kenapa saya yang harus bayar?”
“Ya kan kamu nyium saya.” Evan masih ngotot.
“Ya kamu nya ngegemesin. Ganteng ih tepe saya banget.” Kata banci itu,tangannya ikut beraksi mencubit-cubit pipi Evan.
“Ini juga poninya. Lucu.” Kata banci itu.
“Nama saya Claudia!” kata banci itu lagi. Aku sampai sakit perut karena ulah mereka. Ditambah lagi wajah Banci itu yang so cantik.
“Nama Yang indah.” Goda Evan.
Tidak henti-hentinya kami tersenyum melihat ulah mereka berdua.
“Indah kayak orangnya ya?” Tanya Claudia.
Evan mengangguk. Dan Claudia memeluknya.
“Wah Mei, posisi kamu terancam sama Claudia.” Seru Galang. Aku tersenyum saat galang tersenyum ke arah ku.
Claudia melepaskan pelukannya “Ada pacar kamu?” Tanya Claudia pura-pura kaget.
“Mana bayarannya ih, buat beli makan.” Kata Evan memaksa.
Claudia terlihat sedang memikirkan sesuatu, Evan masih menatapnya.
“Oh gini aja, saya bisa ngeramal. Gimana kalo saya ramal bayarannya di diskon, biasa 25.000 jadi 20000.” Jelas banci itu.
“Kayak baju ya di diskon.” Kata Evan.
“Mau gak?”
“Oke.” Kata Evan. Kami duduk di parkiran dan membuat lingkaran. Saat itu kami baru selesai makan dan masih ada di are rumah makan. Hanya beberapa dari kami yang ikut membuat lingkaran, sisanya berdiri dan melakukan hal-hal lain yang menurut mereka menyenangkan.
Claudia memegang tangan Evan, matanya sambil terpejam.
“Ini mah bukan ngeramal tapi cari kesempatan dalam kesempitan.” Goda Evan.
Si Claudia membuka matanya dan bilang “i ih berisik. Gak konsen.” Dengan nada centil. Kami tertawa melihatnya.
Setelah beberapa saat Claudia membuka matanya dan menatap Evan yang tersenyum. Lalu dia menepuk-nepuk pipi kanan Evan. Aku di buat penasaran dengan hasil ramalannya.
“Apa hasilnya? Saya ganteng?” kata Evan “kalo itu mah udah dari dulu.” Sambungnya.
“Kamu...” kata Claudia “mending ungkapin sekarang, orang yang kamu suka udah nunggu kamu.” Mendengar Claudia bicara seperti itu, aku semakin antusias mendengarnya. Teman-teman yang lain bersorak “cieee!!!”
“Nunggu dimana?” goda Evan. Aku tahu Evan bukan tipe orang Yang mempercayai sebuah ramalan.
“Dimana aja boleh.” Kata Claudia. Kami tertawa.
“Dia terima kamu apa adanya.” Katanya lagi. Evan masih tersenyum.
“Terus?” goda Evan. Evan memang terlihat tidak mempercayai sebuah ramalan.
“emmmmmmm....” Claudia terlihat berfikir.
“Dia sipit gak?” Tanya Evan. Mendengar dia ngomong seperti itu, aku langsung manyun. Teman-teman menoleh ke arah ku dan tertawa.
“Gak kelihatan matanya.” Kata Claudia. Evan tertawa sambil memegangi perutnya.
“Terus?” Tanya Evan.
“Semangat terus, walaupun rasa sakit berusaha membuat kamu kalah.” Saat mendengar perkataan Claudia, raut wajah Evan langsung berubah. Dia tersenyum getir dan melepaskan tangannya dari Claudia.
Evan bangkit dari duduknya lalu mengeluarkan beberapa uang 50 ribuan. Dan memberikannya pada Claudia.
“Makasih ya, sekarang saya yang bayar.” Kata Evan.
“Ih, banyak banget. Udah ganteng, baik, gak pelit lagi.” Goda Claudia. Evan tersenyum lalu pergi utuk membeli minum.
Kami juga ikutan bubar. Tapi aku masih heran dengan ekspresi Evan yang terahir. Kenapa dia seperti orang yang tertekan.
“Aku juga mau minum dong.” Kata ku pada Evan yang sedang menikmati sebotol teh manis. Tidak lama setelah itu, evan memberi ku sebotol teh manis juga.
“Claudia lucu ya. Bisa ngeramal lagi.” Tutur ku.
“Iya. Lumayan buat hiburan.” Sahut Evan pelan.
“Kamu terhibur?” tanya ku.
“Pasti. Yang lain juga kan? Termasuk kamu?”
Aku mengangguk “tapi dia nyium kamu. Dia juga meluk kamu.”
“Kamu ngiri?” goda Evan “waktu itu aku mau cium kamu. Kamu malah takut.”
Aku teringat saat itu, saat aku mengira dia sedang mabuk dan akan mencium ku agar aku percaya dia tidak mabuk. Aku tersenyum mengingatnya.
“I.. Ih kan aku kaget. Aku tiba-tiba ngomong itu.”
“Berarti kalo sekarang mau?” kata Evan.
“Banyak orang.” Kataku.
Evan tersenyum “Alesan kamu mah.” Protesnya. Aku tertawa.
“Tapi pas ramalan terahir, kenapa kamu malah udahan?” tanya ku.
“Karena aku haus.” Jawab Evan. “cape dari tadi ketawa terus.”
“Oh gitu.”
Syukurlah hari pertama berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Tersimpan banyak foto dan vidio tentang hari ini di camera ku. Aku terus mengulang ngulangi foto dan vidio sambil rebahan di tempat tidur. Teman-teman yang lain Juga asyik main handphone dan menyetel musik.
Aku dan Sandra memutuskan untuk jalan-jalan ke pantai karena sudah merasa bosan. Kebetulan penginapan kami dekat pantai, jadi cukup dengan berjalan kaki saja.
Keindahan alam membuat ku semakin bersyukur kepada Tuhan. Pantai yang Indah. Langit yang di penuhi Bintang. Memang alam yang Indah, bumi yang menyenangkan. Di tambah lagi ada makhluk bumi yang membuat ku semakin betah berada di bumi.
Aku melihat Evan dan teman-temannya sedang bermain gitar dan bernyanyi di pesisir pantai. Ini kebetulan yang sering terjadi, apa ini yang namanya jodoh? Bodoh, kenapa dengan usia ku yang belum menginjak 17 tahun ini aku sudah memikirkan Jodoh. Tapi di saat itu. Di saat aku bersama Evan, aku percaya Evan lah jodoh ku. Jika tidak, jangan berikan Evan jodoh selain aku, dan jangan berikan aku jodoh selain Evan. Itu permintaan ku pada Tuhan.
Aku memutuskan tidak ikut bergabung dengan Evan. Aku dan Sandra ingin menikmati angin pantai sambil tiduran di pasir.
“Betah ya Mei.” Tutur Sandra.
“Iya.”
Sudah beberapa hari kami tinggal di Jakarta dan besok adalah hari terakhir bersenang-senang di Ibu kota ini. Agenda besok adalah mengunjungi Dufan. Kami bebas bermain sepuasnya di Dufan.
Setelan hampir 1jam mengantri, karena antrian yang sangat panjang, akhirnya kami bisa menikmati wahana yang ada. Mulai dari kincir, kora-kora,hysteria, tornado bahkan hampir semuanya wahana kami coba. Aku menghabiskan waktu ku bersama Evan. Mengelilingi wahana bersamanya, teriak-teriak bersamanya dan hampir pingsan karena naik hysteria yang baru sekali ini aku coba.
Saat itu Evan yang menantangku untuk naik hysteria, sebenarnya aku dari dulu juga tidak pernah mau kalau di ajak naik itu, karena takut.
“Ayo lah Mei. Aman ko.” Evan memaksa ku.
“Tapi takut.” Aku benar-benar takut naik wahana yang satu ini.
“Kan ada aku, kita naik bareng. Kapan lagi kita punya waktu kayak gini coba?” Evan terus membujuk ku sampai aku akhirnya menyetujuinya.
Saat sampai di atas dan turun, aku teriak sekencang-kencangnya sambil memegang erat pengaman. Benar-benar penglaman yang menegangkan untuk ku. Sangat memicu adrenaline.
“Gak papa kan?” tanya Evan setelah kami turun. Kepalaku pusing dan jantungku masih berdebar tidak karuan. Badan ku terasa lemas. Evan memegangi ku
“Pusing.” Keluh ku.
Evan mengajak ku duduk dan memberi ke air minum. Dia terus memperhatikan ku.
“Udah baikan belum?” aku senang karena Evan sangat menghawatirkanku.
“Kamu ngerjain aku.” Protes ku.
“Tapi kan akhirnya kamu berani.” Katanya.
“Iya, tapi hampir aja pingsan.”
“Pengalaman.” Katanya.
Aku juga mengajak Evan untuk foto box. Dia sempat menolak, tapi giliran aku yang membujuknya sampai akhirnya dia menyerah dan mau menuruti ku.
“Masa harus foto box?” Evan mengeluh.
“Ya gak papa. Emang kenapa?”
“Malu atuh.” Protesnya “ganti aja Yang lain. Naik halilintar aja. Ya, ya.” Bujuknya.
“Aku maunya foto box!” Kataku bersikeras.
Evan mengusap wajahnya “Astaga Mei. Ya udah deh ayo!”
“Yes!” aku bersorak dalam hati.
Disana kami bebas berekspresi. Macam-macam gaya berfoto dari mulai yang serius, alay sampai romantis kita lakukan. Ah pokoknya menyenangkan. Sangat menyenangkan. Itu liburan terindah ku. Liburan terindah bersama seseorang yang ku sayang. Aku seperti liburan hanya berdua saja dengannya. Aku mengabaikan teman-teman yang lain bahkan guru-guru yang mungkin sedang memperhatikan. Aku tidak peduli. Aku tidak ingin siapapun mengusik kebahagiaanku.
Galang dan Sandra mengajak kami main arung jeram. Sepertinya seru, dan aku meng iyakan tanpa berfikir panjang. Evan juga setuju.
Tapi saat akan memulai, ada insiden yang tidak di inginkan terjadi. Tubuh Evan tiba-tiba bergetar hebat, dan tarikan nafasnya pun berat. Dia bilang dia tidak apa-apa, tapi kami yang melihatnya menjadi khawatir karena wajahnya yang semakin pucat.
“Kalian lanjutin aja.” Kata Evan dengan suara yang berat.
“Enggak. Aku mau nemennin kamu. Kita balik ke bus aja.” Kata ku. Aku benar-benar menghawatirkan keadaannya. Evan semakin kesulitan untuk bernafas.
“Serius aku gak papa, kalian terusin aja. Aku tunggu disini.” Katanya. Dia itu so kuat, sudah jelas-jelas dia sakit dan kesulitan bernafas.
“Minum dulu Van.” Galang memberikan sebotol air mineral dan sebuah obat. Entah itu obat apa. Saat aku tanya dia hanya bilang itu obat untuk pernafasan. Aku langsung berfikir kalo Evan mungkin terkena asma.
Setelah beberapa saat, tubuhnya mulai stabil. Dia sudah bisa berdiri dan nafasnya mulai teratur.
“Ayo.” Katanya antusias. Kami semua menatapnya. Dia sudah terlihat baik-baik saja.
“Yakin mau di lanjutin dek?” tanya orang yang akan mendampingi kami. Evan mengangguk. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan permainan yang tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI DI MUSIM DINGIN
Teen FictionTuhan mempertemukan aku dengannya bukan tanpa alasan. Aku melengkapi dia, dia melengkapiku. Kisahnya akan ku ceritakan pada kalian. Walaupun hanya dari sebuah tulisan, ku harap kalian bisa ikut merasakan. Happy reading