Aerin pernah bilang hidup tidak akan selamanya berjalan mudah. Tapi ia sungguh tidak menyangka ia akan merasakan kehidupan sulit itu sebelum sungguhan beranjak dewasa.
Umurnya hampir 18 tahun. Dan ia kehilangan seluruh keluarganya ketika sebulan lagi ia bertambah umur. Mobil keluarganya kecelakaan di malam hari setelah mengantar wisuda kakak perempuannya di luar kota. Aerin yang sedang UTS tidak ikut sehingga selamat dari maut tersebut.
Aerin hanya sendiri. Ia tidak punya siapa-siapa. Ibunya yang selalu ada di sampingnya sekarang sudah tiada. Ayah yang meskipun suka marah-marah tapi perhatian padanya juga mengikuti ibu pergi jauh. Kakaknya yang seharusnya berbahagia karena baru saja menyelesaikan kuliah dengan uangnya sendiri ikut pergi meninggalkannya selamanya. Bahkan sebelum Aerin sungguhan mengucapkan selamat padanya.
Aerin tergugu di depan ruangan otopsi malam itu, kedinginan memeluk dirinya sendiri. Ia sungguhan tidak punya siapa-siapa. Ia takut. Bayangan masa depan yang mengerikan melintas begitu saja. Dia harus bagaimana? Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Bagaimana ia bisa hidup tanpa keluarganya?
Dan pemuda yang ia sukai itu kembali datang. Bukan Lee Jeno pacarnya. Tapi Na Jaemin, sosok yang selalu ada untuknya apa pun keadaannya.
"Aerin...."
Pemuda itu duduk bersimpuh di hadapannya yang sedang duduk di depan pintu. Aerin mendongak, menatap wajah Jaemin. Detik selanjutnya ia tak kuasa menahan air mata. Di depan ruang otopsi yang sepi, tangis Aerin akhirnya pecah.
Tanpa berkata lagi, Jaemin menarik tubuh Aerin dalam pelukannya. Air mata Aerin tumpah ruah. Ia menangis begitu kencang. Tidak pernah sekencang ini seumur hidupnya.
"Na-na, semua keluargaku p-pergi. Aku sendiri. Aku tidak punya siapa-siapa l-lagi."
Dada Aerin sakit sekali. Rasanya seperti Tuhan terlalu memberi beban berat padanya. Ia hanya belum siap. Ia tidak akan pernah siap kehilangan keluarganya. Kenapa harus secepat ini?
Jaemin menggeleng, masih memeluknya erat. "Aku di sini, Aerin. Kau tidak sendiri. Aku bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan pernah."
Aerin masih menangis tersedu-sedu. Tapi janji Jaemin terekam dengan baik di ingatannya. Apa hal itu benar? Atau hanya janji kosong untuk menenangkannya?
Aerin tidak tahu. Ia sungguh tidak tahu.
"Kau harus mengikhlaskan mereka. Tugas mereka di dunia ini telah usai. Biarkan mereka hidup tenang di kehidupan selanjutnya," ujar pemuda itu kemudian.
Aerin merenggangkan pelukannya, menatap Jaemin dengan senyuman tak pernah lunturnya. Senyuman itu ... menghantarkan kekuatan padanya.
Jaemin mengusap air matanya pelan, mengenggam tangannya. "Jangan pernah bilang kau tidak punya siapa-siapa. Aku akan selalu bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Kata-kata itu kembali terucap. Aerin sungguh tidak mengerti Jaemin bersungguh-sungguh atau tidak. Tapi melihat senyuman pemuda itu, dunianya mendadak terasa baik-baik saja. Aerin beringsut tenang menyadari Jaemin masih di sisinya, bersamanya.
"Kau gadis kuat, Aerin. Kau mampu melewati semua ini."
Tapi Aerin tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis kembali. Jaemin kembali memeluknya, menepuk punggungnya menenangkan.
"Menangislah jika itu melegakanmu. Sekencang mungkin tidak masalah. Tidak ada yang akan memarahimu. Keluarkan rasa sakitnya, jangan ditahan."
"Jaemin...."
Detik selanjutnya, tangisan Aerin kembali pecah. Di dalam pelukan pemuda itu ia menangis kencang, menumpahkan seluruh air matanya. Mengeluarkan rasa sakit yang sejak tadi ia tahan dalam dada.
Dekapan Jaemin mengerat. Pemuda itu berbisik kembali padanya, "Kau gadis kuat, Aerin. Kau kuat."
Tuhan, Aerin ingin Na Jaemin.
Ia ingin Jaemin selalu bersamanya. Ia ingin Jaemin selalu di sisinya, memeluknya seperti sekarang. Ia tidak ingin Jaemin pergi jauh darinya.
Ia sungguh ingin Na Jaemin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelions [END]
Fanfic🥉3rd Fanfiksi Terbaik Januari 2022 @WattpadFanficID Pada dandelion aku berharap Tuhan menjadikanmu milikku selamanya. Start : 29 April 2021 Finish : 03 Mei 2021