Satu.

26 5 1
                                    

Matahari pagi belum sepenuhnya beranjak dari peraduannya. Jarum jam pun masih menunjukkan pukul lima lebih tujuh menit yang mana masih banyak pula orang yang belum memulai aktivitasnya. Terlebih lagi ini akhir pekan, orang-orang pasti akan memilih bangun lebih siang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Namun, saat ini Samudra sudah siap dengan setelan celana training hitam dan sweater warna abu-abu untuk pergi ke suatu tempat bersama seseorang. Ia meraih dompet dan ponsel yang ada di nakas, lalu keluar dari kamarnya. Kakinya melangkah ke arah kamar yang terdapat tulisan "Sky's Room" yang tergantung di pintunya. Ia mengetuk pintu itu beberapa kali, tapi belum ada respon dari sang pemilik kamar yang kemungkinan masih terlelap.

Pemuda itu meraih daun pintu tersebut kemudian mencoba untuk membukanya. Seperti dugaan Samudra sebelumnya, pintu cokelat itu tidak terkunci. Langit memang jarang mengunci pintu kamarnya sehingga siapapun bisa dengan leluasa masuk ke ruang pribadinya.

Ia berjalan ke arah tempat di mana seorang pemuda yang berstatus sebagai adiknya itu masih tertidur pulas dengan dengkuran halus. Tanpa aba-aba, Samudra menyibak selimut yang membungkus tubuh Langit. Meski selimutnya disingkirkan dengan kasar, pemuda itu masih belum bergerak. Cara lain Samudra coba untuk membangunkan adiknya itu. Ia sudah sering dihadapkan dengan situasi ini sehingga ia tahu cara apa yang ampuh untuk membangunkan Langit.

"Lang, udah bosen hidup?"

Samudra membisikkan kalimat itu tepat di telinga Langit. Sesaat setelah Samudra menegakkan badan, mata Langit terbuka perlahan.

"Apaan sih, Bang?"

Langit menggeliat, lalu menarik selimut warna navy itu sampai ke batas dadanya dan kembali memejamkan mata.

"Bangun! Ayo ke alun-alun."

"Lo sendiri aja deh," kata Langit yang kembali tengkurap. "Gue masih ngantuk."

Samudra tersenyum miring. "Lo udah janji sama gue. Kalau lo ingkar, gue nggak bakal ngasih lo akses buat masuk ruang gaming gue."

Mendengar ancaman yang keluar dari bibir kakak laki-lakinya, Langit pun membuka matanya lagi lalu duduk di atas ranjang.

"Iya, iya, ayo. Gue cuci muka dulu."

* * *

Dua laki-laki itu berjalan santai memutari alun-alun kota yang setiap akhir pekan menjadi pusat car free day. Apapun tersaji di tempat ini, mulai dari bazar, atraksi, penjual baju, penjual makanan dan minuman, bahkan penjual anak ayam warna-warni pun ada di sekitar alun-alun tersebut. Langit yang awalnya berjalan dengan malas-malasan saat menuju ke alun-alun, sekarang malah terlihat excited karena ia melihat sebuah atraksi sepatu roda oleh anak-anak kecil.

"Bang, yang itu keren banget deh," katanya sembari menunjuk ke seorang anak laki-laki yang memakai baju warna kuning.

"Biasa aja."

Langit melirik sekilas. "Dih, emang lo bisa main sepatu roda kayak gitu?"

"Bisa," jawab Samudra sekenanya.

"Bohong banget, bukannya dari kecil lo sukanya main congklak sama Neva?"

Ah, Neva. Darah Samudra tiba-tiba terasa mengalir lebih cepat saat mendengar nama itu. Teman masa kecil yang tumbuh bersama sampai akhirnya dipisahkan oleh keadaan. Neva pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan pada Samudra, dan sampai saat ini Samudra tidak tahu kemana gadis itu pergi. Samudra merindukannya.

"Ya elah, denger nama Neva masa langsung diem sih? Kangen lo?"

Bugh

Samudra memukul kepala bagian belakang adiknya.

Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang