Mengaku Rindu

2 1 0
                                    

Mengaku Rindu

Menikmati indahnya sore berdua dengan Evan membuatku bahagia. Mungkin akulah orang yang sangat bahagia saat itu. Evan sengaja mengendarai motornya secara perlahan. Sesekali dia menatap ku dari kaca spion motornya. Aku tersenyum saat melihat dia mengulurkan lidahnya, seolah dia sedang mengejek ku. Aku pun balas mengejeknya.
Menurutku bahagia itu sederhana. Sesederhana saat kita mengedipkan mata. Kamu yang membuat ku bahagia Evan. Tanpa terasa aku sudah memeluknya dari belakang. Evan tidak menolak. Dia sesekali memegang tangan ku.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Evan berhenti dan membuka helm yang dia pakai. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesekali memijat keningnya. Bisa ku lihat dari kaca spion dia memejam-mejamkan matanya.
“Kenapa Van?”tanya ku mulai khawatir.
“Enggak.” Jawab Evan. Dia langsung memakai kembali helm nya dan menancap gasnya. Kali ini kaca helmnya dia tutup. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena kaca helm itu berwarna gelap.
Kami mampir ke sebuah kedai bakso di pinggir jalan. Saat motor berhenti aku segera turun dan menatap Evan lekat-lekat. Evan terlihat sangat bingung dengan tingkah ku.
“Kenapa?” tanya Evan.
“Are you oke?” tanya ku. Evan tersenyum sambil mengangguk.
“Makan di pinggir jalan gini, gak papa?” tanya Evan canggung.
“Gak papa lah. Apa lagi aku suka bakso.” Sahut ku sambil pergi meninggalkan Evan dan mencari tempat yang lesehan.
Setelah selesai memesan, Evan datang menghampiriku dan duduk di depan ku. Tak lama setelah itu ada pelayan yang menanyakan kami mau minum apa. Aku memesan es jeruk. Karena aku suka sekali es jeruk. Evan hanya memesan air putih. Dengan keringatnya yang bercucuran seperti itu, aku kira dia akan memesan es. Tapi ternyata hanya air putih.
“Kamu gak pesan es?” tanya ku.
“Enggak, lagi gak enak tenggorokan.” Sahutnya sambil memainkan handphonenya. Aku hanya mengangguk.
Pesanan kami akhirnya datang. Kebiasaan ku saat makan bakso, menuangkan saos dan cabe yang cukup banyak. Aku sangat suka pedas. Ya walaupun aku pernah bermasalah dengan pencernaan ku, tapi aku tidak pernah kapok.
“Gak dikasih sambal?” tanya ku.
“Enggak, enakan bening.” Sahut Evan.
“jangan kebanyakan makan pedes. Nanti sakit perut.” Kata Evan, aku hanya tersenyum.
Saat selesai makan, Evan pindah duduk jadi di sampingku.
“Besok dan beberapa hari ke depan, aku gak kesekolah. Gak papa kan?” tutur Evan. Aku menatapnya seolah mencari jawaban.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ada urusan. Paling 3 hari.” Jelasnya. Aku menunduk sambil memutar-mutar handphone ku.
“Cuma 3 hari Mei. Kan sebentar.” Kata Evan, dia memegang pundakku dan menunduk mencari wajahku yang terhalang oleh rambut yang terurai.
“Ada urusan apa sih?”
Evan terdiam “Nengok sodara di Bandung.” Jelas Evan.
“Oh,  sodara kamu ada yang sakit?” tanya ku.
Evan mengangguk pelan “Gak papa kan?” tanya Evan .
“Iya, tapi jangan lupa kasih aku kabar ya.” Entah kenapa aku jadi begitu manja padanya. Aku tidak merasa malu dengan hal itu. Evan membenahi rambutku yang terlihat acak-acakan.
“Iya, pasti.” Sahut Evan pelan.
“Jangan bohong!” ancamku.
“Kapan aku bohong sama kamu?” tanya Evan. Aku tersenyum dan menggeleng.
Kami memutuskan untuk pulang karena hari sudah sore. Pulang ke rumah pasti ibu wawancara karena aku pulang terlambat. Dan lagi aku pulang di antar oleh laki-laki.
“Kamu gak akan kena marah kan?” tanya Evan ketika dalam perjalanan.
“Enggak, aku kan bisa cari alasan ada kegiatan dulu di sekolah.” Sahut ku.
Ku lihat Evan tersenyum simpul “Jangan bohong. Jujur aja, apa perlu aku yang ngomong dan minta maaf?” tanya Evan.
“Emang kamu mau ngomong gimana sama ibu?” tanyaku.
Evan diam sebentar “Bu, maaf Mei nya saya pinjam dulu tadi.” Katanya
“Hahahaha, pinjam? Emang aku buku.”
“Bu, maaf pulangnya terlambat, tadi saya ajak Mei makan bakso dulu.” Kata Evan lagi.
“Kenapa di ajak makan Bakso?” kataku seolah menjadi ibu.
“Karena uang saku saya Cuma cukup buat beli bakso.”katanya.
“Kere.” Kataku.
“Hahaha.”
“Biar aku aja yang bilang.” Kataku.
“tapi jangan bohong.” Katanya.
“Iya aku gak akan bohong.” Jawab ku.
“Salam ya.” Kata Evan. Dia menatap ku lewat spion. Wajahnya terlihat begitu lelah dan tidak bersemangat. Mungkin dia kelelahan karena kegiatan tadi dan katanya semalam juga dia kurang tidur.
“Iya.”
Evan menutup kaca helmnya dan fokus menjalankan motornya. Aku memeluknya erat. Sangat erat. Sekitar 45menit akhirnya sampai di depan rumah. Evan tersenyum saat melihat ku sudah berdiri di depan pagar.
“Oh, ini ternyata rumahnya.” Katanya.
Aku tersenyum.
“Mampir dulu?” tanya ku.
“Lain kali aja ya.” Jelasnya “udah gih buruan masuk!”
“Kamu juga buruan pulang. Istirahat ya.”
“Iya.” Jawabnya.
“Van, kabarin aku ya.” Kata ku. Evan mengangguk dan pergi.
Aku memasuki rumah tanpa minat. Memikirkan beberapa hari kedepan aku tidak bisa melihatnya. Rasanya aku juga malas untuk sekolah. Tapi jika aku tidak sekolah pun aku tidak bisa bertemu dengannya.
Rupanya Ibu dan ayah melihat ku yang datang tanpa mengucap salam, justru malah sambil melamun. Ibu berulang kali menegurku tapi aku tidak menjawab. Bukan karena tidak sopan tapi memang aku tidak dengar.
“MEILISA!” terdengar suara ayah yang menggelegar.
Aku menengok berat ke arah ayah dan ibu yang sedang duduk di ruang tamu. Ayah terlihat mengernyitkan dahinya.
“Kamu ini di panggil ko diem aja.” Kata ibu sambil berjalan menghampiri ku.
“Maaf bu, aku ngelamun.”
“Ya sudah buruan mandi.” Kata Ayah.
“Iya yah.”
Aku membandingkan tubuhku di tempat tidur. Ku tatap langit-langit kamar ku yang tiba-tiba di penuhi dengan bayangan Evan yang sedang tersenyum. Mungkinkah ini yang dinamakan kasmaran? Sebahagia ini kah? Aku berharap kebahagiaan ini tidak pernah berakhir.
***
Waktu makan malam tiba, ibu dan ayah sudah menunggu ku di meja makan.
“Nih ibu masakin makanan kesukaan kamu.” Tutur ibu.
Ayam goreng balado dan tumis kangkung. Itulah makanan kesukaan ku.
“Makasih ibu.”
“Tadi kamu main sama dia?” tanya ayah.
Aku mengangguk.
“Siapa dia Mei?” tanya Ayah lagi.
“Teman satu sekolah yah.” Jawab ku “kita Cuma makan bakso aja ko yah, gak main kemana-kemana.” Jelas ku.
Ayah tersenyum dan mengangguk.
“Kalo mau pulang telat kasih tau Ibu ya, biar ibu ada jawaban kalo di tanya sama ayah.” Tutur ibu.
Aku hanya mengangguk “Maaf ya Bu.”
“Iya, jangan di ulangi lagi.”
“Iya.”
Acara makan malam selesai, aku langsung masuk kamar mempersiapkan buku-buku pelajaran untuk besok. Tidak lama setelah aku sampai kamar, ibu menyusulku dan menghampiri ku yang sedang memilih-milih buku.
“Pacar kamu ya?” tanya ibu.
Aku menatap ibu, ibu tersenyum dan merapikan rambut ku.
“Dia baik bu, dia bilang dia suka sama Mei.” Kata ku. Aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari ibu.
“Terus gimana? Mei bilang apa?” tanya ibu lagi.
Aku menggeleng.
“Kamu gak mau?” tanya ibu lagi.
Aku menggeleng “aku gak jawab apa-apa bu, dia bilang katanya dia minta waktu buat jadi orang yang lebih pantas lagi untuk aku.” Tutur ku
“Dia baik bu, dia juga menghargai perempuan. Dia gak pernah kasar meskipun aku yang salah.” Lagi dan lagi aku memuji Evan di depan Ibu.
“Iya, tapi jangan sampai ganggu sekolah kamu ya.” Kata ibu.
“Iya bu.”
Ayah dan ibu memang tidak pernah melarang aku dekat dengan siapapun asalkan aku tidak boleh kehilangan prestasiku.
“Ada salam dari Evan bu!” seru ku saat ibu hendak meninggalkan kamar.
“Oh namanya Evan.” Kata ibu “wa’alaikumsalam.”
Matahari sudah menyuruhku bangun. Rasanya baru beberapa jam mata ku terpejam. Kenapa pagi begitu cepat. Ada beberapa pesan masuk di ponsel ku. Ternyata Evan jam 4 pagi tadi mengirim ku pesan
“Selamat pagi Mei, jangan lupa sarapan ya, hati-hati kalo naik motor. Belajar yang serius ya. Maaf kalo nanti aku gak ada kabar aku agak sibuk. Nanti kalo semuanya udah beres aku hubungin.”
Kurang lebih seperti itu isi pesan singkat dari Evan. Saat aku telepon ternyata nomor nya tidak aktif. Mungkin dia benar-benar sibuk. Tapi aku senang dia masih menyempatkan waktunya untuk mengabariku.
“Ndra, kantin yuk! Laper banget.” Ajak ku pada Sandra yang sedang asyik ngisi TTS.
“Ayo.” Sandra menutup TTSnya.
“Gue gak lihat Evan, dia bolos lagi kayaknya. Iya kan Fit?” tanya Sandra pada Fitri yang baru saja bergabung di kantin bersama kami.
“Gak tau, iya paling. Gak ada surat keterangan juga. Tapi guru-guru gak nanya juga.” Jelas Fitri dengan mulut penuh batagor.
“Dia izin, sodaranya ada yang sakit.” Sahut ku.
“Bilang sama kamu Mei?” tanya Fitri heran. Fitri memang belum tahu kedekatanku dengan Evan.
“Iya atuh pasti, kan si Mei pacarnya.” Goda sandra. Fitri semakin heran di buatnya.
“Sejak kapan? Kenapa gak cerita ih.” Fitri menggerutu kesal.
“Belum jadi pacar ih. Masih dalam tahap pendekatan.” Jelasku sambil tersenyum.
Mereka berdua hanya mengangguk.
“Akhirnya seorang Meillisa takluk juga sama seorang Evan.” Aku tahu Sandra meledek ku. Tapi aku malah senang mendengarnya.
Hari ku kali ini cukup membosankan. Dari terahir Evan kirim pesan, nomor nya masih tetap tidak aktif. Apa mungkin jenguk orang sakit sampai handphone pun harus di matikan. Aku mulai berfikir aneh tentang dia, tapi sekuat tenaga aku tepis fikiran itu. Aku percaya Evan tidak berbohong. Dia berjanji akan menghubungiku kalo urusannya sudah selesai.
Sudah dua hari Evan tidak ada kabar. Aku sempat kesal menunggunya. Untuk makan pun aku malas karena menunggu kabar darinya. Aku ingin memarahinya kalau nanti dia menghubungi ku.
Sudah jam 10 malam, Evan belum menghubungiku. Aku lelah menunggu dan memutuskan untuk tidur. Tadinya handphone akan ku matikan, tapi aku memilih untuk tetap menghidupkannya.
Dering telepon ku berbunyi saat aku akan memulai mimpi ku. Ku lihat nama Evan yang muncul di layar ponsel ku.
“Halo!” seru ku. Tidak ada suara apapun di seberang sana
“Van?”
“Mei!” akhirnya aku mendengar suara Evan yang beberapa hari ini aku rindukan. Suaranya yang selalu membuat ku tenang.
“Kamu baik-baik aja kan?” tanya ku. Suara Evan memang terdengar lemas.
“Iya baik. Kamu nunggu aku?”
“Enggak.” Aku sedikit jual mahal. Evan tertawa pelan.
“kalo enggak, kenapa jam segini belum tidur?”
“aku baru mau tidur, tapi ada telepon dari kamu, gak jadi deh tidurnya.”
Evan terdengan menarik nafas berat.
“Berarti aku ganggu dong?” tanya Evan. Aku diam.
“Mei? Kamu tidur.”
“Enggak.”
“Ngantuk ya? Ya udah tidur aja.”
“Van, aku rindu.” Bisik ku
“aku rindu, kapan kamu sekolah lagi?” Aku benar-benar merindukannya. Mungkin ini berlebihan, tapi itulah yang kurasakan.
“Jangan nangis dong!” ternyata Evan menyadarinya
“Enggak! Siapa yang nangis.” Protesku sambil tersenyum.
“Besok aku pulang, lusa kita ketemu di sekolah. Tunggu ya.” Katanya.
“Janji?”
“Iya, do’ain semua baik-baik aja.
“amin.” kataku
“kamu cepet tidur, jangan nangis. Mimpi Indah ya. Biar aku tutup teleponnya”
Aku tidak berkata apapun sampai Evan menutup teleponnya. Aku agak sedikit tenang setelah mendengar suaranya, setidaknya dia baik-baik saja. Ku harap aku bisa tidur nyenyak dan bermimpi tentangnya.
***
Hari ini full tidak belajar karena guru-guru sedang rapat. Cuaca sore ini cukup mendung dan aku tidak membawa jas hujan. Ku harap tidak turun hujan sebelum aku sampai ke rumah.
“Mei, duluan ya.” Seru Sandra yang sudah naik motor bersama Andi.
“Iya.”
Lagi-lagi motor ku tidak bisa di starter, padahal sudah di service, sekolah sudah mulai sepi.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seseorang yang berada di belakang ku.
“Iya nih, tolong dong, motor ku gak bisa di starter.” Aku bicara tanpa menoleh ke arah nya.
“Sini, biar aku lihat.” Pinta orang itu. Saat aku berbalik badan, ternyata Evan yang ada di belakang ku. Penampilannya sedikit lusu, dan ku rasa tubuhnya terlihat lebih kurus. Dia mengenakan baju panjang berwarna hitam bertuliskan Metallica. Dia terlihat seperti tidak baik-baik saja.
Aku hanya bergemim saat Evan memperbaiki motor ku sampai akhirnya motor ku bisa di hidupkan.
“Udah nyala.” Katanya. 
Aku memegang pipinya yang hangat. Bibirnya kering tapi terlihat merah, matanya seperti orang yang kurang tidur. Evan memegang tanganku. Aku merasakan telapak tangannya yang dingin.
“Kamu baik-baik aja kan?” tanya ku. Evan hanya tersenyum lalu mengangguk.
“Pulang gih, udah mau hujan.” Katanya, lalu dia memakaikan helm di kepalaku dan merapikannya.
“Kamu sakit?” tanya ku lagi.
“Enggak Mei, aku kan habis perjalanan, jadi lusu kayak gini. Aku baik-baik aja.” Jelasnya “aku kesini buat mastiin kamu gak bolos sekolah.” Sambungnya lalu mengetuk helm yang kukenakan.
“Aku kangen kamu.” Kataku dengar suara yang berat. Evan tersenyum dan mencubit hidung ku.
“Kan udah ketemu. Harusnya besok, jadi sekarang kan ketemunya.” Katanya.
“Ini bonus buat kamu, karena sabar nunggu aku.” Katanya lagi.
Kami sama-sama diam. Ku perhatikan Evan yang sekarang ada di hadapan ku. Ternyata aku benar-benar menyayanginya. Jangan tanya sejak kapan, karena aku juga tidak menyadarinya. Perasaan ini mengalir begitu saja. Aku tidak mau sedetikpun waktu ku hilang tanpa menatapnya.
“pulang gih udah mau hujan.”
“Iya aku pulang ya.”
“Hati-hati!” seru Evan, aku mengangguk.
Hampir semalaman Evan menelpon ku, aku memintanya untuk menemaniku sampai tertidur, dan dia tidak keberatan. aku sampai tidak tahu kapan dia mematikan teleponnya. Aku tidak peduli status apa yang kini mengikat kami. Yang aku tau aku menyayanginya dan dia juga menyayangiku.
Aku berterimakasih karena waktu telah mempertemukanku dengannya. Aku yakin semuanya tidak berjalan secara kebetulan. Selalu ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Terimakasih Tuhan.
Hari ini Evan berjanji untuk menjemputku di rumah. Kita akan berangkat kesekolah bareng. Aku senang karena bisa naik motor berdua lagi dengannya.
“Gak bawa motor Mei?” tanya ibu saat aku sedang menunggu Evan di depan rumah. Aku menggeleng.
Ayah sudah berangkat pagi tadi karena harus melakukan rapat di luar. Ibu baru saja akan berangkat.
“nunggu Evan ya?” tanya ibu. Aku mengangguk lalu tersenyum.
“Ah ibu juga nanti dulu berangkatnya, pengen tahu seperti apa sih Evan itu.” Goda ibu.
“Dia itu mirip aktor korea bu.” Balasku bergurau. Ibu tersenyum.
Tidak lama setelah itu Evan datang dan masuk ke halaman rumahku,  kebetulan pagar rumah belum di tutup saat ayah pergi tadi.
“Ih kasep nya.” Puji ibu saat Evan membuka helmnya. (Ih cakep ya) Evan tersenyum dan berjalan ke arah kami. Lalu dia mencium tangan ibu.
“Assalamualaikum bu.” Sapa Evan. Dia tidak terlihat canggung sama sekali.
“Oh ini aktor korea nya Mei?” ibu menggoda ku. Evan melirikku sambil mengernyitkan dahinya.
“Udah ah, ayo Van berangkat.” Ajak ku.
“Pake helm dong biar aman.” Kata Ibu.
“Pake helm kamu ya, aku bawa satu soalnya.” Tutur Evan. Aku masuk ke dalam untuk mencari helm ku.
“Oh jadi kamu anaknya Ibu Susi.” Tutur ibu. Aku berdiri di belakang pintu untuk mendengarkan sedikit percakapan mereka.
“Iya bu, anak ke 2.” Sahut Evan.
“Berarti Wikeu juga adik kamu dong. Dia murid ibu loh.” Kata ibu lagi.
“Iya, dia adik saya. Nakal ya bu anak nya?”
“Namanya juga anak kecil.”
“Maaf ya bu kalo dia suka bikin ulah.”
“Enggak papa. Wikeu anaknya pintar.”
Itulah sedikit percayapan Evan dengan ibu ku. Kami langsung saja berangkat ke sekolah.
Setelah agak jauh dari rumah, Evan menghentikan motornya.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Udah jauh, mau meluk gak?” tanya dia.
“Hahaha. Mau.” Kataku. Aku memeluknya dengan sangat erat.
Dia tersenyum “sisain sedikit biar aku bisa nafas ya.” Katanya.
“Hahaha. Enggak mau ah.”
Evan melajukan motornya kembali.
“Ih nanti aku gak bisa nafas, emang kamu mau kasih nafas buatan?” katanya.
“Sebelum aku kasih nafas buatan, aku harus tanya sesuatu dulu sama kamu.” Kataku.
“Apa?”
“Kamu bener-bener gak bisa nafas atau cuma cari kesempatan?”
“Hahahahahaha.” Kami sama-sama tertawa.
“kalo cari kesempatan? Kamu bakal nolak?”katanya.
“Fikir-fikir dulu deh.” Kataku.
Evan tertawa. Aku juga ikut tertawa.
“Masuk gih, sebentar lagi bel.” Katanya setelah kami sampai.
“Kamu mau kemana?” tanya ku.
“Mau ke ruang guru sebentar.”
“Mau ngapain?” tanyaku.
“Aku takut guru-guru juga kangen. Sama kayak kamu kangen aku.” Katanya.
“Oh ya udah. Hati-hati ada pak Haris.” Kataku. Pak Haris adalah guru BP yang selalu mengejar-ngejar Evan saat razia rambut.
“Gak takut.” Katanya setelah itu dia berlari menuju ruang guru. Sedangkan aku pergi ke kelas sambil bersiul. Benar-benar pagi yang indah. Idah sekali.

MENTARI DI MUSIM DINGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang