"Aku di sini, Aerin. Kau tidak sendiri. Aku bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan pernah."
Kata-kata Jaemin beberapa waktu yang lalu terngiang di kepala Aerin. Ini sudah sepekan lebih sejak keluarganya meninggal. Aerin dalam masa pemulihan diri dari rasa sakit. Dan Jaemin yang selalu datang menguatkannya, membuatnya teringat dengan kalimat yang pemuda itu katakan.
Entah itu sungguhan atau tidak, tapi hari selanjutnya Jaemin selalu berada di sisinya, membantunya setiap saat. Menghiburnya dengan senyumannya yang seolah dapat menyembuhkan luka. Menemaninya melebihi Jeno yang notabenenya adalah pacar Aerin.
Aerin tahu itu menyakiti Jeno. Hubungan mereka sempat renggang beberapa waktu. Hal itu diketahui Jaemin sehingga pemuda itu memilih pergi menjauhinya untuk beberapa saat.
Aerin dan Jeno jarang bertengkar. Bahkan setelah menjalin hubungan hampir setahun, Aerin bisa menghitung berapa kali mereka bertengkar. Jeno pemuda baik. Dan Aerin tahu ia tidak pantas untuk pemuda yang tulus mencintainya itu.
Selama ini Aerin telah mengkhianati cinta yang Jeno beri. Ia masih mencintai Na Jaemin. Bagaimana pun ia berjuang untuk membuangnya, perasaan itu justeru tumbuh subur dalam hatinya. Cintanya untuk Na Jaemin seolah tak tergantikan.
Pada akhirnya, sehari sebelum liburan kelas 12 semester pertama, Aerin memutuskan Jeno secara sepihak. Alasannya klise. Aerin butuh fokus untuk menghadapi ujian kelulusan. Dan seharusnya Aerin tahu Jeno bukanlah tipe orang yang mudah dibohongi. Pemuda itu tahu perasaan Aerin selama ini.
"Kau tidak butuh fokus ujian, Aerin. Itu bukan alasan nyata kau memutuskanku," kata Jeno setelah itu.
Aerin menggeleng, berkata agar Jeno mempercayai ucapannya.
"Bukan karena Na Jaemin? Pemuda itu ... sahabatmu? Bukannya kau menyukainya?" Jeno tiba-tiba bertanya sesuatu yang tidak pernah Aerin sangka.
Aerin mendadak terdiam mendengarnya, tidak bisa mengelak bahwa ucapan pemuda itu benar. Dan itu berarti jawaban 'ya' untuk pertanyaannya.
Jeno menjambak rambut frustrasi, membuat Aerin merasa bersalah. Selama ini ia telah mempermainkan hati pemuda di depannya, menyakiti hatinya. Kenapa Aerin harus melampiaskan perasaan tak terungkapnya pada pemuda sebaik Jeno? Sejak kapan ia menjadi orang jahat yang mementingkan dirinya sendiri?
"Kau seharusnya mengatakannya sejak awal, Aerin. Jika kau tidak pernah menyukaiku, katakan saja padaku. Aku tidak akan marah. Bukannya semua ini justru menyakitimu? Bahkan tanpa sadar aku juga ikut membebanimu selama kita berpacaran."
Aerin menggeleng kencang. Bukan Jeno yang salah. Ia yang salah selama ini. Ia hanya memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan Jeno yang pada akhirnya tersakiti karena kenyataannya bahwa orang yang pemuda itu cintai tidak mencintainya.
"Maaf, Jeno. Maafkan aku." Aerin menunduk.
Jeno menghela napas, memeluk Aerin, mengusap rambutnya pelan. Air mata Aerin menitik begitu saja di dalam pelukan pemuda yang setahun ini ikut mengisi hari-harinya. Hati Aerin tambah sakit. Bagaimana bisa Jeno masih baik padanya setelah ia menyakiti pemuda itu?
"Pergilah. Aku akan melepaskanmu. Katakan perasaanmu pada Jaemin. Aku pikir dia juga menyukaimu," ujarnya kemudian.
Aerin menyeka sedikit air matanya, merenggangkan pelukan. "Benarkah?"
Jeno tertawa, membuat matanya ikut menyipit. "Kau tidak pernah menyadarinya, Aerin? Setahun berpacaran denganmu aku selalu terbakar cemburu melihat tatapan Jaemin padamu. Kalian hanya sahabat. Tapi aku tidak mengerti mengapa tatapan Jaemin mengapa begitu berbeda ketika melihatmu."
Aerin terdiam lama. Ucapan Jeno terngiang-ngiang di kepalanya. Apakah itu benar? Jaemin juga menyukainya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelions [END]
Fiksi Penggemar🥉3rd Fanfiksi Terbaik Januari 2022 @WattpadFanficID Pada dandelion aku berharap Tuhan menjadikanmu milikku selamanya. Start : 29 April 2021 Finish : 03 Mei 2021