Makan malam terahir bersama teman-teman satu angkatan ku dan guru-guru istimewa ku. Entah kapan lagi situasi seperti ini akan terulang. Aku pasti merindukan masa-masa ini. Masa dimana aku bebas berekspresi.
Seharian tadi sudah puas bermain dari mulai yang menegangkan sampai yang romantis. Rasanya tubuh ini sakit semua, lelah lemas segala macam terasa. Tapi aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu ku yang tersisa di Jakarta. Teman-teman yang lain ada yang memutuskan untuk jalan-jalan, beli oleh-oleh dan yang lainnya.
Aku masih bingung mau kemana, Sandra mengajak ku ke pantai. Mungkin akan menyenangkan kalo malam terahir bersantai di pantai.
Aku teringat pada perkataan Sandra waktu itu tentang status hubungan ku dengan Evan. Mungkin inilah saatnya aku membicarannya dengan serius. Aku pun bilang pada Sandra, mengenai rencana ku. Sandra mendukungku.
Saat ku telepon Evan ternyata dia sedang berada di pantai dengan kelima temannya. Aku, Sandra dan Fitri bergegas pergi ke pantai.
Teman-teman memang pengertian, kami di tinggalkan berdua saja. Mereka berkumpul sambil ber nyanyi-nyanyi.
Aku dan Evan jalan-jalan sambil menikmati pesisir pantai dan angin malam. Ku lihat Evan sudah baik-baik saja setelah kejadian tadi siang. Setelah merasa lelah, kami rebahan di pasir sambil menatap Bintang.
“Lihat Mei, bintangnya terang banget.” Kata Evan. Aku melihat ujung telunjuknya yang mengarah ke Bintang yang memang terlihat lebih terang.
“itu kayaknya Bintang sirius deh, bintang yang paling terang.” Tutur Evan. Matanya terus fokus pada langit. Aku diam untuk mendengarkan apa yang dia bicarakan. Pada dasarnya aku memang pendengar yang Setia.
“Suatu saat, aku pengen ada di sana. Ingin terang seperti sirius. Ingin Indah seperti sirius.” Katanya. Gak tau kenapa saat dia ngomong gitu, aku langsung merinding.
“berarti kamu bakal ninggalin aku dong kalo kamu kesana?” Tanyaku.
Evan tersenyum “Kalau saatnya tiba, terus kamu kangen sama aku. Peracayalah aku lagi memperhatikan kamu dari sana.”
“Ucapan kamu aneh.” Tutur ku. Evan tidak menjawab. Matanya masih terfokus pada langit.
“Van.” Seru ku. Evan menoleh ke arah ku yang sejak tadi memperhatikannya.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Kata ku mulai serius.
Evan diam sesaat, lalu berkata “Apa?”
“Tentang kita.” Kata ku. Evan masih memperlihatkan ekspresi yang biasa saja.
“Kita? Kita kenapa?” tanya Evan “kita baik-baik aja kan? Kita bahagia kan?” tanya Evan lagi. Kali ini dia duduk dengan mata yang masih melihat langit.
“Kamu sayang sama aku?” tanya ku.
“Tanpa aku jawab, kamu juga udah tahu jawaban aku apa.” Evan masih tetap tenang. Dia seperti tidak serius menanggapi perkataan ku. Dan itu membuat ku kesal.
“Van, aku serius. Tolong jawabnya serius juga.” Aku berdiri dan sedikit membentaknya. Evan menatap ku dan ikut berdiri.
“Iya, maaf ” Katanya. Jawabannya benar-benar membuat ku jengkel.
“Aku butuh kepastian dari kamu.” Tegas ku.
“Kepastian apa?” Tanya Evan.
“sampai kapan aku harus nunggu waktu yang kamu bilang itu? Kita deket, kita bahkan kayak orang pacaran. Tapi status kita apa Van?” nada ku sudah mulai berat karena menahan tangis.
“Hei, jangan nangis. Aku gak mau lihat kamu nangis.” Evan membujukku dan menyeka air mata yang mulai mengalir di pipi ku.
“Aku butuh status itu, aku butuh kepastian dari kamu.” Kata ku lagi.
“Kenapa Mei? Kenapa harus kayak gini coba?” Evan mulai terlihat bingung karena aku terus menangis.
“Kenapa sih Van, kenapa kayaknya berat banget buat kamu ngubah status kita dari temen jadi pacaran? Toh kita udah deket, udah sama-sama tahu perasaan masing-masing.” Aku terus mendesaknya di tengan isak tangis ku. Airmata ini sulit untuk di hentikan.
“Justru karena kita udah deket, kenapa harus merubah sesuatu yang jelas-jelas indah?” katanya.
“Kamu mau ingkar janji?”
Evan terdiam beberapa saat. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia fikirkan. Kenapa dia harus merasa serumit ini. Padahal dia bilang dia menyayangiku. Aku coba untuk memahaminya, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa memahaminya sedikitpun.
“Kenapa Van? Kenapa diem?” aku terus mendesaknya. Ada rasa jengkel karena dia tidak juga berkata sepatah katapun “apa waktu yang kamu maksud itu bohong? Kamu cuma mau mainin aku kan? Kamu cari celah buat bisa dapetin orang yang lebih baik dari aku kan?” saat mengatakan itu, ada sedikit sakit di bagian dada ku.
“jawab Van jangan diem aja.” Bentak ku, karena Evan terus saja diam. suara ku sedikit berteriak. Mungkin teman-teman ku juga mendengarnya, aku tidak peduli.
“MEI!” Bentak Evan. Tatapan ku menantangnya.
“Sejak kapan sih Mei? Sejak kapan kamu terobsesi banget sama yang namanya pacaran? Ini kayak bukan kamu yang aku kenal.” Evan sedikit membentak.
“Sejak dulu Van!” Rintih ku “sejak dulu aku nunggu kepastian dari kamu. Tapi kamu malah acuh dan biasa-biasa aja. Jahat kamu Van.”
Evan mulai pusing dan mengacak rambutnya. Dia menatap ku dalam-dalam.
“Bukannya selama ini kita bahagia ya Mei? Bukannya selama ini kita selalu bareng? Dan kamu juga tau perasaan aku kayak gimana, aku juga tahu perasaan kamu kayak gimana. Apa itu belum cukup Mei” tutur Evan. Suaranya mulai parau. Aku diam.
“Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli sama setatus atau apalah itu namanya. Karena aku tahu kita bahagia.” Tutur Evan. Air matanya mulai terjatuh.
“Sekarang apa lagi? Apa sepenting itu status buat kamu? Toh kayak gini juga kita baik-baik aja kan? Kamu bahagia kan Mei? Iya kan?” lanjut Evan.
“Kenapa? Kenapa sesulit ini?” teriak ku.
Aku tidak tahu sejak kapan Sandra dan Fitri berada di dekat ku. Saat melihat mereka berdua, Evan berniat untuk meninggalkan ku, tapi Sandra menarik tangannya kasar.
“Tunggu. Tanggung jawab lo jadi cowok.” Bentak Sandra. Aku masih sibuk dengan tangisan yang membuat dada ku sesak.
“Lo udah bikin temen gue nangis kayak gini. Terus lo mau pergi gitu aja?” Sandra seperti menantang Evan yang tubuhnya lebih tinggi darinya.
Evan mengusap wajahnya “Apa lagi sih sekarang?” seru Evan risih “masalah apa lagi sekarang?” Evan sedikit berteriak.
“Apa lagi Mei sekarang?” Tanya Evan.
Galang dan ke empat temannya menghampiri kami. Dia berdiri di belakang Evan. Evan memang terlihat sangat kacau. Tapi kenapa harus seperti itu. Aku juga masih tidak mengerti.
“Jangan pura-pura bego deh lo, selama ini lo gak pernah ngasih kepastian sama Mei. Cewek itu butuh kepastian Van. Jangan pengecut jadi cowok. Jangan cuma bisa kasih harapan palsu aja.” Sandra terus-terusan membentak Evan kali ini dia sambil menarik jaket yang Evan kenakan.
“Eh Ndra, biasa aja dong ngomongnya.” Bentak Bani.
“Apaan lo?” tantang Sandra. Aku tahu Evan terus memperhatikan ku.
“Nih cewek satu nyebelin banget ya!” seru Bani.
Aku menatap Evan dengan mata yang basah. Evan kembali menatap ku.
“Sini lo kalo berani!” kata Sandra.
Sandra dan yang lain malah ribut sendiri. Semakin mempersulit keadaan. Evan tetap saja diam. Diam seribu bahasa.
“DIAMM!!!!” Bentak Evan. Dengan seketika mereka semua diam. Suasana jadi hening sesaat.
“Siapa yang nyuruh lo ikut campur?” Evan membentak Bani.
“Siapa yang nyuruh kalian ada disini?” Bentak Evan. Semua teman-temannya menunduk seperti merasa bersalah.
“Van!” Galang berusaha menenangkan Evan “Tahan emosi lo Van, kita disini peduli sama lo.”
“Peduli?” Tanya Evan sinis “kalo kalian peduli sama gue, pergi sekarang!” Bentak evan.
“Kenapa Van? Kenapa harus sampe kayak gini?” tanya ku lirih “kenapa harus serumit ini?”
Evan menatapku dengan air mata yang terus mengalir.
“Dia emang gak niat buat memperjelas hubungan dia sama lo Mei.” Kata Sandra sambil membantu aku bangkit.
“Jaga mulut lo Ndra!” bentak Galang.
“Gue gak nyuruh lo ngomong Lang.” Kata Evan pelan.
“Tapi si Sandra omongannya udah keterlaluan Van. Gue gak terima.” Kini giliran Galang yang terbawa emosi.
“Lo gak terima apa? Emang kenyataannya kayak gitu. Gue brengsek, gue pengecut.” Evan terus memaki dirinya sendiri.
“Kenapa sih lo gak ngomong aja__” Galang menghentikan perkataannya saat Evan menarik bajunya.
“Jangan ikut campur urusan gue.”
“Lo udah lihat sendiri kan, cowok yang selama ini lo bangga-banggain ternyata seorang pengecut, brengsek. Dia cuma bisa nyakitin lo doang.” Tutur Sandra.
Evan belum terlihat membela diri. Dia masih membiarkan Sandra mencaci dirinya. Tiba-tiba Galang mencengkram baju Evan. Kami semua kaget di buatnya.
“Ini yang lo mau Van? Hah?” bentak Galang “Nama lo jelek dimata mereka Van. Kenapa lo gak bela diri? Jawab Van!”
Evan masih tetap diam.
“Dia diem karena dia ngerasa.” Kata Sandra.
“Diem lo!” bentak Galang.
“Kalo lo diem aja. Mati sekalian Van. Toh semua udah benci sama lo.” Bentak Galang. Dia mendorong Evan sampai terjatuh lalu melangkah pergi.
“Mati!” Seru Galang.
“Iya mending lo mati aja. Cowok brengsek kayak lo emang gak ada yang bisa di harepin.” Tutur Sandra. Aku tidak terima mereka memperlakukan Evan seperti itu. Bagaimanapun juga aku menyayanginya. Tapi kenapa Evan sama sekali tidak membela dirinya.
“Lo gak tau apa-apa. Jadi gak usah ikut campur!” seru Evan akhirnya buka mulut.
Mendengar Evan ngomong seperti itu membuat Sandra benar-benar marah sampai akhirnya menampar Evan. Ujung bibirnya sampai sobek karena tanparannya yang keras. Evan tidak membalas, dia hanya menatap Sandra dengan putus asa.
“Van!” seru Bani. Evan diam.
“Jangan ikut campur? Eh brengsek, lo udah bikin temen gue nangis dan lo bilang gue jangan ikut campur? Dasar sakit lo!” bentak Sandra.
“Lo bilang gue brengsek kan? Lo bilang gue pengecut yang gak bisa di harepin kan? Terus sekarang kenapa? Toh emang gak ada yang bisa di harepin dari gue.” tutur Evan.
Kepala ku seperti mau pecah, dada ku sesak sangat sesak. Aku tidak sanggup lagi untuk berdiri. Fitri memegangi tubuh ku.
“Jangan nangis Mei, nanti kamu sakit. Aku gak mau kamu sakit!” tutur Evan lirih.
Aku diam tidak menjawab.
“Aku minta kamu percaya sama aku. Itu udah cukup buat aku.” Katanya lagi. Lalu pergi meninggalkan ku, bersama teman-temannya.
“Tapi kamu juga bebas berhenti kalau kamu lelah. Aku gak akan maksa kamu.” Perkataan Evan semakin membuat hati ku sakit.
Setelah puas berkata yang tidak mengenakan, Evan meninggalkan aku. Apa yang bisa ku lakukan saat Evan pergi? Aku sudah tidak sanghup mengejarnya.
Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa? Kenapa harus seperti ini?
Evan malam ini seperti bukan Evan yang ku kenal. Dia benar-benar membuat hati ku sakit.
Aku tidak ingin ada pertengkaran. Aku tidak ingin ada yang saling menyalahkan. Aku hanya ingin kamu bilang Iya untuk Cinta kita Van. Itu udah cukup buat ku.
Fitri dan Sandra mengajak ku untuk pulang dan istirahat di kamar.
“Eh ini camera punya Evan kayaknya ketinggalan.” Kata Fitri saat kami akan pulang. Dia memberikan camera itu pada ku. Aku memegang camera itu kuat-kuat. Air mata yang tadi mulai berhenti sekarang tumpah lagi.
Kepala ku benar-benar terasa seperti mau pecah. Air mata ku juga tidak mau berhenti. Melihat aku seperti ini, Sandra terus marah-marah dan mengata-ngatai Evan dengan kata-kata kasar.
Setelah beberapa saat, Sandra memutuskan untuk keluar. Katanya mau membeli minum. Aku sama sekali tidak menghiraukannya. Fitri dan teman-teman yang lain pun hanya diam. Mereka mungkin bingung harus berbuat apa. Karena permasalahan yang tidak begitu mereka mengerti.
Ada sekitar satu jam Sandra pergi dan akhirnya kembali. Aku sudah berhenti menangis. Tapi hati ku masih saja terasa sakit. Kepala ku masih berat.
Ku lihat wajah Sandra beda dari biasanya. Dia seperti orang yang linglung. Wajahnya sedikit pucat. Matanya sembab. Aku tidak tau apa yang dia lakukan di luar sana selama satu jam tadi.
Dia duduk di tempat tidur sambil bersandar ke dinding.
“Kenapa?” tanyaku.
“Enggak.” Sahutnya pelan.
“Dari mana?” tanyaku.
“Beli minum.”
Malam ini akan terasa panjang untuk ku. Setiap aku mengingat kejadian tadi di pantai, rasanya aku ingin menangis lagi.
Sudah hampir jam 12 malam mata ku tidak juga mengantuk. Aku masih saja terbayang masalah tadi. Ku Lihat Sandra juga sepertinya belum tidur. Semenjak habis keluar tadi, sikap dia sedikit berubah. Agak pendiam.
“Ndra kamu belum tidur?” kataku sedikit berbisik. Sandra tidur disebelah ku.
“Belum.” Sahut nya pelan.
“Oh.”
Kami sama-sama diam.
“Mei, lo beneran sayang sama si Evan?” tanya Sandra.
“Iya aku sayang. Tapi aku gak tahu sekarang harus gimana.” Kata ku. “apa mungkin aku harus jauhin dia ya Ndra, kamu bener dia brengsek, paling dia cuman mempermainkan aku doang.”
“Jangan Mei.” Katanya cepat.
Aku duduk dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa?”
Sandra terlihat bingung sendiri.
“Kenapa Ndra? Perasaan tadi juga kamu yang ngotot ngata-ngatain dia kan?” tanyaku heran. Sepertinya memang ada yang mengganggu fikirannya. Sandra bukan tipe orang yang dengan mudah berubah fikiran.
“Ya gini maksud gue, katanya kan lo sayang sama dia. Kalo lo sayang sama dia, kenapa harus jauhin dia.” Mendengar Sandra ngomong seperti itu, membuat ku semayin yakin. Mamang ada yang tidak beres dengannya.
“Apa yang kamu sembunyiin dari aku?” tanya ku. Ku tatap Sandra lekat-lekat. Dia tampak menghindari tatapan ku.
“Enggak ada Mei, nyembunyiin apa coba.”Sandra tidur membelakangi ku.
“Kenapa sekarang kamu seolah ngedukung aku sama Evan? Tadi di pantai jelas-jelas kamu maki-maki Evan.” Kataku. Sandra hanya diam.
“Sandra! Aku ngomong sama kamu!” seruku.
“Mei, mungkin aja kan si Evan punya alesan kenapa dia gak memperjelas hubungan kalian. Jadi positif thinking aja lah Mei.” Katanya.
“Kamu aneh.”
Aku langsung tidur dan menutup seluruh badan ku dengan selimut.
Setelah selesai membereskan barang-barang dan sarapan, kami langsung menuju parkiran.
Selamat tinggal Jakarta. Sampai bertemu lain waktu. Terimakasih karena telah memberikan kebahagian selama beberapa hari kemarin. Maaf kalau ada airmata yang tertinggal. Ku harap kamu bisa memakluminya.
Aku melirik ke arah Evan yang sejak tadi menutup telinganya dengan earphone. Wajahnya tidak segar sama sekali. Dia seperti tidak tidur semalaman. Mungkinkah dia tidak bisa tidur sama seperti aku? Mungkinkah dia memikirkan ku sama seperti aku memikirkannya?
Evan kenapa semua jadi seperti ini? Apa aku salah meminta kepastian dari kamu? Aku percaya kamu menyayangiku Evan. Dan kamu juga tahu aku menyayangimu. Tapi yang membuat ku bingung, apa yang membuat mu berat mengambil keputusan? Apa ada orang lain? Apa ada hati lain yang harus kamu jaga selain hati ku?
Setiap kali aku memikirkan itu kepalaku rasanya mau pecah. Dan air mata ku benar-benar tidak bisa terbendung lagi.
“Van, kemana si Evan, biasanya rame?” sindir Anto. Aku dan Sandra menoleh ke arah Evan. Dia diam saja. Mungkin tidak dengar karena kupingnya menggunakan earphone.
Bus terasa sepi sekali. Tidak seperti pas berangkat. Kenapa semuanya jadi pendiam. Sandra juga jadi pendiam.
Bus yang kami naiki ternyata ada kendala bannya mengalami kebocoran dan harus di ganti, terpaksa kamu semua turun dulu dari bus.
Aku memperhatikan Evan yang terlihat sangat lesu. Evan mengambil sebatang rokok dari kotak rokoknya. Aku baru tahu kalo Evan mulai merokok. Perasaan dia dulu pernah bilang sudah berhenti meroko karena pernah sakit pernafasan. Tapi kenapa sekarang dia merokok lagi.
Hisapan demi hisapan dia nikmati, entah berapa Batang rokok dia hisap sampai terbatuk-batuk. Tiba-tiba Galang datang dan membuang rokok yang sedang dia nikmati.
“Apaan sih.” Evan terlihat sangat kesal.
“Udah Van. Berhenti ngerokok.” Bentak Galang. Suara Galang terdengar keras. Sampai-sampai hampir semua orang memperhatikannya termasuk guru-guru yang sedang ngerumpi di warung. Evan menatap Galang dengan tajam. Tangannya meremas satu bungkus rokok yang dia pegang.
“Gue buang. Puas!” kata Evan sambil melempar rokok dan juga korek apinya.
Evan langsung pergi dan menjauhi kami. Dia duduk di sebuah kedai tutup sambil memperhatikan jalanan yang sepi. Aku ingin menghampirinya. Aku ingin ngobrol dengannya. Aku ingin bercanda lagi dengannya. Tapi semua itu ku tahan karena masih ada sakit yang tersisa di hati ku. Tak terasa air mata ku mulai menitik.
Sandra memegang pundak ku “Jangan nangis lagi.” Katanya sedikit berbisik.
Aku coba sekuat tenaga untuk menahan air mata ini agar tidak jatuh. Aku sedang tidak ingin melihat Evan. Tapi mata ku terus mencari sosok itu. Ah, aku saat ini benar-benar sedang emosional.
Andai saja peristiwa malam itu tidak terjadi.
Bus akhirnya selesai di perbaiki. Dan kami melanjutkan perjalanan. Sejak tadi Evan memegangi dadanya. Apa mungkin dia susah bernafas lagi seperti waktu itu.
Ku pakai earphone dan ku tutup wajah ku dengan kupluk jaket yang ku pakai. Mata ku perih rasanya. Aku coba pejamkan mata ku sambil menikmati lagu-lagu Adele.
Aku terbangun saat bus berhenti. Ku kira sudah sampai ternyata waktunya istirahat. Sandra mengajak ku keluar. Tapi aku menolak karena cape. Aku putuskan untuk tidur saja. Toh cemilan ku masih ada kalo nanti semisal aku merasa lapar.
Di dalam bus hanya menyisakan aku dan Evan di kursi paling depan ada Tita yang kelihatannya sedang tidur. Aku memperhatikan Evan yang masih tertidur. Matanya sedikit berkedip-kedip karena terkena sinar matahari. Dia terbangun lalu menutup kacanya.
Evan menoleh ke arah ku. Biasanya dia tersenyum setiap kali melihat ku. Tapi kali ini tidak. Wajahnya sama sekali tidak berekspresi sedikitpun.
Dia kembali duduk dan memainkan handphone yang ada di tangannya. Aku ingin sekali menyapanya. Tapi selalu ku urungkan. Dia terdengar batuk-batuk tidak berhenti. Aku meliriknya dengan ujung mata ku. Dia sedikit menunduk dan menyandarkan kepalanya ke kursi depan.
“Van, kamu baik-baik aja.” Aku ingin bertanya seperti itu. Tapi kenapa sekarang seperti ada jarak di antara aku dan dia.
“Ah!!” seru Evan kesal karena batuknya tidak kunjung berhenti. Dia bangkit dan turun dari bus tanpa menoleh ke arahku.
Sakit sekali rasanya hati ini. Apa mungkin aku benar-benar akan kehilangan dia. Rasanya baru kemarin aku dan dia bersenang-senang. Rasanya baru kemarin aku dan dia menghabiskan waktu bersama. Rasanya baru kemarin aku dan dia jadi penguasa bumi ini. Ku ambil camera Evan yang masih ku simpan sejak semalam. Ada banyak foto-foto kami di sana. Sesekali aku tersenyum sambil menahan tangis. Aku benar-benar merindukannya.
Kami melanjutkan perjalanan. Ini sudah mau senja. Matahari yang tadinya bersinar terang, kini berubah warna menjadi orange. Indah sekali. Evan sangat menyukai pemandangan langit.
Ah, kenapa? Kenapa selalu saja berhubungan dengannya. Baru saja aku sedikit tenang. Kenapa harus mengingatnya lagi.
“Mei, lo baik-baik aja?” tanya Sandra karena mendengar isakan ku.
“iya gak papa ko.”kata ku.
“Jangan nangis terus Mei, nanti lo sakit.” Kata Sandra.
“Aku pengen cepet pulang. Aku pengen cepet ketemu ibu.” Rintihku. Sandra memeluk ku.
“Iya ini kan kita lagi perjalanan pulang. Lo tenang ya.” Bujuk Sandra.
“Kenapa Cinta ada cuma buat nyakitin Ndra? Kenapa jatuh cinta harus sesakit ini?” rintihku. Aku tidak sadar dengan volume suara ku yang mungkin keras. Beberapa orang di bus menoleh ke arah ku. Termasuk Galang dan Evan.
Aku menatap Evan dengan mata yang basah. Raut wajahnya menyiratkan rasa bersalah. Evan membuang tatapannya dari ku. Aku kembali bersandar pada Sandra.
“Sabar ya. Lo pasti bisa lewatin semua ini.” Tutur Sandra. Dia mengelus kepala ku. Aku masih terisak tapi tidak sehebat tadi. Tiba-tiba handphone ku berdering tanda ada pesan masuk. Saat aku buka ternyata dari Evan.
“Jangan nangis. Mata kamu udah kelihatan bengkak. Maaf udah bikin kamu sakit hati. Jangan nangis ya. Aku gak mau lihat kamu nangis lagi.” Isi pesan dari nya. Aku menoleh ke arahnya. Evan sedang sibuk memainkan handphonenya.
Aku hanya membalas “iya.” Dan sudah, dia juga tidak membalas lagi.
Selama sisa perjalanan aku habiskan untuk tidur. Dan akhirnya sampai juga di parkiran sekolah. Banyak mobil-mobil dan motor berjejer yang mau menjemput, salah satunya adalah ibu ku dan mungkin orang tua Evan juga.
“Hai sayang, gimana liburannya? Menyenangkan?” tanya Ibu saat aku menghampirinya. Aku hanya mengangguk.
“Mei duluan ya.” Seru Sandra dari dalam mobil yang lewat di hadapan ku. Aku mengangguk.
Ku lihat Evan juga sudah di jemput. Wanita setengah baya itu pasti ibunya. Dan anak kecil perempuan itu pasti adiknya yang bernama wikeu yang dulu pernah di ceritakan.
“Langsung pulang apa cari makan dulu?” tanya Ayah yang ternyata ada di dalam mobil.
“Ayah juga ikut jemput.” Kata ku sambil tersenyum
,“Iya dong, ayah kan kangen juga sama Putri ayah.” Kata ayah.
“Langsung pulang aja yah.” Pinta ku lalu masuk mobil.
Beruntungnya besok hari minggu, aku bisa tidur sepuas ku. Dan melupakan masa-masa suram kemarin. Ku harap hari senin nanti sudah berubah seperti biasanya.
Tadinya aku mau menceritakan semuanya pada Ibu. Tapi ku urungkan niat ku. Aku tidak mau nama Evan jelek di mata ibu. Bagaimanapun juga, aku masih menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI DI MUSIM DINGIN
Teen FictionTuhan mempertemukan aku dengannya bukan tanpa alasan. Aku melengkapi dia, dia melengkapiku. Kisahnya akan ku ceritakan pada kalian. Walaupun hanya dari sebuah tulisan, ku harap kalian bisa ikut merasakan. Happy reading