"Sorry telat, Ye. Bu Dian, maaf tadi saya ada urusan keluarga." Jean membungkukkan badannya menghadap seorang wanita paru baya yang menggunakan dress merah selutut.
"Tidak apa-apa, langsung saja temui Mila di sana dan segera lakukan pemotretan." Jean langsung mengangguk lalu menemui Mila, stylist yang sudah di tugaskan Bu Dian.
"Oke, Jean pose nya lebih tajam lagi matanya. Iya tahan sebentar."
"Oke bagus. Rambutnya tolong di rapihin lagi." Mila langsung bergerak cepat merapikan rambut Jean.
"Je, lu pucat banget? Oke kan?" tanya Mila. Jean hanya mengangguk lalu tersenyum. Ia kembali melakukan pemotretan setelahnya.
"Shh." Ringisan itu keluar dari bibir Jean laki-laki itu menunduk sambil mencengkram erat ulu hatinya
"Je, Jean!" Ceye berusaha memanggil Jean. Tapi laki-laki itu tidak menghiraukan panggilannya.
Bruk
"Jean!" Ceye langsung menghampiri tubuh Jean yang sudah tergeletak.
"Panggil ambulans!" Perintah Bu Dian. Mila langsung mengambil ponselnya lalu hendak menelepon ambulans.
"Ga, jangan ke rumah sakit. Obat, Ye. Obat," ucap Jean yang sudah bersandar di dada Ceye.
"Di mana obatnya?" tanya Mila.
"Tas." Mila langsung mengambil tas yang biasa dibawa Jean dan mengeluarkan seluruh isinya. Perempuan 23 tahun itu mengambil bungkusan berisi dua tabung kecil berwarna biru lalu mengeluarkan isinya masing-masing satu sesuai dosis yang tertera.
Jean langsung meminum obatnya lalu memejamkan matanya menunggu obatnya bereaksi.
"Angkat ke sofa aja dulu. Biar bisa istirahat," ujar Bu Dian. Beberapa staff yang ada langsung membantu Ceye mengangkat tubuh Jean menuju sofa.
"Ceye, Jean sakit? Kalau sakit bilang aja dari awal. Kesian dia jadi drop gini," ucap Bu Dian lalu mengusap peluh yang ada di dahi Jean. Ia sudah menganggap Jean sebagai anaknya sendiri.
Wanita 47 tahun itu sangat menyayangi Jean seperti ia menyayangi anaknya, Deon.
"Jean, ke rumah sakit aja ya? Saya anterin." Lagi-lagi Jean menggelengkan kepalanya.
"Saya baik-baik aja bu." Bohong, faktanya Jean masih meremat tangan Ceye yang ada disebelahnya.
"Tolong bantuin saya bawa Jean ke mobil." Ceye dan beberapa staff langsung mengangkat tubuh Jean lalu membawanya ke mobil dan segera menuju rumah sakit. Jean ingin menolak tapi tenaganya sudah habis terkuras menahan sakit.
Sampai di rumah sakit, Jean langsung ditangani oleh Wirya yang kebetulan sedang berjaga di IGD.
Setengah jam mereka menunggu di depan ruang IGD hingga Wirya keluar dari sana.
"Gimana Jean? Ada yang serius?" tanya Ceye. Wirya hanya menepuk pundak laki-laki jangkung itu.
"Dia kecapean dan banyak pikiran. Adiknya, Dewa juga dirawat di sini. Mungkin karna itu dia drop juga." Ceye menghela nafasnya lega. Begitupun dengan Bu Dian dan Mila.
"Jean akan di pindahkan ke ruang rawat setelah ini kalian bisa langsung menemuinya di lantai delapan, VIP Dandelion 92." Ceye mengangguk lalu mengurus administrasi kemudian menyusul Bu Dian dan Mila yang sudah terlebih dulu menuju ruang rawat Jean.
"Tidur atau di kasih obat?" tanya Ceye saat masuk ke ruangan Jean.
"Tadi di kasih pereda nyeri makanya tidur." Mila menjawabnya, sedangkan Bu Dian masih menggenggam tangan Jean.
"Shilla. Anakmu sudah tumbuh dengan baik sekarang. Kenapa kamu melepaskan mereka? Bahkan Jean dan Dewa masih butuh kamu. Seharusnya kamu ada di sini menguatkan mereka. Anak-anakmu rapuh, Shilla." Bu Dian mengusap kepala anak teman SMA nya itu penuh kasih sayang.
.
.
.
.Jean terbangun setelah tertidur selama 8 jam. Ia melirik jam dinding yang ada di ruangan tersebut.
"Lama juga gua tidur," gumamnya.
"Lama banget, Je. Capek ya?" Jean tersentak saat melihat Mila duduk di sampingnya.
"Ceye mana?"
"Keluar bentar, nyari makan sama Bu Dian." Dengan sigap Mila membantu Jean yang ingin mengganti posisi menjadi duduk.
"Udah enakan?" tanyanya.
"Iya, udah enakan kok. Tar kalau mau pulang di anter Ceye aja ya?"
"Gua pulang sama Bu Dian aja tar," sahut Mila. Jean hanya mengangguk lalu memejamkan matanya karena jujur ia masih sangat lemas.
Tak berselang lama Ceye dan Bu Dian kembali ke ruang rawat Jean. Mereka membawa dua paper bag berisi makanan.
Jean membuka matanya saat mendengar pintu terbuka.
"Jean, makan dulu ya?"
"Nanti aja, Bu. Perut saya masih ga enak."
"Makan dulu, Je. Biar bisa minum obat." Ceye membuka plastik yang menutupi mangkuk berisi bubur.
"Gua suapin mau?"
"Gua sendiri aja." Jean merebut mangkuk dan sendok tersebut dari tangan Ceye.
Bu Dian menatap Jean yang terlihat gemetar saat memegang mangkuk tersebut. Perlahan ia mendekati Jean dan mengambil mangkuk itu.
"Biar saya suapi, kamu masih lemas kan?" Jean mengangguk pelan.
Bu Dian menyuapi Jean perlahan sampai gerakan tangannya berhenti kala melihat air mata Jean turun begitu saja.
"Jean kenapa? Ada yang sakit?"
Jean hanya diam, namun tangisnya semakin kencang.
"Ya Allah, Jean kamu kenapa nak?" Jean menggeleng sebagai jawaban.
"Jean kangen mama," lirihnya.
Dengan cepat Bu Dian merengkuh tubuh di sampingnya dan memeluknya erat.
"Kamu bisa anggap saya mama kamu, kamu juga boleh panggil saya mama." Jean masih menumpahkan tangisnya dalam pelukan Bu Dian.
"Shilla, Jean sangat merindukanmu, juga Gilang. Walaupun sudah 11 tahun kalian pergi tapi rasa sakit itu masih ada di hati kedua anak kalian."
"Dewa baik-baik aja kan?" tanya Jean setelah melepaskan pelukan Bu Dian.
"Dia baik-baik aja. Tapi keliatan murung setelah di kasih tau diagnosa nya."
"Gua mau ke Dewa," ujar Jean lalu mencoba turun.
"Besok aja, sekarang lo istirahat. Jangan bantah."
Jean menghela nafasnya lalu meminum obatnya dibantu oleh Bu Dian dan kembali berbaring.
Tbc.
Nanti update lagi. Good bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Untuk Dewa (JaeSung)
FanfictionPermintaanku tidaklah banyak, aku ingin kau menceritakan kisah kita. Agar banyak orang yang belajar bagaimana arti saling menjaga walaupun ada rasa benci diantara kita.