Chapter 3: Perjanjian

474 77 6
                                    

Dua setengah tahun yang lalu, Marley

'Hari yang melelahkan' menikmati sedikit alkohol dan duduk di bar sepi selama beberapa jam bersama rekan aliansi membuat Pieck merasa lelahnya sedikit terangkat.

Armin dan Annie sudah lebih dahulu pulang sejak setengah jam yang lalu. Sepertinya hubungan mereka mulai terlihat jelas. walaupun Pieck tidak pernah bertanya pada mereka detailnya. Mereka tahu Armin sering mengunjungi Annie dan ayahnya, seperti makan malam bersama atau hanya sekedar berbincang bersama ayahnya.

"huuuuaaaaa.... Historia...." Pieck agak terkejut dan menoleh ke arah meja yang ada di belakangnya. Dia melihat Reiner yang menjatuhkan pipinya di meja dan merengek, sepertinya dia mulai menggila karena alkohol dan mulai tidak terkendali.

"ayolah Reiner, hentikan. kau memalukan sekali." Connie mencoba mengangkat Reiner dari tempat duduknya. "sepertinya aku akan kembali bersama bajingan ini. walaupun kita sudah meberitahunya sejak lama kalau Historia sudah menikah dan punya seorang putri, tapi dia tidak pernah berhenti merengek."

"aku rasa aku akan tetap disini sebentar." Jean membantu Connie untuk merangkul Reiner yang setengah sadar.

"aku juga masih ingin di sini." Pieck langsung memberitahu Connie sebelum dia bertanya.

"Baiklah, kalau begitu, kami duluan." Connie berjalan menuju pintu keluar. Pieck hanya mengangkat gelasnya dan mengangguk.

Jean berjalan kearah meja bar dan duduk di sebelah Pieck. Untuk beberapa saat tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka berdua. Mereka hanya terdiam dan menikmati alkohol di gelas mereka.

Jean menoleh kearah Pieck yang sedang terpejam sambil mendengarkan musik jazz yang sedang di putar di bar. Rambut hitamnya menutupi setengah wajahnya. Jean hanya menatapnya. Tanpa sepengetahuan Pieck, Jean merentangkan tangannya kearah wajah Pieck, menyentuh rambut yang menutupi sebagian wajahnya dan mengaitkannya di belakang telinganya. Pieck seketika membuka matanya dan menoleh kearah Jean dengan wajah heran.

"Kau sangat cantik." Jean melontarkan kalimat itu begitu saja.

Pieck langsung heran dan terkejut, "apa?" lalu dia tertawa kecil, "tunggu, kau menggodaku?"

Jean langsung tersadar dan menarik tangannya kembali dengan wajah Pieck yang masih tersenyum,
"maaf.. aku tidak bermaksud begitu."

"apa kau sudah mabuk?" Pieck masih tertawa kecil.

"apa itu begitu buruk? hingga kau menertawaiku." Pria tinggi itu kembali menoleh ke arah Pieck.

"sejujurnya, kau terlihat seperti seorang pria yang sedang patah hati. tunggu.. apa kau sedang patah
hati?"Pieck bergerak sedikit dari tempat duduknya agar bisa menghadap ke arah dimana Jean duduk.

"apa? tidak.. aku tidak sedang patah hati." Jean menyangkalnya.

"ayolah.. beritahu aku. Kita teman kan. siapa dia?" Pieck merasa penasaran.

"baiklah, aku tidak akan memberitahumu siapa. tapi ya, aku patah hati. Tapi itu sudah lama sekali." Jean akhirnya memberitahunya sambil menatap gelasnya, memegang ujung mulut gelas dan memutar-mutarnya.

Wanita mungil itu tertawa kecil, "hmm.. itu menjelaskan kenapa kau sangat buruk dalam menggoda dan kau terlihat seperti seorang pria yang sangat ingin bercinta tapi kau tak bisa." Pieck kembali keposisinya dengan menghadap ke arah yang sama dengan Jean.

Jean tersenyum, "aku hanya ingin bercinta dengan orang yang ku sayangi. Kenapa kau berfikir aku sanggat buruk dalam menggoda?" pria itu menolekan wajahnya kearah Pieck dan melontarkan pertanyaan itu.

Indo Ver. Just a game (JeanPiku Fic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang