04

69 9 1
                                    

Jean berjalan gontai menuju unit apartment miliknya, ia tidak ingin pulang ke rumah.

Setelah memasukkan pin apartment miliknya, Jean langsung masuk, melepaskan asal sepatu miliknya dan masuk ke dalam kamarnya.

Jean langsung berbaring dan menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. "Gua harus apa?" tanyanya pada diri sendiri.

"Lama banget sih lo, gua tungguin juga. Kalau mau perbaiki itu dari sekarang, jangan ngehindar terus." Ceye berjalan ke arah kasur Jean lalu duduk di sana.

"Lo ngangetin, sejak kapan lo di sini?"

"Sejak abis nampol lo," jawab Ceye lalu melemparkan kantung berisi es batu ke perut Jean.

"Kompres sendiri jan manja, gua lagi masak tar gosong."

Jean terdiam, dia baru sadar kalau tadi ia tak melihat ke arah dapur. Namun langsung menuju kamar, pantas saja ia tidak melihat keberadaan Ceye.

.
.
.
.

Jean keluar dari kamarnya setelah suara Ceye memanggilnya. Ia duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan lalu menuang air putih dari dalam teko ke gelas di hadapannya.

"Bentar ya, ini obat sebelum makan. Ini obat sesudah makan." Ceye meletakkan dua buah piring kecil berisi obat-obatan milik Jean.

"Makasih, Ye." Jean tersenyum miris menatap obat-obatan tersebut. Obat yang di resepkan Wirya dan juga Arkan, psikiater sekaligus sahabat Ceye dan Jean.

Jean meminum obatnya perlahan, setelahnya ia menunggu beberapa menit lalu mulai memakan makanannya.

Selama 20 menit hanya ada suara piring dan sendok yang beradu. Sesekali Ceye melirik Jean yang terlibat menahan mual.

"Je, mual ya? Gausah di lanjutin. Sayang kalau keluar lagi, lo udah makan mayan kok. Kata Wirya ga perlu di paksa."

Jean mengangguk, ia melepaskan sendok dalam genggamannya lalu meminum air putih dan sisa obatnya.

Sementara Ceye mencuci piring, Jean berjalan menuju ruang tengah dan menonton TV.

Jean berbaring di sofa karena tubuhnya sangat lemas. Tak berselang lama Ceye menghampiri Jean dan duduk di karpet.

"Dosa gua banyak ya. Sampe Tuhan ngasih cobaan seberat ini. Tapi kenapa Dewa juga kena, padahal Dewa anak baik, Ye. Seharusnya gua aja, gua yang jahat disini." Jean mulai terisak. Entah mengapa Jean lebih emosional setelah di vonis mengidap kanker pankreas stadium 3.

"Gua mau berhenti jadi model, gua lanjutin usaha cafè gua aja. Gua mau fokus ke pengobatan gua sama Dewa, terus kita hidup bahagia sama-sama."

"Jean, gua bantu. Lo mau berenti? Gapapa. Gua bantuin usaha cafè lo, kita perbanyak cabang. Tapi, jangan nyerah ya?"

Jean menayap Ceye dengan tatapan putus asanya, "Gua takut, Wirya bilang waktu gua mungkin tinggal 2 tahun. Gua gapapa ga sembuh, yang penting Dewa sembuh." Jean kembali terisak lebih kuat.

"Gua cariin dokternya, dokter terbaik buat lo sama Dewa."

"Makasih, Ye. Gua mau ke kamar dulu." Jean mencoba duduk namun tubuhnya sangat lemas.

"Naik, gua bantu." Ceye membantu Jean naik ke punggung tegapnya lalu menggendong Jean menuju kamarnya.

"Istirahat yang banyak, lo udah berjuang belasan tahun buat Dewa. Mama papa lo pasti bangga, bertahan lebih lama ya Je? Lo kan mau bahagia sama Dewa." Ceye menaikan selimut Jean sebatas dada lalu keluar dari kamar Jean.

Ceye menutup pintu dengan gerakan pelan, tangannya bergetar. Ia duduk di depan pintu kamar Jean lalu menekuk lututnya dan menangis di sana.

"Tuhan, Jean dan Dewa anak baik. Ringankan rasa sakitnya, sudahi kesedihan mereka, berikan mereka kebahagiaan, tolong."

.
.
.
.

"Wa, lo ada masalah sama Bang Jean?"

Dewa yang sedang memainkan game di ponselnya langsung menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Leon.

"Sorry, gua ngerasa kalian kayak ada jarak aja. Maaf banget kalau kesannya gua ikut campur."

"Gua emang ga akur sama dia dari sekitar 3 tahun lalu. Gua egois ya? Gua tersinggung sama omongan dia yang kesannya bilang gua ini beban. Dia ngomong pas mabok, jujur tuh pasti."

"Lo tau kenapa abang lo mabuk?"

Dewa mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu. Leon hanya menghela nafasnya lalu menatap Dewa sebelum kembali berujar.

"Mungkin waktu itu dia capek sampe mabuk, dan tiba-tiba aja lampiasin ke lo. Kalian ga ada niat baikan?"

"Pengen, jujur aja. Tapi ego gua, Le." Leon tersenyum lalu menepuk pundak Dewa.

"Pelan-pelan, perbaiki. Abang lo juga pasti pengen baikan sama lo." Dewa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Gua coba, nanti."

Part yang ini dikit doang ya, jangan lupa voment!!

Diary Untuk Dewa (JaeSung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang