Hari ini Jean memaksa untuk pulang, Wirya mengizinkan dengan syarat Jean harus mengurangi aktivitasnya selama seminggu.
"Jangan skip obatnya, minggu depan jangan lupa dateng buat check up. Sekalian Dewa juga, kalau mau beda hari. Gua tau jalan pikiran lo," ucap Wirya. Jean hanya mengangguk sambil memainkan ponselnya.
"Anterin ke ruangan Dewa dong, Ceye bentar lagi otw sini, abis dia sampe gua langsung balik." Wirya mengangguk lalu membantu Jean turun dari kasur rumah sakit.
"Masih lemes?" Jean menggeleng sebagai jawaban.
Jean mengintip di balik kaca kecil yang berada di pintu ruangan Dewa. Ia tersenyum saat melihat Dewa tertawa lepas karena lelucon dari Leon.
Walaupun masih nampak pucat dengan selang oksigen di wajahnya, Dewa tampak ceria. Jean mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia tidak ingin mood Dewa berantakan karena kehadirannya.
"Je." Tepukan dan panggilan yang berasal dari Ceye membuyarkan lamunan Jean.
"Mau pulang sekarang?"
Jean mengangguk, "Pengen deh deket sama Dewa, kayak 11 tahun lalu." Jean tersenyum tipis.
Ceye langsung merangkul bahu Jean dan mengatakan, "Bisa kok, di perbaiki perlahan. Luangin waktu lo buat dia, dia pasti bakal perlahan balik lagi kok."
"Susah, Ye. Gua terlalu jauh ninggalin dia, bahkan gua pernah ngomong hal yang bikin dia makin benci sama gua."
"Lo ngomong apa Je?" Ceye menghentikan langkahnya lalu menatap Jean intens.
"Jadi gini...."
Flashback
Hari itu adalah tepat 9 tahun kepergian orang tua Jean dan Dewa. Saat itu Dewa sudah mendapatkan pekerjaan tetapnya selama 6 tahun, yaitu sebagai model. Ia cukup terkenal dan mempunyai banyak fans.
Sedangkan Dewa yang saat itu berusia 16 tahun ingin di perhatikan oleh Jean. Dewa selalu sendirian di rumah, terkadang hanya bersama Bi Ijah, ART yang Jean sewa untuk menemani Dewa.
Tepat pukul 11 malam Jean pulang ke rumah dengan keadaan mabuk berat, Jean diantar oleh Ceye, namun laki-laki itu segera pulang setelah membopong tubuh Jean menuju kamarnya.
"Nitip Jean ya,Wa." Dewa mengangguk. Setelah ia mengantarkan Ceye ke depan pintu masuk ia segera menuju kamar Jean.
Dengan telaten ia lepas jas, kemeja dan sepatu yang Jean gunakan. Dewa juga menyeka tubuh Jean yang bau alkohol.
"Mama...."
Dewa tersentak, ia menatap Jean yang mulai membuka matanya.
Dewa membantu Jean duduk lalu menyodorkan segelas air putih hangat untuk Jean. Jean menerimanya lalu meminumnya hingga tandas.
"Kenapa lu bantu gua?"
Dewa tersentak saat suara tegas itu menyapu indra pendengarannya.
"Karna lo kakak gua. Bang, gua pengen di ajarin naik sepeda sama lo, tapi udah terlambat. Gua mau di bantuin ngerjain tugas--"
"Gua bodoh, lo lupa?"
Dewa terdiam, air matanya mendesak ingin keluar namun ia menahannya.
"Gua cuman mau hubungan kita dekat lagi, sebelum mama papa pergi. Gua mau kayak temen-temen gua sama kakaknya. Hang out bareng, jalan-jalan, dan lainnya."
"Lo tau kan gua sibuk? Kita hidup enak bukan cuman karna warisan mama papa,Wa. Tapi karena gua kerja banting tulang sana sini buat hidupin lo, biar idup lo nyaman. Semuanya terpenuhi."
"Gua ga nyaman, gua ga bahagia dengan harta. Gua mau lo, Bang. Gua mau kasih sayang lo."
"Emang kasih sayang gua bisa bikin lo pinter? Bikin lo sukses? Bikin lo bisa sekolah di sekolah ternama? Engga Wa, engga." Jean menarik nafasnya.
"Gua ga mau lu bodoh kayak gua, kuliah gua ga selesai, Wa. Lo ga boleh kayak gua. Lo harus berpendidikan tinggi. Lo harus--"
"Materi, uang, itu ga penting! Gua cuman mau lo ada di sini, di rumah ini buat ngabisin akhir pekan sama gua. Kita nonton, main ps atau apalah. Gua pengen hal simple itu. Tapi kenapa susah banget?? Jawab gua!"
"Gua sibuk! Lo ngertiin gua dong, Wa. Dari usia gua 18 gua berusaha hidupin lo, kerja sana sini sampai akhirnya sesukses ini. Lo tinggal nikmati apa susahnya? Ga usah harapin hal lain."
"Goblok! Gua benci sama lo! Bahkan di hari kematian mama papa lo ga ada, sekedar ke makam nya pun ga ada kan?" Dewa bangkit dari duduknya. Matanya terlihat merah karena menahan tangis dan emosi.
"Lo ga tau apa-apa tentang gua, lo diem! Lo ga tau capeknya gua, Wa. Kan lo cuman nikmatin."
"Oke, fine. Gua cari kerja. Gausah kasih gua duit lagi. Gua muak sama sifat lo. Kerjaan lebih penting kan dari gua?"
"Gua kerja buat lo, gua ngorbanin masa muda gua buat masa depan lo, Dewa!"
"Terserah, urus kerjaan lo sana. Dasar tukang jual diri!"
"Apa maksud lo?" Suara Jean meninggi.
"Lo kira gua ga tau? Wangi parfum cewe di jas lo. Bekas lipstik di leher lo! Gua benci lo Jean! Lo bukan abang yang gua kenal!" Dewa menumpahkan tangisnya.
Jean terdiam, ia kembali mengingat bagaimana seorang wanita di bar menggodanya hingga mereka hampir bersetubuh, namun Ceye datang di waktu yang tepat.
"Wa, ga gitu. Dewa, yang lo lihat ga gitu. Bukan gua yang mau, Wa. Gua di jebak."
"Terserah! Katanya, orang mabuk itu omongannya bener kan? Berarti apa yang lo omongin semuanya bener. Gua cuman beban lo, gua rebut masa muda lo, demi masa depan gua. Gua jahat ya?"
Dewa mengangkat ponsel di tangannya, "Jangan lupa cek hp lo, gua kirim rekamannya. Biar lo ga lupa sama apa yang lo ucapin." Dewa keluar dari kamar Jean dan membanting kencang pintunya.
Flashback off
"Rekaman suaranya sampai di situ."
Bughh
Jean tersungkur jatuh akibat pukulan Ceye.
"Emang bodoh!" Ceye berlalu pergi meninggalkan Jean yang masih duduk di lantai sambil memegangi pipinya dan tertawa, menertawakan hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Untuk Dewa (JaeSung)
FanfictionPermintaanku tidaklah banyak, aku ingin kau menceritakan kisah kita. Agar banyak orang yang belajar bagaimana arti saling menjaga walaupun ada rasa benci diantara kita.